Jumat, 24 Desember 2010

Ingatan

Bocah itu memanggilku terus-menerus. Aku bisa mengetahuinya hanya dari gerakan bibirnya yang melantunkan namaku walau suaranya tidak terdengar sampai ke telingaku. Aku seperti mengenal bocah itu. Tetapi aku yang saat itu masih anak-anak terlalu asyik dengan permainanku sendiri untuk mendengarkan panggilan seorang bocah lain yang kelihatan sama sekali tidak seru.

Esok paginya ketika waktu mengubahku menjadi seorang remaja, aku mendapati seorang anak muda memanggil-manggilku di depan jendela kamarku. Menjerit-jeritkan sesuatu. Aneh, aku tidak bisa mendengar suaranya, padahal ia hanya satu langkah di depan jendela kamarku. Aku benar-benar merasa mengenal anak muda ini. Tetapi waktuku terlalu sayang bila kugunakan untuk mencari tahu seluk-beluk anak muda yang tidak jelas itu. Pacarku sudah meneleponku berkali-kali untuk jadwal kencan hari ini. Aku menyebutnya 'sibuk'.

Bertahun-tahun kemudian aku menantikan bocah dan anak muda itu lagi. Kali ini akan kutangkap basah dia, lalu kuinterogasi sedalam yang mungkin, begitu pikirku. Hari demi hari aku menantikan kedatangan mereka, tetapi mereka tidak kunjung datang menemuiku lagi.

Sampai ketika aku sedang merasakan nikmatnya hidup bersama teman-teman bernama malam, kali ini seorang lelaki datang. Ia memanggil-manggilku, memintaku keluar sebentar. Sayang, alunan musik di ruangan itu terlalu hingar-bingar dan berat untuk aku tinggalkan. Aku malas menghampirinya walau dalam pikiranku aku begitu penasaran siapa dia. Wajahnya sangat familiar.

Hari ini, setelah tidak lagi pernah orang-orang aneh itu datang menemuiku, memanggil-manggil namaku, aku menyadari bahwa mereka adalah aku yang dari berbagai masa. Datang secara khusus untuk memperingatkanku bahwa waktu bukan untuk dimainkan, bukan untuk dinikmati. Waktu terlalu kejam untuk dimintai tolong. Ia terlalu angkuh untuk mengulurkan bantuan. Ia hanya akan menyelipkan keajaiban bernama 'kesempatan' dalam sela-sela tidak terduganya, dan mau tidak mau saat itu kita harus siap atau akan kehilangan peluang selamanya. Itulah waktu. Sekali dicoba untuk menghentikannya, detak jantungmu justru terhenti dan neraka siap menampungmu. Waktu tidak bisa dihentikan barang sedetik saja, dia seperti dewa maha kejam yang menghukum manusia-manusia yang tidak menghargainya.

Mereka yang mencoba menghentikan waktu barangkali terlalu putus asa sehingga memilih menghentikan denyut jantung mereka sendiri.

Aku ingin mengatakan dua hal sederhana kepada kalian. 'Maaf', untuk hal-hal yang tak sanggup aku jelaskan, karena aku tidak selalu tumbuh dari kebaikan tetapi juga dari dosa. 'Terima kasih', untuk semua yang tak terkatakan, sekalipun seringkali aku tidak mengerti pikiran kalian, tetapi isi hati kalian tidak akan pernah mengecewakanku.

Bila aku mengingat-ingat, belakangan ini perasaanku sungguh tidak melegakan. Kepalaku terasa sakit ketika aku menuliskan beberapa percakapan-percakapan imajiner kita selama ini. Barangkali karena aku memasukkan kesadaran sebagian masa laluku di dalamnya, sehingga aku merasa bertualang di dalam ruang waktu milik Doraemon, kemudian terjebak di dalamnya.

Aku senang ketika aku berbagi dengan kalian, dan kalian? Apakah kalian senang membaca percakapan-percakapan imajinerku selama ini, atau justru bosan? Entahlah, aku tidak tahu pasti. Kita memang terpisah jarak dan waktu. Aku menuliskannya hari ini, kalian membacanya esok atau nanti, atau bahkan tidak membacanya sama sekali.

Aku hidup di masa kini yang sekarang, tetapi aku merasa kehadiranku absen dari kehidupan.

'Terima kasih' karena kalian telah menjadi tempat penampungan luapan imajinerku yang bukan-bukan, yang barangkali bila kubaca lagi setahun ke depan tulisan ini, akan terlihat seperti kata-kata cengeng yang konyol. Muluk-muluk.

Senin, 13 Desember 2010

Perjalanan Melamun

Cepat atau lambat, setiap manusia pasti akan mengalami masa di mana ia berusaha keras memikirkan sebuah solusi yang menuntut kreativitas, tetapi tidak juga menemukan apa-apa. Kosong dan buntu. Semakin berpikir semakin merasa tidak ada jalan keluarnya.

Melamun adalah sebuah perjalanan, pengembaraan pikiran, membebaskannya di awang-awang. Seperti Thomas Alfa Edison yang menemukan materi untuk penyempurnaan bola lampunya yang justru sama sekali di luar dugaannya dan membuatnya menghabiskan seribu percobaan.

Lalu dengan melamun, otomatis mendapatkan ide yang dicari? Tidak.

Temukanlah jalan keluar dalam perjalanan lamunanmu. Temukan ide di tengah pengembaraan pikiranmu, lalu bawa ia pulang ke dunia nyatamu. Jika seorang Archimedes yang saat itu menemukan jalan keluar ketika ia sedang melepas kepenatan dengan berendam di bak mandi, tetapi ia tidak menyadari bahwa ia sedang mendapat ide, maka tidak akan ada saat-saat Eureka miliknya.

Jumat, 03 Desember 2010

Monolog

"Memang seberapa banyak yang kau tahu?" tanyaku.
"Mengenai apa?" jawabnya.
"Tentang diriku." aku membalas.
"Tentu saja banyak."
"Apa yang kau tahu?"
"Kamu tidak lebih dari seorang anak dengan iming-iming terlalu besar."
"Impian?"
"Imajinasi tepatnya. Atau boleh juga kau sebut fantasi."
"Sinting! Apa maksudmu?"
"Bukankah kau sendiri merasakannya? Sudahlah, jangan bohongi aku! Selama ini, seumur hidupmu aku selalu menyertaimu, selalu mendampingimu, bukan? Mana mungkin aku salah menilai isi hatimu?"
"Brengsek."
"Benar kan? Kau terlalu bosan dengan duniamu, lalu kau menciptakan sendiri duniamu? Kau tersesat dalam utopia milikmu sendiri. Utopiamu terlalu panjang dan tinggi sehingga kau sendiri tidak tahu harus menempuh ke arah mana untuk mencapainya."

Aku diam. Tertunduk.

Kutatap lagi wajahnya. Tidak ada ekspresi. Baru kemudian dia menggeram, seperti aku yang juga menggeram. Kukepalkan tinju, kuhajar dia.

Pecah.

Dia hancur berkeping-keping, sementara tanganku berdarah.

Kamis, 02 Desember 2010

Fantasista

Di belahan bumi manapun akan selalu saja ada, sekumpulan orang-orang yang menghabiskan hidupnya untuk memproduksi ide-ide, atau pikiran-pikiran yang jauh dari logika. Pemikiran yang dihasilkan nyaris tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang. Bukan apa-apa, mereka cenderung ditolak karena ide dan pemikiran mereka dianggap tidak wajar, beresiko tinggi alias nekad, dan berujung kesia-siaan. Namun, bila pemikiran mereka berhasil terwujud, tidak akan ada seorangpun yang mampu menduga hasilnya.

Salah satu contoh ambil saja dalam dunia sepak bola, David Beckham. Tahun 1996, bersama tim Manchester United, Beckham melawan kesebelasan Wimbledon. Saat itu ia masih berada tepat di garis tengah lapangan. Sewajarnya seorang pemain sepak bola, semua orang seharusnya mengoper atau paling tidak berusaha menggiring bola menerobos area pertahanan lawan. Tetapi entah apa yang ada di dalam kepala David Beckham, dia mengayunkan kaki kanannya, dan tercatatlah namanya sebagai pencetak gol dari tengah lapangan. Seandainya spekulasi itu tidak menjadi gol, ide Beckham saat itu hanya dianggap sia-sia, tidak logis, dan membuang-buang kesempatan.

Orang-orang dengan pemikiran gila yang nyaris tidak masuk akal seperti inilah yang disebut,
Fantasista...


klik di sini untuk videonya David Beckham (Manchester United) - Goal From Half

Jumat, 19 November 2010

Agama

Seseorang bertanya kepadaku,"Mengapa dalam kehidupan terdapat begitu banyak agama?"

Aku menjawab,"Apakah kamu mengenal baik siapa Yang Empunya Nama?"

Dia balas menjawab,"Tentu."

"Seberapa besar Dia?" Ujarku.

"Sangat besar." Jawabnya.

"Karena itulah satu agama terlalu kecil untuk memuat Sang Empunya Nama, sebab kebesaranNya tidak pernah cukup untuk ditampung dalam satu agama." Ucapku mengakhiri.

Senin, 15 November 2010

Sarapan Terakhir

Pemandangan pagi kali ini berbeda. Tidak seperti biasanya yang digambarkan di dalam majalah-majalah anak-anak. Tidak ada gambar matahari yang masuk lewat jendela, yang ada hanya tiga manusia sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka hendak menyarap masing-masing segelas susu.

Manusia yang tua mengaduk-aduk susu putih yang sudah diraciknya dengan air panas, kemudian dihidangkannya masing-masing kepada kedua anak-anaknya. Biasanya pemandangan sarapan seperti ini minimal digambarkan dengan dua manusia tua, bukan satu. Tetapi sudah kukatakan kali ini pemandangannya berbeda, hanya ada satu manusia tua, dan itupun perempuan, karena yang lelaki sudah beranjak pergi meniti karir di kota antah berantah sampai menghilang kabar dan tinggal berita yang menampilkan wajahnya di televisi bersama perempuan muda lain, perempuan muda kaya yang juga pengusaha ternama.

Kisahnya kembali ke pemandangan tadi. Si perempuan tua mulai mengangkat gelas miliknya sambil berkata,"Sarapan ini barangkali adalah sarapan terakhir yang bisa kujamu untuk kalian."

Glek.. Glek.. Glek..

Selang beberapa jam, rumah manusia-manusia itu sudah dikerubungi orang-orang yang menutup hidung mereka, ada juga yang menutup mata mereka. Di antara mereka ditampilkan segerombol tokoh lalat yang berdansa di atas tubuh ketiga manusia yang tengah tertidur itu.

Seorang wartawan terlihat mengernyitkan keningnya sambil mengulum pensil di ujung bibirnya. Ia memikirkan judul apa yang cocok untuk karangannya besok.

Jumat, 22 Oktober 2010

Karena Itu Ada Joki, Supaya Kuda Memaksimalkan Kaki

Dear all,

Kadang kita sering kali tidak mengerti cambukan apa yang kita alami, tetapi percayalah selalu ada rencana di balik semua itu.

Dalam dunia pekerjaan dan organisasi, kadang keputusan dan tindakan atasan atau leader kita sering kali membuat kecewa, tetapi ketahuilah, semua itu hanya agar kita mengeluarkan kemampuan terbaik kita.

Demikian halnya dengan Tuhan yang memberikan ujian kepada kita, sesungguhNya Ia ingin melihat kemampuan kita mengatasi persoalan tersebut tanpa keluar dari jalanNya.

Seperti kuda yang dicambuk seorang jokinya, ia tidak membenci dan melemparkan sang joki dari punggungnya, tetapi justru mengerti maksud dari cambukan itu, artinya : "Inilah waktunya kau mengeluarkan kemampuanmu, Kawan! Kejar garis finishnya!"

Selasa, 19 Oktober 2010

Perjalanan Terakhir

"Pergi sana!" Suara nenek tua menolak untuk berbagi tempat dengan Warti. Warti gagal mendapatkan tempat tinggal baru. Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba dia sudah tidak lagi bernafsu untuk menghisap rokok seperti yang biasa dilakukannya setiap ia bimbang. Dalam pikirannya kini hanya satu tujuan, mencari tempat singgah untuk kurun waktu lama.

Dilihatnya kebun kosong di samping rumah salah satu penduduk kampung, ia memilih untuk bermalam di sana. Ia bersandar pada batang pohon mangga yang ditanam oleh sang pemilik rumah. Ia mulai menangisi nasibnya. Dan sejak itulah penduduk kampung menyebut pohon itu sebagai tempat tinggal kuntilanak.

Senin, 18 Oktober 2010

Khayalan

Ruangan kerja itu sebenarnya terlalu besar kalau hanya diisi oleh diriku seorang. Tapi memang demikian fasilitas yang tersedia. Kemudian mobil BMW keluaran terbaru dengan teknologi otomotif paling mutakhir. Apalagi yang kurang dalam hidupku?

Aku melamun sebentar, 'Langitnya mendung' pikirku. Ah, lebih baik aku pulang sekarang saja. Di rumah para juru masak yang kuupah pasti sudah menyiapkan santap malam favoritku. Aku melangkah menuju elevator. Lantai dasar. Pintu lift terbuka, aku masuk. Terakhir, aku keluar dari gedung perusahaan nomor satu itu.

Lagi-lagi aku berhenti, berpikir sejenak. Ah, terlalu mengada-ada. Kuremas kertas bertuliskan khayalanku tadi, kubuang ke tempat sampah. Dan aku menggelar kardus untuk alas tidurku nanti di pinggiran jalan yang ramai lalu lalang kendaraan sambil menahan lapar, karena sudah dua hari ini upayaku mengais derma tak kunjung membawa hasil. Pensil yang kutemukan di tempat sampah pun sudah mulai memendek. Barangkali cuma ini cerita yang bisa kukhayalkan. Apa benar cuma orang sekolahan yang boleh bermimpi? Sementara orang-orang sepertiku cuma boleh berkhayal?

'Langitnya mendung' pikirku.

Senin, 11 Oktober 2010

Rudin Hidayat

Satu jam lagi tepat tengah malam, tetapi aku dan Rudin masih dalam perjalanan pulang dari mengantar beberapa anak didikku pulang. Di tengah perjalanan, aku melontarkan pertanyaan pada Rudin,"Apa yang kamu rasakan sejak bergabung dengan kami, Rudin?"

"Maksud Kakak?"
"Perubahan apa yang kau rasakan dari dirimu?"
"Ya, entahlah. Aku merasa lebih baik saja, Kak."
"Apa harapanmu ke depan?"
"Dalam keluargaku, kakakku hanya tamatan SD."
"Lalu?"
"Aku ingin meningkatkan taraf hidup keluargaku."
"Menjadi generasi pemutus kebobrokan?"
"Ya, semacam itu."
"Barangkali esok aku tidak lagi di sini."
"Maksud Kakak apa?"
"Entahlah Rudin, beberapa hari lagi mungkin kita tidak bisa bertegur sapa seperti ini lagi. Tapi simpan spiritmu itu lalu jadilah generasi pengubah. Aku akan kembali untuk menagih kenyataannya darimu."
"Begitu. Lekas kembali secepatnya, Kak."
"Lekas lulus dan segera putuskan tali kemiskinan itu, Rudin. Sekarang tugasmu mengasah pedang pengetahuan setajam mungkin, lalu tebaslah tali kemiskinan yang menjerat hidupmu itu."
"Pasti, Kak. Lalu maukah Kakak menjadi perisaiku?"
"Bukan aku yang akan menjadi perisaimu, tetapi Tuhanmu yang akan membentengimu, Rudin."

Kami tiba di sebuah rumah kontrakan sederhana. Rumah singgah kami. Kami masuk ke dalam, mengucap permisi sebelumnya pada teman-teman yang menunggu kepulanganku. Dan trivial ini kuakhiri sampai di sini.


Cilincing, Agustus 2010

Sabtu, 09 Oktober 2010

Gerak Semu Matahari

"Tarik kata-katamu!" Perintah Sang Kaisar.

"Tidak! Aku mengatakan kebenaran!" Ilmuwan yang saat itu dianggap gila berpegang teguh pada pendiriannya.

"Kuberi kesempatan sekali lagi, tarik kata-katamu! Katakan bahwa kau telah berkata bohong!"

"Tidak! Matahari tidak pernah terbit dari timur dan tidak terbenam dari barat. Matahari tidak mengeliling bumi. Mata manusia tertipu oleh gerak semu matahari. Bumilah yang mengelilingi matahari!"

"Bunuh dia!"

Sang ilmuwan tewas.

***

Bertahun-tahun kemudian, teorinya diakui para pakar ilmu bumi. Matahari memang telah lama menipu kita, menipu mata. Ia berdiam diri dan dianggap bergerak.

Galileo

Sabtu, 25 September 2010

Psycho's IQ

Psikiater sudah mempersiapkan sebuah pertanyaan untuk pasangan muda-mudi itu. Rania dan Rofi, sepasang kekasih yang memperdebatkan siapa yang psikopat di antara mereka. Rania ngotot bahwa kekasihnya itu mengidap gangguan kejiwaan.

"Dia ini gila, Dok!" protes Rania kepada psikiater di hadapan mereka.

"Tidak! Dia yang abnormal, Dok!" Rofi tidak mau kalah.

"Baik, baik. Tenanglah kalian." Pinta sang psikiater.

"Aku sudah mempersiapkan sebuah pertanyaan untuk kalian. Dari situlah aku akan mengetahui kejiwaan kalian."

"Ayo mulai, Dok." ujar Rania.

"Begini.. Ada sepasang kakak beradik. Sang kakak sangat menyayangi adiknya. Suatu hari ibu mereka meninggal dan dimakamkan. Pada hari pemakaman itu, mereka bertemu dengan seorang pemuda tampan. Mereka jatuh cinta pada pemuda itu. Sayangnya mereka tidak tahu siapa pemuda tampan itu. Mereka tidak mengenalnya. Selang beberapa bulan kemudian, sang adik meninggal. Ia dibunuh oleh kakaknya. Nah, bila kalian berada di posisi sang kakak, kira-kira apa alasan kalian membunuh sang adik?"

"Aku? Kalau aku menjadi si kakak, paling-paling alasannya hanya karena berebutan cinta pemuda tampan itu, Dok." Rofi memberikan jawabannya.

"Lalu bagaimana denganmu, Rania?" Tanya sang psikiater.

"Kalau aku menjadi si kakak, aku membunuh adikku itu karena ingin bertemu lagi dengan pemuda tampan itu. Itu alasanku. Aku rela melakukan apapun agar bertemu dengan pemuda itu lagi."


Menteng, 2010
Pertanyaan yang diajukan kepadaku oleh seorang kawanku, Ervana.

Romansa

Dari bibirnya keluar rentetan nada yang disusun dari perpaduan kata-kata penuh romantisme. Dia memang ahlinya meramu kata menjadi romansa. Dari hobi sekedar membuat coret-coretan di buku catatan sekolahnya dulu, kini ia mampu menjadi pujangga yang masuk jajaran musisi tanah air. Vokalis band ternama. Syairnya kali ini keluar langsung dari mulutnya, murni, tanpa proses editing teknologi studio. Suaranya hanya diiringi gitar biasa.

"Tak sadarkah dirimu,
kesetiaanku kau balas dusta.."


Liriknya sederhana, tetapi ia mampu membawakannya sedemikian rupa sehingga Rania, perempuan yang kini di hadapannya semakin mengaguminya. Ia menganggap Rofi adalah lelaki idamannya. Ya, dia sangat mengidamkan kekasih yang romantis.

"Lirikmu sederhana, tapi indah." Rania berkomentar setelah Rofi menyelesaikan bagian akhir lagunya.
"Oh ya?"
"Ya. Pengalaman pribadi?"
"Tidak juga."
"Lalu?"
"Pengalaman istriku tepatnya."
"Maksudmu?"
"Aku memperlakukan istriku demikian agar aku mendapatkan inspirasi untuk membuat lagu melankolis."

Rabu, 15 September 2010

Semut

Sepasang kakak beradik sedang bermain di halaman rumahnya. Si adik sedang asyik mengumpulkan semut-semut hitam ke dalam sebuah toples. Hari semakin sore, toples semakin berisi semut-semut.

“Kak, mari kita bunuh semut-semut ini. Pasti mengasyikkan!” ajak si adik kepada kakaknya yang lebih tua setahun.

“Tidak, itu kejam.” jawab si kakak.

“Yah....”

“Hei, aku tahu sesuatu yang menarik! Kemarikan toples-mu itu!”

Segera si kakak memerintahkan adiknya untuk membantunya mencabuti setiap sungut yang terdapat pada setiap semut-semut itu satu per satu.

“Lalu apanya yang menarik, Kak?”

“Lihat saja.”

Si kakak memasukkan semua semut yang sudah dicabuti sungutnya ke dalam sebuah ember. Seketika semut-semut itu saling mendekat kemudian saling gigit,
sampai mati…


-devide et impera

Selasa, 14 September 2010

Tentang Agama

Suatu hari yang entah, aku diperingatkan bahwa agama entah apapun, seibaratnya sebuah lampu lalu lintas di sebuah persimpangan jalan yang rawan dan rentan.

Suatu hari tanpa aku sadari, tanpa adanya lampu lalu lintas, sudah barang tentu tabrakan lenting sempurna terjadi setiap hari atau bahkan setiap setengah hari, kalau perlu setiap setengah jam!

Demikian pula baik yang Nasrani, baik yang Sufi, baik yang Vishnu, baik yang Buddhist, adalah seumpama sebuah lampu lalu lintas dalam kehidupan realita, semisal pegangan dalam persimpangan hidup.

Sampai ketika kau temukan persimpangan yang rentan, yang rawan, tanpa panduan, maka sudah barang tentu kau akan alami 'tabrakan lenting super sempurna' bagi buat hidupmu.

Minggu, 12 September 2010

Tentang Hati Seorang Pembunuh

"Kamu membunuh?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Bisa apa aku dalam posisiku waktu itu?"

Dia bercerita tentang sebuah pelayarannya sebagai kapten kapal di perairan India. Waktu itu, ia berdebat dengan seorang awak kapal. Entah permasalahannya apa, dia hanya mengatakannya sebagai masalah sepele. Tetapi seperti yang semua orang tahu, begitu lama di lautan dan jarang berjumpa dengan keluarga, membuat hati para pelaut mudah terbakar. Oleh karena itu para pelaut sering dicap sebagai orang yang kasar. Awak kapal itu mengatakan bahwa dia bisa menjadi kapten yang lebih baik daripada dirinya. Awak kapal itu mengancamnya dengan sebilah pisau. Dia terpojok.

Awak kapal itu menghunuskan pisau itu ke arah perutnya. Dia berhasil mengelak dan membalikkan mata pisau. Darah bercucuran. Awak kapal itu tertusuk sendiri oleh pisau yang dipegangnya.

Tidak lama setelah kebingungan panjang, tibalah waktu kapal itu menepi. Pihak kepolisian India mengusut kasusnya dan menghubungi pihak kepolisian Indonesia. Ia dijemput oleh Mabes POLRI. Dua bulan mendekam di tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, ia dioper ke Rumah Tahanan.

Dia masuk sebagai tahanan baru. Aku kepala kamarnya. Kami berbicara satu sama lain. Ia membicarakan ketidakadilan bagi kaum yang terpojok. Ia mengeluhkan betapa dirinya bagai telur di ujung tanduk. Apabila dia membiarkan tubuhnya pasrah menerima pisau itu, maka dia yang mati. Kali ini keadaannya sebaliknya, awak kapal yang meninggal itu berasal dari keluarga kaya raya. Keluarganya menuntut dan mengerahkan belasan pengacara. Dia hanya bisa pasrah menanti hasil persidangan mendatang.

"Lalu kamu membunuh supaya tidak dibunuh?"
"Ya."

Jakarta, 2009

Rabu, 25 Agustus 2010

Waiting

Tiba-tiba petugas sekuriti itu datang lantas memintanya untuk segera mematikan rokoknya. Asap rokok itu beriringan berhembus keluar dari mulutnya. Asap-asap itu menari-nari terkadang membentuk lingkaran, kemudian melintas bebas entah ke mana. Mereka tidak tahu bahwa barusan mereka ditegur oleh seorang petugas sekuriti perusahaan furniture tempat mereka berada sekarang. Dia meminta maaf pada petugas itu. Dia mematikan rokoknya.

“Sedang apa Bapak di sini?” tanya petugas sekuriti itu kepadanya.

Dia menjelaskan bahwa ia sedang menunggu seseorang yang tengah diwawancara oleh bagian HRD di perusahaan furniture itu. Dia berdiri, meminta pamit pada petugas itu, kemudian melangkah masuk ke dalam, melihat-lihat isi showroom yang dipenuhi aneka ragam penghuni tata ruang. Bangku, meja, sofa, lampu, sampai kasur yang ada di dalam ruangan itu ditata sedemikian rupa. Sungguhpun segala macam furniture di ruangan itu merupakan perpaduan serasi antara penataan, warna, dan tentunya desain, tetapi mereka tidak kelihatan seperti sekelompok perkakas angkuh walau mereka memang nampak sangat amat elegan dan menawan.

Kekagumannya pecah. Ditabrak oleh suara seseorang yang dari tadi sedang ditunggunya. “Om, sudah. Pulang sekarang?” Kata pemuda yang baru saja diwawancara oleh pihak HRD itu.

Mereka melangkah keluar, menuju mobil dengan logo Honda di bagian bumper depannya. Mesin dinyalakan.

“Bagaimana hasilnya? Diterimakah?”
“Yes.”
“Lalu?"
“Emporium.”
Mobil melaju keluar parkiran.

Cipinang, Agustus 2010

Rabu, 18 Agustus 2010

13 Horses

Dimulai dari kisah 13 kuda pacu andalan yang memiliki tekad juara. Mereka ditakdirkan untuk berlari dan menang. Kini mereka hendak diberangkatkan menuju tempat perlombaan dengan kapal laut. Musibah terjadi, kapal laut yang membawa mereka dan para penumpang tenggelam.

13 kuda berenang dan terapung-apung di laut. Kapal yang mereka tumpangi sudah lenyap dan sekarang mereka sendirian dengan air di mana-mana di sekitar mereka.

Para penumpang diselamatkan dari kapal tenggelam itu, tepat sebelum kapal terbakar. Dan sementara mereka aman, teman setia mereka, para kuda yang butuh bantuan, sabar menunggu giliran mereka untuk ditolong.

13 kuda masih terus berlari menerobos laut. Tekad mereka membuat mereka kuat untuk berlari. Mereka bahkan tidak tahu bahwa semua itu tak ada gunanya. Kebanggaan dan keteguhan hati mereka yang tetap kali ini tidak akan membantu. Tekad mereka yang dulu begitu tinggi, tiba-tiba kini mengecil.

Sudah terlalu jauh untuk kembali. Tapi siapa yang peduli, toh mereka akan mati. Semuanya ditakdirkan malam ini.

Mereka terus-menerus berlari menerobos laut. Laut yang mereka pikir hanya sekadar sungai. Mereka sudah terbiasa dengan semua cobaan ini, mereka menganggap seolah-olah mereka sedang berada di arena pacuan. Di telinga mereka, suara gemuruh laut terdengar seperti sorakan dan tepuk tangan penonton. Tetapi di mana garis finish-nya?

Malam semakin gelap. Tubuh mereka ingin beristirahat. Rasanya sesak untuk bernafas, tetapi mereka masih terus melakukan yang terbaik. Mereka ingin hidup, tidak peduli berapa lama lagi.

Kuda-kuda itu masih berjuang di laut. Mereka tidak melihat ke belakang karena itu tak ada gunanya. Hanya ada kematian di belakang mereka.

Mereka berteriak minta tolong, tetapi pertolongan tidak akan pernah datang. Mereka tidak tahu ada di mana dan harus berlari ke mana. Mereka mencoba berlari lagi ketika panik mulai menyebar. Mereka berlari ke pantai tetapi hanya dalam pikiran mereka saja.

Mereka berteriak di dalam hati bahwa mereka lahir untuk menang, maka mereka melawan sampai akhir.

Matahari sudah terbit. Burung berterbangan di mana-mana. Mereka terbang tinggi, berselancar di udara. Sangat menyenangkan untuk hidup ketika hidup adalah suatu berkat. Satu kuda terakhir yang masih berenang tampaknya akan menjadi yang terakhir.

Kuda ketigabelas menjadi yang terbaik. Pemiliknya akan bangga, tetapi kini ia ingin beristirahat. Dia merindukan rumahnya, sang gadis memberinya makanan. "Anak baik," katanya, kemudian mereka bermain bersama.

13 kuda terus berlari di laut. Segera mereka akan hilang selamanya. Mereka terus berlari seolah-olah demi satu hal yang akan selalu tetap ada, yaitu harapan yang tak pernah mati. Tidak pernah mati, tak pernah mati. Mereka berlari membawa harapan yang tidak pernah mati.

13 horses swimming in the sea
Waiting for someone to find them
Their ship is gone and now they are alone
With water everywhere around them

The men were saved from the sinking ship
Right before it started to burn
And while they're safe their loyal friends need help
Patiently waiting for their turn

13 horses swimming in the sea
They don't even know it's pointless
The pride remains but this time it won't help
They used to be so tall and suddenly they're small

There's a couple way too far behind
Soon they will be out of sight
But then who cares, they're dying anyway
All of them are doomed this night

11 horses swimming in the sea
The sea they thought was just a river
They're used to this, it's probably just a race
That helps to ease their minds, but where's the finish line?

The night grows dark, the body wants to rest
It hurts to breathe and still they do their best
They want to live no matter for how long
Their thoughts have disappeared 'cause now they're pretty scared

7 horses struggling in the sea
Waiting for someone to find them
They don't look back 'cause what's the point of that
There is only death behind them

They cry for help but help will never come
They don't know where to swim or what they're swimming from
They try to swim some more when panic starts to spread
They're swimming into shore but only in their heads

The 3 last horses dying in a sea
Shouting of their cries for no one
They're born to win, they're screaming in their hearts
The strength of thousand men, they're fighting 'till the end

The sun is up, birds are everywhere
They're flying high, surfing in the air
It's nice to live when life is such a bless
One horse that swims it seems to be the last

The 13th horse has always been the best
His owner will be proud but now he wants to rest
He's longing for his home, the girl will give him food
Good boy she'll say, together they will play

13 horses swimming in the sea
Soon they will be gone forever
And while they swim one thing still remains
And that's the hope that never dies
It never dies, it never dies


Alexander Rybak - 13 Horses

Saya sangat menyukai lagu ini. Ketigabelas kuda itu berusaha menggapai kemerdekaan hidup mereka dari maut yang mencoba merampasnya dari mereka.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Dua Jiwa

Tanah yang menyimpan jasadnya bergetar. Kerumunan belatung dan semut rang-rang meraja di atas permukaannya. Tak berapa lama, juga tidak sebentar, lalat-lalat mulai berdansa, siap menyusup ke dalam setiap celah lubang tanah yang menyimpan bangkai manusia bernama Dayat itu. Bagiku, tidak mungkin kugali tanah itu lalu kubersihkan lagi. Melanggar aturan pemakaman. Aku hanya bisa menaburkan bunga di atasnya, memanjatkan doa untuk dia, untuk Dayat.

***

“Kamu tahu?” tanya Dayat padaku.

“Tahu apa?”

“Tentangku..”

“Tentu saja. Sampai sedalam-dalamnya. Sudah lama kutangkap kamu yang terjebak dalam imajimu itu sendirian.”

“Maksudmu?” Dayat mulai bernada gusar.

Sebenarnya aku malas menjelaskan deskripsiku mengenai dia. Aku takut dia tersesat dalam pilihannya sendiri. Antara menjadi malaikat atau menjadi setan.

“Kau memang tokoh panutan masyarakat kebanyakan.” lanjutku.

“Lalu?”

“Kau penulis yang inspiratif.”

“Tidak juga.”

“Sayangnya..”

“Sayang apa?”

“Kau terjebak oleh dirimu sendiri. Kau tidak menjadi dirimu sendiri. Kau hidup dengan dua jiwa dalam satu nyawa. Kau sama saja dengan penulis kebanyakan yang tidak bersatu dengan tulisannya.”

“Sial!” emosinya meninggi.

“Tahan, Dayat. Ingat, satu nyawa tidak cukup luas untuk menampung dua jiwa sekaligus bukan?”

“Hentikan! Brengsek kau!”

“Apa aku salah?”

“Tidak, maafkan aku. Kau benar.” Dayat berlari. Ia bukan sekedar berlari. Ia melarikan diri. Kudengar malam itu ia membiarkan dirinya dibasahi air pancuran kamar mandi di kontrakannya. Semalaman. Ia terlalu depresi menjalani kenyataan. Mulutnya berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara.

***

Orang-orang hanya melihat Dayat dari tulisannya. Dari kabar hebat yang menghantam dirinya, mengagungkannya, memujanya laksana dewa-dewa dalam legenda. Tetapi apa ada yang tahu apa yang ada di dalam matanya? Di dalam hatinya? Dan apa yang selalu terngiang dalam otaknya setiap otaknya berdenyut? Tidak ada. Mereka semua hanya menggambarkan Dayat seorang pecinta romansa. Dayat sendiri muak menuliskan ungkapan-ungkapan cinta seperti ‘cintaku seluas lautan tak bertepi’, ‘cintaku seperti langit tak berbingkai’. Bah, seperti ungkapan anak-anak kecil yang bercita-cita menjadi penulis. Tahu apa mereka tentang Dayat? Dia menulis apa yang tidak mau ditulisnya. Motivasi dan kata-kata yang dituliskannya bukan semata-mata lahir dari ilhamnya, melainkan kalian semua yang memerintahkan ilhamnya untuk melahirkan kata-kata yang ditulisnya. Dia benci kalian. Dia benci romansa. Malaikat di pagi hari dan setan di malam hari. Itulah Dayat.

***

“Wi, aku akan menjadi diriku.” ujar Dayat.

“Sungguh?”

“Ya. Temui aku malam nanti seusai aku menyelesaikan kotbah petuahku untuk mereka yang mencintai aku yang sempurna.”

Aku kagum melihat Dayat. Ia berjuang merebut kemerdekaan jati dirinya sendiri, sendirian. Malam itu sekitar delapan kali dentang jam, aku meluncur bersama angin malam yang berhembus menuju tempat yang dimaksud Dayat. Wajahnya berubah. Sama sekali bukan manusia suci. Dayat kehilangan kendali. Dia frustasi dengan semua beban yang ditanggungnya sebagai tokoh panutan. Wajahnya pasrah. Kemudian berbusa. Tangannya terkulai. Lemas. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dayat bunuh diri dengan sebotol racun serangga. Sial, aku terlambat. Kini di hadapanku hanya ada seonggok tanah kuburan yang menenggelamkannya sebagai makhluk hina yang melakukan tindakan yang dibenci Sang Pencipta, bunuh diri. Tahukah kalian, malam itu ketika Dayat berkomat-kamit sambil membiarkan dirinya dibanjiri air pancuran, ia sedang mengeluhkan dirinya. Dia malas menjadi manusia sempurna.

Lalat-lalat sudah berhenti berdansa, mulai terbang satu per satu meninggalkan aku dan makam Dayat. Hanya ada aku dan tanah bertancapkan papan nisan dengan tulisan: ‘Di sini beristirahat dengan tenang, Dayat’. Dia meninggalkan pesan terakhir. Katanya dia kembali menjadi dirinya. Entah sudah berapa lama dia mati. Selama ini apa yang ditulisnya adalah hasil pemikiran otaknya yang diperintah oleh ambisi dan keinginan mereka yang ingin membaca tulisannya. Dia menulis bukan dari hatinya. Sungguhpun selama ini, hatinya ibarat kertas yang belum pernah dijamah tinta. Kosong. Dan ia mendapati bahwa kekosonganlah yang menjadi kemerdekaannya. Tidak ada teritori. Tidak ada beban. Tidak ada otoritas dan tekanan. Dia kembali ke sebuah kekosongan di atas awang-awang.

Senin, 09 Agustus 2010

Hard Rock Cafe 2007

Tanpa kalian, kehidupan ini tidak akan menemukan keseimbangan. Tanpa kamu, romansa tidak pernah dilahirkan. Kalian ingat? Malam itu Kirman membawa kita ke sini. Mengusir mereka yang sudah saling menjatuhkan, mereka yang kehilangan makna persatuan. Persatuan mereka seolah rapuh dimakan rayap-rayap malam.

"Turunkan!" perintah Kirman kepada salah dua anak buahnya.

Kita duduk tepat di depan penabuh drum, pemetik gitar, dan pengolah vokal beraksi, bersatu padu dalam sebuah konser musik hidup. Aku sempat bertanya-tanya, bilamana aku kehilangan salah satu dari kalian, apa artinya hidupku? Sampah. Menyusul mereka yang diusir oleh Kirman tempo lalu.

Kini kukatakan kepada kalian sahabat-sahabatku, sekali lagi tanpa kalian dan tanpa aku, kita tidak seimbang. Dan untukmu kekasihku, tanpa kamu, romansa di tempat ini tidak hadir.

"Kami di sana." seorang muda berkacamata berkata kepada Kirman. Dia ini temannya yang akan merayakan ulang tahun kekasihnya di sini.

Kemudian pemuda berkacamata itu memesan segelas bening berisi alkohol dan beberapa jus jeruk, empat tepatnya. Lalu diserahkan kepada teman-temannya yang juga ada di sana. Mereka minum bersama. Lalu meletakkan gelas-gelas itu di atas tubuh kayuku dan teman-temanku. Di sisi kekasihku, lilin di atas meja.

Seandainya persatuan di antara kami pudar, barangkali aku cuma menjadi seonggok kayu yang dibuang lalu digantikan mereka yang tahan rayap.

tentang sebuah meja kayu, Hard Rock Cafe 2007

Minggu, 08 Agustus 2010

Psycho Mantis

Her, kapan kamu pulang? Masih ingat anak kita, Elisa? Dia berulah lagi. Kali ini bukan dengan Rui, si lesbi itu. Kau ingat bulan lalu waktu kita mengusir Rui dari rumah kita, Her? Ya, waktu mereka berciuman di kamar Elisa. Bukankah kau juga yang sangat keras melarang hubungan gila mereka, Her?

Kini kenapa kau malah pergi? Apa kau terlalu tua sebagai laki-laki untuk melawan asap rokok, tar, nikotin, dan embel-embel narkotika? Bodohmu sendiri! Sudah kukatakan berkali-kali, batukmu itu memburuk, Her. Kau selalu saja membantah. Kau bilang ini lah, itu lah. Kini kau lihat sendiri. Kau mati, kan?

Ah, maafkan aku. Aku terlalu emosi tadi, Her. Her, aku takut. Kini Elisa menjalin hubungan dengan Rui lagi, dengan Rui yang berbeda. Aku sendirian. Tidak ada kau sebagai rekanku menyalahkan dia. Her, Rui yang kali ini membuatku gila. Dari mulutnya selalu keluar kata-kata,’I love you.. I love you..’

Her, kulit Rui Cuma seonggok plastik. Bukan daging. Dia boneka! B-O-N-E-K-A. Matanya biru dengan mulut selalu tersenyum seolah menertawakan diriku yang menggila. Elisa selalu memeluknya. Gila! Dia mengatakan Rui itu manusia. Dia yang gila atau aku yang gila, Her? Apa aku sudah tidak bisa membedakan mana manusia dan mana boneka? Baik, akan kubuktikan padamu bahwa aku yang benar. Rui yang ini cuma boneka.

I love you.. I love you..

Her! Lihat! Dia tidak berdarah. Aku menusuknya, Her. Aku menancapkan mata pisau dapur ke lengan, leher, sampai ke bibirnya yang selalu mengeluarkan kata-kata yang membuatku hampir gila.

I love you.. I love you..

Sialan, dia berisik sekali.

I love you.. I love you..

Kurobek mulutnya, Her.

I love you.. I love you..

Kulepas baterainya. Ah, berhenti. Tenang.



Elisa pulang sekolah. Dia melihat Rui berantakan. Tubuhnya terpisah-pisah. Elisa melihat diriku memegang pisau. Her, dia bilang akan lapor polisi. Aku takut. Rui itu benar-benar boneka, kan, Her? Katakan!

Kutarik Elisa. Kutikam. Ia menangkis. Pisau menancap di lengannya. Elisa juga tidak berdarah, Her. Gila! Mana yang benar, Her? Yang mana manusia? Yang mana boneka? Elisa menjerit. Ah, itu dia. Tak lama kemudian dari tangan Elisa, darah merah berenang turun. Akhirnya. Her, anak kita benar-benar manusia. Bukan boneka.

Dia bilang akan melaporkanku. Kutikam lagi. Kali ini mati.

We are monsters
Just remember how to use a love as a weapon
To kill the other
To hurt them
Laugh when they are bleeding


Her, polisi entah dari mana, mereka datang. Tetapi aku ditolak. Dialihkan kepada seorang dokter. Dokter bilang aku harus meminum obat, tidak boleh keluar kamar. Kadang ditambah beberapa suntikan. Obat dan suntikan tidak lantas bisa membuatku tidur. Belaian dokter tampan itu yang membuatku tenang dan bisa tertidur. Aku mencintai dokter itu, Her. Dialah yang selama ini kucari-cari. Kali ini dia manusia. Her, Rui sudah menjadi dokter tomboy yang tampan.

Jumat, 06 Agustus 2010

I Will Come To You

Bangku sekolah dasar sudah lama kita tinggalkan, Antonius. Kita lulus sejak tiga belas tahun yang lalu. Sampai akhirnya kau memilih melanjutkan ke sekolah yang berbeda denganku. Tahukah kau waktu itu, sepulang sekolah hari pertamaku di bangku SLTP, aku berlari ke rumahmu. Berharap aku masih sempat mengantarmu pindah rumah.

Aku mengejar waktu, atau aku dikejar waktu? Aku gagal. Tidak sempat. Kulihat rumahmu sepi. Tidak seperti belasan tahun lalu saat kita masih sering makan siang bersama di meja kayu kecil, di rumahmu. Makan siang dengan teri dan sayur alakadarnya, tetapi semuanya kita lahap sambil bercengkerama. Padahal kalau saja ada ibumu, pasti kita dimarahi, bukan? Orang tuamu, orang tuaku, selalu menekankan 'tidak boleh makan sambil bicara'.

Belakangan, kudengar kabar tentangmu, katanya sejak kau tahu perihal aku mengejar kepindahanmu waktu itu, di mana aku tetap terlambat, kau jadi uring-uringan, Antonius? Benar begitu? Kenapa? Ada apa, Sahabatku?

When you have no light to guide you
And no one to walk beside you
I will come to you
Oh I will come to you


Waktu itu yang bisa kita lakukan hanya berhubungan via surat. Kabar-kabari antara kita cuma bisa dilakukan lewat perantaraan tukang pos. Lamban. Tidak canggih. Aku akan selalu ada untukmu, Antonius. Jangan khawatir. Aku tidak meninggalkanmu. Seberapapun jauh jaraknya.

When the night is dark and stormy
You won't have to reach out for me
I will come to you
Oh I will come to you


Jangan uring-uringan terus, Antonius. Kasihan ibumu. Kulihat kau seperti menggila. Mari, katakan padaku lewat surat ini. Ada apa denganmu? Kau frustasi? Depresi? Kau membutuhkanku, Sahabat? Aku ada untukmu. Ingat kita sahabat, bukan? Jarak bukan masalah. Bahkan hujan sekalipun, kau tidak perlu keluar mencariku, aku akan datang kepadamu.

Sometimes when all your dreams may have seen better days
And you don't know how or why, but you've lost your way
Have no fear when your tears are fallin'
I will hear your spirit callin'
And I swear I'll be there come what may


Kini kita masing-masing dua puluh lima, perjalanan masih jauh. Masih banyak tahun-tahun yang harus kita kejar, kita isi, supaya menjadi berarti. Jangan kau isi dengan kefrustasianmu yang menggila, Antonius. Kau seperti pasien pesakitan.

'Cause even if we can't be together
We'll be friends now and forever
And I swear that I'll be there come what may


Kau lihat ibumu? Ia setia menemani istirahatmu sepanjang malam. Ia khawatir padamu. Makanya ia memanggil macam-macam dokter, mulai dari dokter anak sampai dokter kejiwaan. Ia khawatir kau sakit, Antonius. Ia juga khawatir kau sudah gila cuma karena merasa kehilangan seorang sahabat, kehilangan aku.

We all need somebody we can turn to
Someone who'll always understand
So if you feel that your soul is dyin'
And you need the strength to keep tryin'
I'll reach out and take your hand


Tenanglah Antonius. Siang itu, sepulang sekolah aku yang salah. Aku berlari mengejar waktu. Berharap masih sempat mengantar kepindahanmu. Aku terlambat. Lalu aku pulang dengan kecewa. Berlari sambil menangis. Berlari, Antonius. Sampai lariku dihentikan sebuah truk sampah berwarna oranye. Aku terhempas. Sekarat. Mati. Lalu ibuku mengabarkannya kepadamu dan ibumu.

Oh I will come to you
Oh I will come to you

I will come to you,
Oh I will come to you


Tetapi tenanglah Antonius, aku selalu ada untukmu. Jangan kejang-kejang lagi. Kini sudah ada aku untukmu. Aku ada di hatimu. Aku ada di dalam tubuhmu. Aku merasuk ke dalammu. Aku bersemayam di dalammu.

Sabtu, 24 Juli 2010

Rindu

Waktu yang kutitipkan pada sebuah arloji tua pemberianmu dulu, kini memanggil-manggil dengan suara keras. Katanya sudah pagi. Tetapi kali ini aku tidak melihat lagi dirimu di sebelah tidurku seperti tempo lalu. Aku kehilangan kamu, dirimu, sosokmu. Aku merindukanmu, Ibu.

Kenangan sebelum kau pergi dari hidupku, yang kuingat hanya saat kau memandikan aku, menyisir rambutku, membelainya kemudian. Aku ingat bagaimana kau dengan lembut membaringkan aku dalam pangkuanmu, baru kemudian kau menidurkan aku dalam kasur kayu. Terakhir, kau menutup petinya. Aku rindu padamu, Ibu. Selamat tinggal.

Jumat, 09 Juli 2010

Ben?

Gadis muda di depan meja kayu kecil. Diletakkannya mangkuk berisi kembang tujuh rupa. Lilin dinyalakan, dua batang. Dibakarnya kemenyan. Aroma mendesak ke seisi ruangan. Rokok kretek? Tidak. Ben tidak merokok. "Makan malam ini sungguh romantis, Ben?" tanya gadis muda pada kekasihnya, Ben.

"Agak gothic menurutku." jawab Ben singkat dan padat.

"Ben?"

"Ya?"

"Kau tahu, aku suka pria romantis. Aku cinta romansa, Ben."

"Lalu?"

"Emm, bila aku naik kapal pesiar bersamamu. Lalu kapal itu tenggelam. Apa kau akan menolongku?"

"Tidak."

"Ben!"

"Sudah kujawab. Tidak."

"Kenapa?"

"Aku ingin kau cepat-cepat mati, lalu menyusulku ke sini."

"Ben.."

Gadis muda mematikan lilin. Mangkuk berisi bunga dan sesajen berupa bakaran kemenyan dibereskan. Ritual selesai.

Rabu, 07 Juli 2010

JK, Pencuri Nyawa

Buang jauh-jauh nama Emir. Di sini aku bercerita tentang seorang yang lain. Sebut saja namanya JK. Hei, bukannya aku tidak bisa menuliskan nama lengkapnya, tapi aku takut! Bagaimana kalau dia hadir dalam ketidakhadirannya sebagai salah satu dari kalian yang membaca catatanku ini? Silahkan kalian bilang aku pengecut. Asal kalian tahu, JK adalah seorang brengos elegan yang namanya sangat santer di kalangan kriminalis manapun. Terutama kriminalis yang bergerak di bidang pencabutan nyawa, pembunuhan!

***

Tiga detik lagi kalau aku terlambat memanjat pagar kawat di ujung gang sempit malam itu, aku sudah barang pasti menjadi boneka pelampiasan naluri membunuh JK. Dia salah paham. Aku sama sekali tidak tahu kalau psikotropika yang malam itu kubawa sudah diketahui polisi. Sungguh, aku tidak tahu menahu, JK! Danny telah menjebakku! Menjebak kita!

Danny, adik kandung JK, mewarisi dengan baik teknik membunuh aliran super sadis milik kakaknya. Danny yang menurutku sengaja menjebak kami malam itu, ingin menjebloskan kakaknya ke penjara lalu menghabisinya di dalam. Ya, lewat orang suruhannya yang mendekam di sana tentunya. Danny ingin menggeser posisi kakaknya sebagai penyandang gelar Raja Tiga Empat Puluh dalam kalangan dunia kriminalis. Raja pembunuhan berencana.

Bagi Danny, asal JK sudah mendekam di dalam Rumah Tahanan, adalah mudah bagi dirinya untuk menghabisi nyawa kakaknya itu. Di sana, JK tidak akan dijaga seketat di luar penjara oleh anak buahnya. Kau tahu JK, malam itu dengan siapapun kau bertransaksi, Danny memang sudah menyadapmu! Sasarannya bukan aku, tapi kau, JK.

Aku tidak bisa terus-terusan hidup seperti tikus tanah yang selalu bersembunyi di siang hari. Kuputar otak. Aku ingat Yahya, spesialis perampokan. Kuhubungi dia. Kuperintahkan dia menghancurkan JK dan Danny. Gagal. Yahya kalah total. JK terlalu kuat. Kekalahanku semakin membuat situasinya bertambah runyam. Nafsu JK untuk memburuku meningkat. Dia menggila!

Dan aku? Masih hidup sebagai tikus tanah yang bersembunyi dari siang. Apa yang bisa kulakukan selain membaca surat kabar setiap pagi, berharap halaman depannya berjudul : 'JK Ditangkap'?


Jakarta, 2008

Senin, 05 Juli 2010

Sikat Gigi

Dingin. Selimut ditarik. Baru hangat sebentar, terpaksa disingkirkan lagi dari badan. Sudah pagi, nyaris telat, sebentar lagi. Bangkit berdiri. Mata masih menyipit, tangan meraba-raba saklar lampu, mencari-cari.

Ah, ketemu..

Lampu menyala, mata tetap menyipit. Semakin sipit malah. Belum siap kena cahaya, sepertinya. Lanjut melangkah menuju kamar mandi. Kali ini tangan menggaruk-garuk kepala dengan rambut yang mengacak liar. Jadi semakin acak dan semakin liar. Putar kran, air mengucur keluar, ditampung di gelas. Suara air dikumur dalam mulut menggema di kamar mandi. Air kumuran dimuntahkan kembali. Tangan kanan mengambil sikat gigi, dioleskan pasta gigi. Kali ini suara gigi beradu dengan sikat. Selesai, akhirnya. Diam sejenak, di depan cermin.

Otak diputar mencoba mengingat-ingat di mana semalam terakhir kusimpan ponsel, sambil tangan merogoh-rogoh ke kantong celana.

Ketemu, no message..

Kali ini berbeda dengan kemarin. Tidak ada pesan di pagi hari. Hampa. Sangat rindu saat-saat di mana pesan-pesanmu menyambut pagiku dengan ucapan : 'selamat pagi, sudah bangun?'

Plok! kedua tangan ditepukkan ke pipi, yang kiri juga yang kanan. Sadar, sadar. Cerita lama, tidak boleh dijadikan drama. Ingat, sudah pagi, nyaris telat, sebentar lagi.

Sabtu, 03 Juli 2010

Everything is Mine

Aku tidak pernah mau peduli apa yang mereka katakan padamu, Ana. Mereka mau bilang kau adalah wanita murahan paling murah sekalipun, aku tidak peduli. Aku tetap cinta kamu. Pernah suatu kali, aku mendengar beberapa lelaki yang kau putuskan dari status sebagai pacarmu, tengah berkumpul, berbisik-bisik satu sama lain. Ternyata mereka sedang membicarakanmu sambil menatapku yang tengah melintas di depan mereka. Mereka hanya iri padaku. Iri pada kecantikanmu, Ana.

Kau masih ingat om-om setengah baya yang kau campakkan karena usahanya di ambang kebangkrutan, Ana? Kalau tidak salah ingat, namanya Om Hardi. Tadi sore aku melihatnya, sambil memegangi perutnya yang buncit itu, dia mencibir aku, Ana. Ia menjelek-jelekkan namamu. Ia tidak terima kau meninggalkannya begitu saja hanya karena usahanya bangkrut. Tapi aku tidak mau ambil pusing mendengarkannya, Ana. Aku terlalu mencintai dirimu.

Aku dan Ana berjalan di sebuah pusat perbelanjaan yang ramai oleh anak-anak muda. Lalu aku memilih untuk menghabiskan hari ini bersama Ana dengan minum kopi di salah satu cafe yang ada di situ. Dari jendela yang tembus ke parkiran depan, anak muda tampan yang kelihatannya sangat kaya sedang memposisikan BMW-nya, dipandu seorang tukang parkir. Perhatikan, Ana. Berondong di depan kita itu bukan berondong sembarangan. Lekas pikat dia, Ana! Uang tabungan kita sudah hampir habis.

Setelah polesan bedak ditambah lipstik secukupnya sudah kupastikan membuat wajahku kelihatan cantik sempurna, segera aku melangkah keluar dari cafe, menuju ke parkiran mobil. Kuhampiri anak muda tadi.

”Sendirian? Kenalin, Ana.” ujarku sambil menjulurkan tangan, mengumbar senyuman terseksi yang kumiliki.

Jumat, 02 Juli 2010

Kamar Mandi

Cerita ini kumulai dengan terdengarnya suara air dari kamar mandi, lalu hilang bersamaan kran ditutup. Kemudian disusul suara gigi dan sikat yang beradu. Aku menggosok gigi sambil memikirkan reportasi berita yang kuliput hari ini. Berita kematian seorang reporter yang terjun dari atap gedung tinggi di bilangan Jakarta Pusat. Alasannya cuma satu, istrinya selingkuh.

Kuharap berita yang kutulis ini akan menggugah hati pimpinan redaksi dan para pimpinan-pimpinan lainnya untuk mempertimbangkan keeksisanku di antara mereka. Keberadaanku diakui. Aku ada dan tidak mengecewakan.

Sayang sekali. Dari segi rupa, si reporter tidak buruk. Termasuk kelas tampan dan mapan. Nama lain predikat yang melekat pada dirinya adalah seorang eksekutif muda. Dua distro dan dua resto sudah dilakoninya dengan gemilang. Otaknya cemerlang untuk urusan strategi bisnis. Si reporter juga lancar mencari ide-ide brilian untuk mempercepat pencapaian break event point bisnis yang dirintisnya. Cuma selang tidak sampai satu tahun sejak membuka distro pertamanya, dia berhasil melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka restonya yang pertama. Lalu distro kedua, baru resto kedua. Karirnya sebagai reporter cuma karena lantaran jiwa petualangnya yang selalu melulu minta dituntaskan. Sekarang semuanya dianggap apa? Malah bunuh diri.

Aku tidak habis pikir bagaimana sang istri bisa selingkuh. Semua kebutuhannya dipenuhi, dari materi sampai urusan ranjang. 'Mau apa lagi dia?' tanpa sadar aku malah mengumpat sendiri.

Aku melihat ke muka kaca. Aku tidak lagi mendapati wajahku di dalam kaca. Hanya ada pantulan istriku yang baru masuk ke dalam kamar mandi ini, sambil mengusap-usap wajahnya, menyeka air matanya. Berkali-kali ia menyebut namaku dan menyesali perselingkuhannya. Suara air mengucur dari kran kamar mandi. Suara itu menghilang bersamaan dengan kran ditutup.

Senin, 28 Juni 2010

The Premonition

Sesosok perempuan
di hutan
berlari
lalu tertangkap
meronta
lalu tewas mengenaskan
bertabur daun-daun dari pepohonan


Itu mimpiku semalam,
terasa nyata,
wajah perempuan dalam mimpi itu sungguh kukenal,
betapa tidak?
Itu wajah kekasihku sendiri..

Firasatku tak enak,
hari ini aku harus ada di sisinya,
meskipun seharian..

Hari ini kutemani dia,
sepanjang hari,
berjalan-jalan,
menghabiskan waktu,
lalu ke hutan kota,
yang penuh bunga..

Hari semakin larut,
kulihat ia kedinginan,
ia memeluk sendiri tubuhnya,
kupeluk lagi dirinya,
dua pasang tangan cukup untuk bisa menghangatkan..

Setan-setan menggoda,
membisik naluri lelakiku,
ia merasakan perubahan sikapku,
desah nafasku memburu,
ia ketakutan,
ia lari,
menyusur hutan,
terus berlari,
lalu tertangkap,
ia meronta,
Sial, keras kepala juga kau..!
Kuambil sebongkah batu,
Buk!
Kuhantamkan ke kepalanya,
barulah kurenggut paksa keperawanannya,
lalu?
Seperti dalam mimpiku semalam,
ia tewas mengenaskan,
bertabur daun-daun dari pepohonan..

Menasehati Diri

Aku melihat aku,
mematung di sudut Jakarta dengan wajah kosong,
tanpa asa,
tanpa cita-cita,
tanpa iman,
tanpa pengharapan..

Aku melihat aku,
berdiam tanpa makna di antara ilalang yang tegak menantang..
Wajah itu wajah penuh tanya..
Makna?
Cita-cita?
Ingin kugapai,
ingin kucapai,
tapi mati..

Hei, aku yang disana, dengarkan aku..!!
"Sampai kapan tak jua mengejar mimpi yang pernah kau'cipta lewat suara..?!"
"Hidupmu adalah sampah yang harus didaur ulang, agar kelak menjadi hidup yang benar-benar hidup..!!"

Wahai aku,
yang sudah tercatat,
tak usah digali lagi,
biarkan terkubur abadi disini,
dimakan cacing-cacing penyesalan,
yang mengoyak kedamaian pikiranmu..

Sekali lagi aku katakan ini padamu aku..!!
"Sadarilah, sekalipun kau kira semua telah kau raih, tanpa cita-cita, semua masih penuh dengan dusta..!!"

Wahai aku,
sudah saatnya berdiam diri di 'RumahNya' sejenak,
disana rajutlah doa untuk masa depan,
biarkan waktu menempa dirimu,
lalu Dia membangkitkan jiwamu yang mati,
menjadikan waktumu tak lagi menjadi batu,
menjadikan waktumu tak lagi bisu..

November, 2009

Karnaval

Bertepak-bertepuk,
orang-orang menonton karnaval..
Badut melempar-lempar bola,
peniup seruling mengeluarkan ular,
kereta kuda melintas..
Karnaval..

Bertepak-bertepuk,
disini ramai,
aku masih lima..
Aku yang belum pernah ke Jakarta ini,
masih menggandeng tangan ibu,
erat,
kalau terlepas nanti tersesat..

Bertepak-bertepuk,
marching band bermain genderang,
peniup api menyemburkan api,
pesulap memamerkan bakat..
Karnaval..

Bertepak-bertepuk,
aku mulai pegal,
ingin menumpang duduk,
sambil melepas dahaga,
tapi ibu masih mau menonton..

Bertepak-bertepuk,
aku pamit duduk sebentar,
ibu memberi uang untuk jajan,
Beli minum, katanya..

GLEK.. GLEK.. GLEK..
Ahh, segar..

Bertepak-bertepuk,
aku kembali ke barisan karnaval..
Lho, Ibu ke mana..?

Bertepak-bertepuk,
aku tidak melihat ibu..
Ibu hilang bersama karnaval..
Atau aku yang hilang bersama karnaval..?
Aku sendirian..
Padahal aku masih lima..

Bertepak-bertepuk,
untung ada om baik hati yang mau membantu aku mencari ibu..
Aku masih lima,
aku ikut om baik hati..

Bertepak-bertepuk,
aku berjalan menjauh dari karnaval,
om bilang mencarinya besok pagi saja..
Besok pasti aku bertemu Ibu lagi..

...
Tidak ada bertepak-bertepuk lagi,
om bilang kalau mau ketemu ibu aku harus menyanyikan lagu syahdu di jalanan,
Nanti Ibumu pasti melihatmu kalau lewat jalanan..
Yah, siapa tau..

Aku masih lima..

Don

Aku ingin membuat pengakuan kecil padamu, Monika. Jujur sejujur-jujurnya, ada sepotong kecil bagian hidupku yang selama ini tidak pernah kukatakan kepadamu. Apa yang kau tahu tentang aku selain seorang anak laki-laki yang lulus tiga tahun lebih dulu dari SMU yang sama denganmu, Monika? Tak ada?

Bahkan teman-teman sekolah yang kukenal dekat dan jauh pun tidak ada satupun yang mengenal baik siapa aku. Mereka tidak tahu yang sebenar-benarnya tentang aku. Aku lebih mirip seorang Don yang hidup dari banyak sisi, mulai dari sisi yang paling gelap sampai sisi yang paling terang.

Aku ingat betul dulu ketika salah seorang anak kelasku bercerita dengan bangganya ketika ia berhasil masuk ke dunia gemerlap bernama diskotik. Dia juga yang paling sok tahu tentang segala macam narkotika dan obat-obat terlarang. Waktu itu aku cuma berdiam, kadang pura-pura merasa ngeri mendengar cerita-ceritanya. Ya, aku cuma pura-pura. Dan tahukah kamu? Aku sukses berpura-pura. Dulu aku harus menjaga citraku sebagai anak kesayangan guru-guru di sekolah. Ah, sebenarnya tidak juga kok, yang lebih utama adalah aku harus mematuhi perintah tangan kanan yang dipercaya Tuan Emir kala itu untuk membinaku sebagai calon Don yang hidup dari banyak sisi.

Tuan Emir bilang aku harus tampil bodoh sebodoh-bodohnya, alim sealim-alimnya di lingkunganku. Tuan Emir mengajarkan aku caranya berdiam dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Tuan Emir membinaku untuk menjadi Don yang gila membabi buta pada malam hari.

Tidak satu pun ada teman-temanku yang tahu tentang kisahku yang ini. Tidak teman-teman SMU-ku, tidak teman-teman kuliahku, demikian juga denganmu, Monika. Sekarang, ketika kau membaca catatanku kali ini, kau pasti mengerti bukan, mengapa aku sering mendadak pergi setiap aku berkunjung ke rumahmu? Tuan Emir memanggil, transaksi menanti, itulah aku yang sebagai Don harus beraksi.


-Jakarta, 2006

Minggu, 27 Juni 2010

Catatan Pertama Ayah

Waktu selang-selang infus dicabut dari tubuhku, yang kuingat hanya satu, aku ambruk malam itu. Terakhir kali, malam hari sebelum aku ambruk, aku kesulitan melafalkan kata-kata dengan lidahku. Sampai fatalnya, tanganku sulit untuk kugerakkan. Setengah dari sistem sarafku mati tidak terkendali. Lalu aku ambruk.

Kini ketika aku pulih, kulewati hari-hari seperti biasa. Hanya satu yang tidak biasa, sepuntung rokok yang biasanya menemani hari, kini sudah tidak bisa dan tidak lagi kuajak bermain. Selamat tinggal wahai nikotin.

Hari ini begitu menyengat, lebih panas dari biasanya. Seperti akan ada kenyataan buruk yang akan membuatku bergidik. Aku menjalani aktivitasku sebagai wiraswasta di tengah kota Jakarta yang padat ramai, entah penduduk lokal, entah penduduk yang berurbanisasi dengan muluk-muluk mendapatkan penghidupan yang lebih layak, yang justru malah semakin terpuruk.

Hari ini aku berhasil menuliskan nota-nota hasil penjualanku. Walau sedikit lebih sulit sepertinya menggerakkan tanganku kali ini daripada dulu. Tapi, seperti yang kukatakan tadi, ada kenyataan buruk yang harus kudapati. Tangan kananku tidak mampu menorehkan garis-garis secara konsisten. Aku tidak bisa tanda tangan. Tetapi aku bersyukur masih bisa menggunakan segenap sarafku meski tidak sempurna seperti dulu. Setidaknya aku masih bisa menulis, walau sedikit lebih acak-acakan dibandingkan dulu.

Aku tidak dapat mengubah sejarah kehidupanku. Tetapi aku tidak ingin sejarah yang sama terjadi pada pewaris bangsa berikutnya. Ingatlah catatanku ini setiap kalian mengepulkan asap-asap bernama tar dan nikotin itu dari tubuh kalian.


-Jakarta, 27 Juni 2010

Sabtu, 26 Juni 2010

Kahfi

"Aku tahu tidak semua teman-temanmu itu pasti tulus. Barangkali memang di antara mereka ada yang sangat tulus. Selebihnya justru seperti anjing. Tidak diberi makan sang tuan, lantas menggonggong keras-keras. Baru nanti dilempar tulang, mereka diam diri, menjilat-jilat. Lalu aku? Bagaimana pandanganmu tentang aku?"

Dia diam. Terlalu takut barangkali mengutarakan pendapatnya sendiri tentang aku.

"Hei, katakan. Apa sajalah, pokoknya tentang aku!"

Dia masih diam. Semakin takut barangkali.

"Apa saja, Kahfi? Sebelum kau benar-benar pergi dari sini dan meninggalkan tempat ini? Apa saja?"

Suara-suara tidak berani keluar dari tenggorokannya, masih sama, stagnan.

"Aku tahu, barangkali ada detik-detik di mana aku berteriak lebih keras daripada anjing hutan yang jatah makannya direbut gerombolan dubuk-dubuk hutan. Aku tahu, mungkin aumanku jauh lebih menggelegar daripada auman singa yang baru saja naik tahta menjadi raja hutan. Tetapi tahukah kamu, bila aumanku bukan untuk menyuarakan siapa diriku seperti sang raja rimba, gonggonganku bukan untuk menyalak kepada para pencuri-pencuri jatah makan yang beraninya main gerombol. Bukan."

Masih diam. Tidak terdengar suara.

"Kau harus berangan-angan terus, Kahfi. Barangkali besok kau memang masih di sini, atau masih bisa kembali ke sini, tetapi barangkali mimpimu sudah mati sejak kemarin?"

Hanya terdengar suara kresek-kresek dari seberang. Belum ada kata-kata keluar.

"Kamu boleh berhenti melangkahkan kakimu di sini, tetapi pacu larimu menuju gerbang utopiamu sendiri, wahai calon maestro handal si kulit bundar."

Belum ada jawaban.

TREK

Telepon terputus.


-Jakarta, 26 Juni 2010

Sabtu, 12 Juni 2010

Mata yang Akan Buta

Terakhir kali dirinya periksa mata, alasannya cuma satu, kacamata rusak. Dokter membacakan hasil periksa matanya waktu itu,"Wah, silinder-mu berkurang seperempat. Ajaib."

"Terima kasih, Dok.."

"Tunggu dulu, saya belum selesai."

"Maksudnya?"

"Minus kamu itu naik tajam. Tadinya enam, sekarang sepuluh. Titik tertinggi minus yang bisa dibantu kacamata adalah sembilan belas. Sisanya kamu harus operasi."

Ia terdiam.

***

Diambilnya sehelai kain hitam, kemudian diikatkannya menutup mata. Ia berlatih menulis dengan mata tertutup. Hasilnya? Berantakan. Menulis nama sendiri saja tidak bisa.

Lalu ia seolah teringat pada monolog sepotong tongkat, skrip yang ditulis ulang seorang wartawan salah satu surat kabar tanah air, yang merupakan saduran ulang dari tulisan seorang buta dengan tekad menuntut kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Monolog tongkat yang pernah ia baca, seorang buta menulis lewat Braille.

Kain hitam yang diikatkannya menutup mata sambil menulis, bukan karena ia seorang yang gila. Ia tidak buta, belum buta, tapi akan buta. Ia hanya menjaga cita-cita dari buta, menulis dalam sebuah buta lewat Braille. Agar kelak dicantumkanlah namanya pada halaman muka sebuah buku, sebagai penulis gila yang menjaga kewarasannya dalam sebuah buta.

Dirabanya huruf-huruf dengan ukiran setengah timbul itu. Dihafalnya mati lewat indera perabanya bentuk-bentuk huruf. Berbulan-bulan dilakukannya rutin. Ia tersenyum. Kali ini senyum kemenangan. Ia merasa bisa, merasa luar biasa.

Tibalah hari di mana ia buta. Kehilangan kemampuan indera mata. Tetapi cita-citanya tidak turut buta. Ia tersenyum. Lagi-lagi senyum kemenangan. Ditarikannya jari jemari, menuliskan catatan seorang penulis gila yang buta, catatan ini..


Cilincing, 13 Juni 2010

Jumat, 11 Juni 2010

Syair Nama

Bolehkah aku memanggilmu tanpa nama?
Bukankah nama-nama sering menjadi yang utama,
sebagai partikel penyusun luka lama?
Tanpa nama,
boleh?

Kamu yang biasa dipanggil orang-orang lewat potongan nama,
yang entah potongan bagian mana,
boleh depan,
boleh tengah,
boleh belakang,
nama-nama potongan
yang mana pun,
potongan-potongan nama
yang di mana pun..

Tapi nanti malah salah potong,
akibatnya luka lama,
lagi-lagi luka,
yang lama..

Luka yang sudah lama,
luka yang akan tinggal lama,
di dalam sebuah nama..

Aku sudah terlanjur salah potong,
kalau Tuhan izinkan,
aku mau menjelaskan,
tapi waktunya,
aku tidak punya..

Lho, jangan salah paham,
aku bukan sok sibuk,
tapi sebaliknya,
saking miskinnya
bahkan waktu tidak kupunya,
tidak bisa kubeli,
apalagi kutawar..


Sementara ini,
sampai tiba waktunya kita kembali bercengkerama,
tentang cerita baru dan lama,
lewat sebuah irama,
di mana bahkan
hati penyair
mencair
jadi syair
mendengarnya,
bolehkah aku memanggilmu tanpa nama?


Jakarta, 11 Juni 2010

Selasa, 08 Juni 2010

Mal Praktik

Tiba-tiba saja malam menabraknya. Tadinya rumah itu sudah senyap. Sudah sunyi tanpa bunyi. Tati mendadak menjerit-jerit tidak karuan. Tangannya meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari ikatan tambang yang mengikat erat kedua tangannya di ujung ranjang. Ayahnya masuk kamar disusul ibunya.

"Dia kambuh lagi, Bu!"

"Cepat bius lagi. Tambahkan dosisnya!"

"Kemarikan suntikannya!"

Aku masih mengejang ke kiri ke kanan, sambil melihat mereka menyiapkan jarum suntik berisi cairan yang katanya penenang saraf, peredam skizofrenia. Setahuku, mereka juga tidak tahu obat apa itu sebenarnya. Toh, mereka hanya mengikuti petunjuk Hartono, dokter muda yang menanganiku tempo hari. Tapi ya sudahlah, aku sudah terbiasa dengan semuanya. Mulai dari Hartono sampai jarum suntik. Aku sudah hafal betul ritual yang dilakukan ayah ibu setiap akan menyuntikku. Olesan alkohol, kain kapas, dan cus.. jarum suntik. Aku tertidur. Mereka tidak tahu itu obat apa. Mereka cuma tahu itu penenang saraf.

***

Pagi-paginya aku terbangun, kulihat ayah dan ibu sibuk mengepakkan barang-barangku. Aneh, tidak seperti biasanya, hari ini seperti terburu-buru sekali. Bahkan sepertinya mereka tidak sadar kalau yang mereka bawa cuma pakaian tidurku saja. Aku mau dibawa kemana? Pakaian andalanku kenapa tidak dibawa? Hei, jawab aku.

"Pak, aku masukkan semua ini ke mobil, kamu gendong dia ke mobil ya?" kata ibu.

"Ya sudah. Sana cepat waktu kita tidak banyak. Hartono sudah menunggu."

***

Di mobil, ibu duduk di depan di sebelah ayah yang menyetir. Berkali-kali kulihat ibu menengok ke belakang, melihat keadaanku yang kurasa baik-baik saja.

"Pak! Matanya.. matanya..!" teriak ibu.

"Kenapa matanya?"

"Matanya menangis!"

"Mana? Tidak ada air matanya!"

Ayah segera mengerem, menghentikan laju mobil yang kami tumpangi. Ibu pindah ke kursi belakang, lalu menggerak-gerakkan tubuhku sambil ia menggigit bibirnya sendiri. Kulihat matanya mulai berlinang air mata ketakutan yang berenang bebas keluar dari retina matanya. Sementara ayah, kulihat ayah sedang sibuk menelepon, sepertinya ambulans. Dari wajahnya kutangkap aura kebencian, dendam, kecewa, dan penyesalan. Entah karena apa. Aku waktu itu sudah terlalu sulit untuk bisa berpikir berat. Kupalingkan pandanganku pada ibu. Ibu menjerit-jeritkan sebuah nama dengan embel-embel umpatan,"Hartono! Sialan kau!"

Jumat, 04 Juni 2010

Tali

Lasmi, belakangan ini kuperhatikan suaramu kian parau, bahkan kudengar para tetangga menggosipkan kamu yang suka mengigau, kenapa? Belakangan ini kamu semakin melemah, ada apa? Adakah kamu kurang makan, mengapa? Apakah Parman tidak memperlakukanmu dengan baik? Lasmi, jangan sesekali juga kamu bermain-main dengan kesehatanmu. Aku tidak suka. Catat itu.

Lasmi, beberapa hari belakangan ini, kulihat kamu gelisah setiap aku mendekatimu, ada apa? Jangan takut Lasmi, malam itu aku khilaf.

Ah, Lasmi, maafkan aku. Malam minggu yang lalu aku terlalu keras membentak kamu yah? Terlalu kuat aku menggamparmu yah? Ya memang demikian, aku membentakmu sangat keras, menggamparmu begitu hebat. Tapi aku melakukannya untuk kebaikanmu, karena aku mencintai kamu. Aku tidak mau kehilangan kamu, tetapi mengapa kau lakukan semua ini padaku, Lasmi? Aku tidak mau kamu dekat-dekat dengan Parman, tetangga kita sebelah yang terkenal genit pada semua perempuan kampung di sini, baik yang gadis maupun yang sudah bersuami bahkan sampai yang janda seperti kamu sekarang ini, Lasmi. Aku cemburu, Lasmi.

Lasmi, malam itu aku benar-benar khilaf. Aku tidak menyalahkan tindakanmu tempo malam. Terlalu hebat cintaku padamu sehingga aku tidak mungkin menyimpan dendam yang kesumat padamu, ataupun Parman. Kuikhlaskan sudah hubungan gelap kalian, Lasmi. Aku maklum kamu. Aku cinta kamu bahkan sampai detik ini.

Maksudku belakangan ini menghampirimu bukan untuk menuntut balas padamu yang sudah meracuni teh yang kau siapkan untukku tempo pagi. Bukan itu. Aku cuma minta dibukakan tali yang mengikat bungkus mayatku ini, Lasmi. Aku belum bisa tenang, belum bisa berangkat menghadap Yang Kuasa, Lasmi. Aku mohon, bukakan tali ini untukku, jangan malah merinding sendiri lalu mengusirku berkali-kali dengan tubuh telanjangmu di ranjang kamar kita yang ternoda oleh sebuah nama bernama Parman.

Kecoak Kereta

'Telur asin! Telur asin! Pop Mie! Pop Mie! Air putih! Air putih! Teh manis! Teh manis! Kopi! Kopi! Mijon! Mijon! Seprit! Seprit! Fanta! Fanta! Rokok! Rokok!' cuma itu-itu saja yang terdengar selama empat belas jam perjalanan kereta api Kertajaya dari Jakarta tujuan Surabaya.

Penumpang di barisan bangku sisi kiri seolah berlomba tidur dengan penumpang di barisan bangku sisi kanan. Tidur? Ya, ini kesempatanku bergerak. Kecoak kereta seperti kami memang baru bebas bergerak kalau para penumpang manusianya sudah pulas tertidur. Kalau tidak? PLAK, tubuh kami hancur berantakan dihantam koran lah, majalah lah, atau yang menjadi kematian paling terhormat ya mati digebuk pakai sandal jepit atau sepatu mereka. Sadis dan kejam memang, tetapi begitulah manusia. Itulah sifat asli dari kata manusiawi. Padahal kami, kaum kecoak, sudah lebih dulu ada sebelum nenek moyang manusia ada di muka bumi.


stasiun Kaliwungu, 24 Mei 2010

Kamis, 20 Mei 2010

Animale Rationale, Kebinatangan Manusia dan Kemanusiaan Binatang

Dulu, kenyataan tidak seperti ini. Waktu pertama aku bertemu Masrul, dia masih sebatas pacar Lasmi. Lasmi yang sudah begitu karib denganku sejak kecil, memperkenalkan Masrul sebagai pacar pertamanya. Sedikit cemburu memang pasti ada dalam benakku. Tapi aku bisa apa? Aku tidak bisa mengutarakan perasaanku pada Lasmi. Jadi aku memilih diam saja. Toh, aku yakin hubungan mereka paling cuma bertahan sementara waktu saja. Semuanya cuma soal waktu kapan hubungan mereka akan kandas di tengah jalan. Aku yakin demikian, karena setelah aku cari informasi sebanyak yang mungkin, setiap cinta pertama selalu harus berkorban untuk kandas dan merelakan cinta pertamanya kepada cinta yang kedua bahkan sampai kepada cinta yang seterusnya.

Sialnya, Lasmi begitu sungguh-sungguh mencintai laki-laki tidak tahu diri itu. Ia menikah dengannya. Untung Masrul tidak keberatan ketika Lasmi memintanya untuk turut membawaku tinggal bersama mereka, meski kadang aku bisa merasakan tatapan cemburunya masuk ke dalam jantungku. Ia cemburu padaku. Padahal aku bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Dia seorang kaya, sementara aku? Selama ini aku seperti benalu yang menumpang hidup pada Lasmi.

Bayang-bayang senja merayap cepat, hari ini genap satu tahun pernikahan mereka, tetapi Masrul belum juga pulang. Sementara Lasmi masih melangkah gelisah. Sesekali ia menahan sedu dan sedan, aku bisa merasakannya. Ia menangisi suaminya, Masrul, yang sekarang seperti seorang gila kelas biadab, yang gemar bermain perempuan muda yang masih remaja demi memuaskan nafsu birahi lelakinya. Aku jijik pada dirinya. Aku tidak sudi Lasmi diperlakukan seperti ini.

Ah, Lasmi, andai engkau tahu cintaku padamu demikian besar bukan kepalang..

Lasmi mengangguk-angguk, katanya ia percaya bahwa suatu hari suaminya akan berubah. Suara Adzan Magrib sudah redup sejak satu jam yang lalu, tetapi Masrul belum pulang. Lasmi masih melangkah dalam gelisah.

Malam hari mulai mengintip rumah kediaman Lasmi dan Masrul. Malam itu Masrul baru pulang ketika hari hampir tengah malam. Tangan kirinya merangkul perempuan muda yang memang seksi, sementara tangan kanannya merangkul gadis remaja yang masih muda dan segar.

"Pak, apa-apaan ini?" tanya Lasmi sambil lelehan air mata hangatnya menetes merayap di sekitar kelopak matanya.

"Sudah, diam saja kamu! Kamu itu mandul! Tidur saja sana! Jangan ganggu aku!" hardik Masrul.

Sialan, aku benci mengatakan ini, tetapi aku tidak terima Lasmi diperlakukan demikian, ingin kubunuh lelaki brengsek itu. Aku nyaris berdiri, tetapi Lasmi melarangku ikut campur. Ini urusan rumah tanggaku, jangan ikut campur! begitu sergahnya padaku.

Lasmi mencoba melepaskan rangkulan Masrul pada perempuan-perempuan lonte itu. Namun, yang terjadi justru fatal bagi Lasmi. Masrul menghantamkan Lasmi pada tembok. Lasmi berdarah. Pemandangan seperti ini bukan baru kali pertama ini saja kulihat. Aku sudah sering melihat tubuh Lasmi penuh warna ungu di pagi hari, itu bekas pukulan-pukulan lelaki pengecut seperti Masrul yang berani memukul perempuan tak berdaya seperti Lasmi. Kadang kulihat wajah Lasmi penuh warna merah, yang ini biasanya karena bekas gamparan Masrul di wajah Lasmi.

Aku tidak tahan lagi, aku tidak sudi melihat Lasmi sampai dianiaya seperti itu. Aku tidak rela Lasmi yang sudah lama kukenal, yang sudah lama kucintai, dizalimi seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah cepat ke arah Masrul.

"Putih!" Lasmi berusaha menyergahku tapi sia-sia.

Aku menerjang Masrul, kucakar-cakar wajahnya, lalu kugigit salah satu kakinya. Masrul sempat panik. Ia berlari ke arah kamar tidurnya. Ia mengambil senapan laras panjang yang selama ini ia simpan di dalam lemari pakaiannya. Katanya untuk jaga-jaga dari tamu tidak diundang, maling atau perampok misalnya. Lalu ia menarik pelatuknya.

DOR! senapan laras panjang ditembakkan ke arahku. Peluru timah panas dan tajam tepat mengena tubuhku. Aku terhempas dan jatuh tersungkur di lantai.

"Putih!" Lasmi menjerit histeris.

Masrul segera lari dari rumah. Demikian pula dengan dua orang lonte yang tadi dibawanya. Aku tidak tahu ke mana mereka akan pergi, aku tidak tahu apakah Masrul akan memuaskan nafsu seks liarnya bersama mereka di tempat lain, atau membatalkannya karena tragedi ini. Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Tubuhku melemas. Rasa-rasanya semakin gelap saja. Mataku berat, hingga akhirnya tertutup, tetapi bulu-buluku dapat merasakan sentuhan lembut dan pelukan Lasmi. Lasmi memelukku. Ia menangisi keadaanku. Aku paling tidak suka dengan adegan seperti ini.

"Jangan mati, Putih..." Lasmi terus menerus mengulang kata-kata itu.
"Ah, Lasmi, maafkan aku. Andai saja bisa, aku ingin mengatakannya padamu bahwa aku sangat mencintaimu, Lasmi.." kataku pada Lasmi, tetapi suara yang terdengar di telinga Lasmi hanyalah lolongan panjang seekor anjing biasa sepertiku.


Cilincing, 21 Mei 2010

Selasa, 18 Mei 2010

Selamat Pagi Kawan

Ketika kau mendapati kenyataan hidup bahwa hubungan percintaan atau persahabatanmu harus dipisahkan jarak yang teramat membentang kian rentang jauhnya, antar dua kota, antar dua propinsi, antar dua pulau, antar dua negara, antar dua benua, atau pun antar-antar lainnya yang aku sendiri sudah kehabisan 'antar', maka adalah mustahil bagimu berjumpa di pagi hari untuk sekedar menikmati hangatnya kopi bersama-sama di sebuah kedai kopi atau sarapan pagi bersama di sebuah rumah makan favorit kalian.

Sangat amat mustahil, kecuali kalian mampu menciptakan alat transportasi berupa alat teleportasi yang memungkinkan manusia berpindah tempat dalam hitungan detik, mili detik, bahkan nano detik mungkin. Dan menurutku hal yang seperti ini juga merupakan hal yang masih amat sangat mustahil untuk bisa diterima oleh nalar kita.

Maka tidak ada ucapan yang lebih menyenangkan daripada ucapan yang diucapkan sebaru bangun tidur dengan bau mulut yang belum terjamah pasta gigi bernuansa mint menthol atau menthol mint mungkin, dengan kondisi rambut yang masih mengacak liar di kepala, dengan mata setengah menyipit karena tirai kantuk belum sepenuhnya dibuka penuh, dengan semangat menjalani hari yang belum terkumpul seutuhnya namun dengan penuh kenekadan tetap mengucapkan lewat alat komunikasi semisal ponsel :

Selamat pagi, Kawan!

Sepotong Telinga Sebagai Harga Sebuah Impian

Hari ini aku cuma ingin menceritakan tentang diriku. Sekali lagi masih sama seperti kemarin, ayahku belum juga pulang, padahal hari sudah sangat malam. Sangat malam. Barangkali sebentar lagi ia pulang. Ya, biasanya hampir tengah malam dia baru pulang. Pulang dengan bawaan sebagai hadiah untukku, hadiah berupa bau mulut penuh alkohol. Sebagai gantinya aku harus memberinya pelukan dan rangkulan untuk menuntunnya sampai ke kamar tidurnya.

Aku cuma bisa mengungkapkan perasaanku lewat sebuah piano tua milik keluargaku ini. Hanya bermain pianolah talenta yang diberikan Tuhan untukku. Tapi ayah tidak pernah mengerti mimpiku menjadi pianis. Baginya pemusik cuma akan berakhir sebagai gelandangan. Semua pemusik baginya hanya akan mengisi trotoar pinggir jalanan, lalu mengemis sana-sini. Semua seniman baginya cuma akan miskin.

Setiap aku membantahnya dan terus bersikukuh pada pendirianku sebagai pianis, ayah tidak segan-segan menghadiahiku pukulan.

"Sudah berkali-kali kubilang, pemusik cuma bakal bernasib sebagai pengamen! Apa kau tuli, hah?!" katanya sambil berkali-kali memukuli telingaku.

Kini aku sudah beranjak dewasa. Aku sedikit banyak mulai memikirkan kembali kata-kata ayah. Sepertinya kenyataan membawaku jauh dari utopia mimpi sebagai pianis handal, yang piawai. Sampai saat ini, aku terpaksa jujur mengatakan belum ada karyaku yang meledak di pasaran masyarakat. Bahkan semua orang masih menganggapku kelas amatir.

Aku frustasi. Tingkat kefrustasian hampir membuatku berputus mimpi sebagai seorang pianis, membuatku nyaris memilih berhenti untuk bermimpi berdiri di atas panggung ekslusif sebuah konser tunggal yang digelar hanya untukku. Bagaimana tidak? Telingaku perlahan-lahan kehilangan kemampuannya untuk mendengar. Apa yang bisa kuperbuat? Kata dokter, aku akan segera tuli dan memang benar saja itu terjadi pada diriku. Bagaimana caranya menjadi seorang pianis yang menghasilkan karya masterpiece bila telingaku saja tuli? Berat kukatakan bahwa ini semua sebagai dampak dari pemukulan yang sering dilakukan ayah kepadaku dulu.

Aku mencari kaca, dan kulihat di muka kaca, sungguh mukaku kacau. Kuraih sebilah pisau lalu kupotong sebelah telingaku. Darah berceceran. Aku di ambang hidup dan mati. Tubuhku tak seimbang. Entah sudah berapa lama aku tidak siuman, begitu sadar aku sudah berada di sebuah ruangan rumah perawatan, dengan beberapa kerabat di sekelilingku. Kupejamkan mataku sejenak sambil berbaring di tempat tidur perawatan itu. Kubayangkan jemari-jemariku memainkan piano tua, penuh emosi, penuh ambisi, penuh kekecewaan, penuh dendam dan amarah, penuh keputusasaan dan hasrat akan kematian.

Akhirnya aku diizinkan pulang. Kulihat piano di rumahku kian berdebu. Tak pernah disentuh sepertinya. Memang tidak pernah. Entah malaikat maut macam apa yang merasukiku untuk kemudian aku menghampiri piano itu, mengambil posisi duduk, lalu menghentakkan jemariku ke tuts demi tuts-nya. Kumainkan sebuah melodi.

Inilah melodiku yang penuh emosi, penuh ambisi, penuh kekecewaan, penuh dendam dan amarah, penuh keputusasaan dan hasrat akan kematian, begitu ujarku dalam hati.

Selesai kumainkan, baru aku menyadari, beberapa orang ternyata datang masuk ke dalam rumahku dan sudah berkerumun di belakangku. Mereka menyambut melodi yang baru kumainkan tadi dengan sorak sorai, tepuk tangan, dan wajah-wajah penuh raut apresiasi.

Hah, ada apa ini? Adakah ini kesempatanku menciptakan si masterpiece milikku?
Bahkan justru di saat aku sudah tuli?
Inikah jalan kemustahilanku sebagai pianis tuli bertelinga satu?


Baik, akan kutulis ulang melodi tadi, lalu kuterbangkan ke seluruh penjuru dunia.

Lalu kukatakan pada dunia, inilah melodi masterpieceku,
yang akan membawaku menuju panggung ekslusif sebuah konser tunggal yang akan digelar hanya untukku seorang..
Inilah,

Fur Elise..

Minggu, 09 Mei 2010

Pacar Terakhir

Setiap senja aku selalu menghabiskan waktu di taman,
menunggu malam mengganti senja..
Entah mengapa setiap melihat senja, aku seakan selalu saja bisa mengingat semua kejadian yang telah terjadi dalam hidupku..
Mulai dari kejadian paling menyedihkan dua puluh tahun yang lalu,
yaitu waktu ibu meninggal saat melahirkan aku..

Sore ini aku duduk sendirian di taman,
aku melihat banyak orang-orang,
ada yang berpelukan,
ada yang menghibur pasangannya yang bersedih,
ada yang memayungi pasangannya..

Di mana aku..?
tiba-tiba aku mendengar suara seorang gadis dari belakang,
aku menoleh,
kuberikan senyuman termanis yang kumiliki untuknya..
Amat sangat cantik setengah mati,
oh
bukan
tiga perempat mati malahan..

Sejak itu aku dan si gadis selalu saja menghabiskan senja di taman ini berduaan,
bersama,
dan entah mulai kapan,
aku menaruh hati padanya..

Kita jadian..? tanyaku
Dia tak menjawab, hanya mengangguk..
Bagiku itu sebuah jawaban positif,
artinya dia mengiyakan,
dia setuju..

Wah,
senangnya,
kini aku memiliki pacar,
pacar terakhir..

Ya,
aku memang merindukan kehadiran seorang pacar dalam hidupku..
Sejak kecelakaan tragis menimpa bus yang aku dan ayahku tumpangi pada waktu kami hendak berlibur ke luar kota,
bus yang kami tumpangi terjatuh ke dalam jurang,
lalu,
BUMM..!!
meledak..
tak ada yang selamat,
termasuk ayahku,
termasuk aku..

Sejak itu aku merasa semua gadis tidak pernah melirikku,
eh
bahkan bisa dibilang,
semua gadis di dunia menganggap aku tidak ada..
Sekarang aku sudah mempunyai seorang gadis yang mau melirikku,
yang menganggap aku ada..
Aku bertemu dengannya di taman ini,
taman pemakaman..
Dia baru saja dimakamkan,
saudara-saudaranya saling berpelukan,
menghibur satu sama lain,
ayahnya memayungi ibunya,
yah,
seperti yang aku ceritakan tadi..

Oh iya,
perkenalkan,
ini pacarku,
namanya,
Martha..

Dongeng Bulan

Dongeng yang ibu ceritakan biasanya romantis dan indah.
Tapi malam ini berbeda,
buku dongeng yang ibu bacakan tidak setebal buku Seribu Satu Malam,
buku dongeng yang sedang ibu pegang hanya terdiri dari beberapa lembar halaman kertas buram,
sebuah surat kabar yang ibu bawakan seolah sebagai dongeng pengantar tidurku.
Ibu bercerita tentang asap dan debu yang mengepul di jalanan,
tentang panas yang lebih menyengat dari biasanya,
tentang orang-orang berteriak histeris menolak penggusuran.

Cukup Ibu, hentikan..!
Aku tidak mau dongeng seperti itu..!
Kemana Cinderela dan sepatu kaca..?
Kemana dongeng Seribu Satu Malam yang biasa Ibu ceritakan untukku..?
Apakah Ibu sudah kehabisan dongeng..?
Lebih baik ceritakan saja tentang Si Kancil dan Buaya..


Ibu membuka tirai,
ibu menatap bulan,
katanya di bawah sinar bulan itu masih banyak orang-orang yang tidur tanpa bernaung atap.
Ibu ingin aku segera menyadari bahwa hidup tidak selamanya seindah cerita Cinderela dengan sepatu kacanya,
tidak sebahagia kisah Ali Baba dan Seribu Satu Malam,
tidak selucu dongeng Si Kancil dan Buaya.

Ibu bilang bukannya dia ingin aku tidur dengan mimpi buruk,
tapi ibu berharap saat aku bangun tidur nanti akulah yang mengubah kisah dongeng tersebut kelak berakhir dengan indah.


'Dan' Untukku Sendiri, 'Dan' Milikku Sendiri

Dan inilah 'dan' untukku sendiri. Aku mohon siapapun, apapun, yang entah manusia, entah apa, dengarkan aku, dengarkan suara hatiku. Jauh langkahku kumundurkan kembali, dan itulah hari di mana aku membawa kalian untuk melihat aku yang tersudut, di sudut Jakarta, di sudut kota, di sudut yang paling sudut.

Aku yang memilih langkahku terbang menuju lahan yang lebih rendah dan bukan lebih tinggi adalah bukannya tanpa alasan. Aku memilih mendaratkan kakiku sejenak di sini, di tempat ini, sejenak untuk memahami apa artinya mendaur ulang hidup agar menjadi hidup yang benar-benar hidup.

Dan tahukah kalian mengenai Anki Genko yang dalam bahasa gampangnya adalah puzzle kubus? Aku mencoba menyusun kubus itu menjadi sewarna seutuhnya, tapi coba lihat! Apa yang terjadi? Kutarik ke kanan, yang kanan jadi sewarna, yang kiri berantakan. Sebaliknya kutarik ke kiri, yang kiri rapi, yang kanan hancur tak karuan. Lalu aku ingat Thomas Alfa Edison, yang berkata,"Think out the box." Yah, berpikirlah keluar dari kotak, temukan dengan berpikir yang tidak terpikir, maka segalanya teratasi.

Aku datang bukan sebagai sang sempurna. Aku datang sebagai pelarat yang paling melarat. Aku datang dari pembebasanku dari jeratan gembong narkobais kelas wahid, yang membelenggu kehidupanku dengan pemikiran bahwa generasi narkobais adalah generasi penuh imaji. Aku hidup sehari dengan dua gram psikotropika, dan kualami sudah mati suri seratus delapan puluh hari.

Lalu aku datang ke sini, ke perkampungan nelayan, bukan untuk membuktikan keeksisanku sebagai manusia, tetapi memulihkan benih-benih generasi berikutnya kelak tidak jatuh seperti aku. Dan akulah bagian jiwa dari punggawa kriminalis kelas atas. Di tangan kiriku mengalir kental darah dan bakat seorang penyadap, perampok, dan pencuri, termasuk pencuri nyawa.

Dan maafkanlah aku bagi buat kalian yang berkecewa atas kenyataan dari masa laluku, tetapi terima kasihku untuk kalian yang tetap tinggal, karena hanya kawan terbaiklah yang tetap tinggal. Bisa apa aku dalam kondisiku? Coba saja terus berkeluh kesah, sampai nafas pun mendesah-desah, lalu hilang itu asa. Aku tidak bicara pada kalian yang Si Ari atau Si Riri, tetapi aku berbicara bagi buatku sendiri, yang seorang diri. Buat apa aku berucap panjang lebar kalau semua mati suri? Lebih baik diam lalu menasehati diri, guna tersadari bahwa hidupku adalah sampah yang harus didaur ulang agar menjadi hidup yang benar-benar hidup.

Mungkin sudah kalian dengar beberapa nama seperti Johanes Gustaf, Dewa Klasik Alexander, Nastasha Abigail, dan beberapa nama lain yang pernah kucantumkan dalam catatan insomnia otak kananku. Mereka adalah kawan-kawan paling menawan, paling hebat sejagat. Aku katakan sedemikian tinggi bukannya tanpa alasan.

Johanes Gustaf yang sudah kenyang merasakan asam garam persahabatan denganku. Tahukah kalian persahabatan tanpa pertengkaran ibarat makanan tanpa bumbu? Hambar! Terima kasih sohibku yang senantiasa hadir dengan segenap motivasi hidup.

Nastasha Abigail, penyiar berjiwa penyair yang amat sangat kukagumi sosoknya sampai tiga perempat mati. Bukan dengan alasan cinta buta atau cinta monyet, tetapi kekaguman akan pribadi yang sangat mengagumkan, La Gioconda, si wanita periang yang senantiasa riang girang gemirang. Ya, dari dirinya-lah beragam kata-kata bijak aku banyak belajar. Good friends stay remain, begitu katanya. Lekas mengudara, Abi! Go get them, Tiger!

Dewa Klasik Alexander, seorang yang tidak mau tahu masa laluku. Tetapi ketahuilah betapa sering aku bertukar pikiran dan bukan hanya sekadar membela, tapi juga mengutarakan gugatan dan tuntutan yang patut ia pertimbangkan demi keeksisan apa yang sudah kita semua buat dalam badan sosial ini. Adalah waktunya kini untuk kita berdiam di rumah-Nya sejenak sambil merajut doa untuk masa depan. Sampai waktu tak lagi membuat hatimu menjadi batu, tidak lagi membuat hatimu menjadi bisu. Kelak tibalah waktu bagimu mengenakan mahkota kepemimpinan dengan jiwa besar yang tidak lain adalah hasil daur ulang jiwamu yang nyaris mati sekarang.

Lalu aku katakan bagi semuanya, kelak tibalah waktuku meninggalkan tempat ini, entah esok, entah nanti. Tetapi percayalah, jika memang terjadi hari seperti itu, dan memang sungguh terjadi, ketahuilah, aku ingin kalian mengingat namaku sebagai hal yang bisa dikenang. Adapun perlu diketahui, aku akan selalu membisikkan kata-kata pengharapan lewat telinga malaikat Surga untuk senantiasa menjaga kalian. Lalu ingatlah selalu kata-kataku,"Kelak jika terjatuh lagilah kamu dengan masa lalu traumatismu itu, temukanlah potongan waktu di mana sendu berhasil menjadi merdu.


-Cilincing, HOME (House Of Mercy), 5 Mei 2010

Ini Tentang Yani yang 'Mau' Sekolah

Sekali lagi kutegaskan bahwa aku akan berkisah dengan menggunakan kata pembuka 'dan'. Maka kisah ini pun kumulai dengan kalimat : 'Dan ini tentang Yani yang mau sekolah'.

Se-ko-lah, titik tanpa koma. Sekedar sekolah, dengan seragam putih merah yang dulu ia tinggalkan karena ibunya harus menyandang predikat janda beranak tiga, tanpa keterampilan, ditambah cambukan ekonomi yang menyerang dengan super cepat dan tak kenal ampun. Tapi Yani cuma mau sekolah. Ya, 'mau' sekolah, karena kata 'ingin' terlalu tinggi tafsirannya buat Yani yang putus sekolah.

Yani, cuma seorang anak perempuan kecil yang tinggal di rumah susun amat sangat sederhana ditambah pengap di bilangan Cilincing, Jakarta Utara. Aku mendapati dirinya yang menangis di sudut ruang kelas bimbingan belajar sederhana hasil bentukan para voulenteer yang berniat merealisasikan salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 'mencerdaskan kehidupan bangsa'.

"Kenapa kamu?" tanyaku
"Aku mau sekolah.."
"Berapa usiamu?"
"Sembilan.."
"Sudah pernah sekolah?"
"Sudah putus di kelas satu karena ayah pergi dari rumah.."

Aku lupa apa-apa saja isi pembicaraanku dengan Yani waktu itu, dan kalaupun ingat, aku malas menceritakan kepada kalian pembicaraan lumayan panjangku bersama Yani pada pagi hari itu. Yani? Yah, kalau pagi itu aku tidak mengadakan pembicaraan saling berbaku tatap mata, mungkin aku tidak pernah mengetahui namanya. Sudah barang pasti sulit sekali menghafal satu per satu nama anak yang ada di ruangan itu, jumlahnya terlampau banyak ditambah mereka orang-orang yang baru aku temui.

Yani, ya, Yani, hari ini aku menemani dirinya untuk kepengurusannya menuju impiannya bersekolah. Halangan, hadangan, rintangan, atau apa sajalah yang menghambat niatnya, kuakui cukup banyak. Mulai dari ibunya yang tidak punya KTP dan Kartu Keluarga, juga Yani yang tidak punya Akta Kelahiran. Sepertinya takdir sudah menggariskan Yani tidak boleh sekolah.

"Kak, tapi aku mau sekolah.."

Kata 'mau' yang diucapkan Yani mempunyai dua alasan. Alasan internal dan alasan eksternal. Itu aku ketahui setelah aku sedikit bertanya ria pada dirinya. Pertama, yang internal, yang dari dalam dirinya, ia bermimpi menjadi seorang dokter handal yang mengubah pandangan masyarakat mengenai nilai moral rumah sakit di Indonesia yang super merosot. Alasan kedua, yang eksternal, yang dari luar kehendaknya, yaitu dari ibunya. Ibunya bilang,"Kamu tuh ndak usah muluk-muluk bermimpi jadi dokter, jauh banget toh? Asal bisa baca tulis juga cukup. Sing penting dengan bisa baca tulis, kamu jadi ndak gampang dibodohi laki-laki." Jadi, Yani ingin membuktikan pada ibunya bahwa perempuan pun bisa sederajat dengan kaum lelaki. Sama seperti impian Raden Ajeng Kartini pada zaman di mana wanita merupakan kaum yang dipingit.

Alasan gila yang sungguh tidak bisa diterima. Cukup baca tulis dibilang bisa bertarung melawan dunia? Bukan salah sang ibu, bukan salah Yani. Tapi keadaan ekonomi sudah seperti menjelma menjadi sosok serigala lapar yang dengan cepat menghadang, mencabik, menerkam mereka tanpa kenal ampun.

Dan karena kemiskinan itu sudah diwariskan dari generasi ke generasi oleh pemikiran yang ditanamkan kakek nenek mereka bahkan kakek nenek dari kakek nenek mereka, sama seperti kakek nenek mereka dan kakek nenek dari kakek nenek mereka mewarisi pemikiran,"Orang kecil jangan suka bermimpi. Mimpi cuma buat orang sekolahan, orang kaya."

Aku tuntun Yani dan ibunya mulai dari kepengurusan KTP sang ibu, Kartu Keluarga, dan Akta Kelahiran Yani. Sungguh bukan hal mudah. Para aparat bukan mendukung keinginan Yani untuk bersekolah malah menambah ribet dengan mempersulit kepengurusannya. "Minta surat ini... Minta surat itu..." kata seorang aparat kampung yang aku rasa tidak pernah berpanas-panas ria di jalanan. Terlihat dari perut buncitnya dan tingkahnya yang gelagapan waktu kami baru tiba di rumahnya. Ia kelihatan panik karena kedapatan masih tidur, padahal hari sudah siang. Gila! Bagaimana mungkin seorang pedagang asongan bisa bangun lebih pagi dan bekerja lebih sibuk dari seorang yang katanya pemuka kampung, yang katanya pemimpin kampung, yang katanya punya jabatan di kampung. Bukankah seharusnya semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin sibuk dan berat tanggung jawabnya?

Tapi Yani tidak mengeluhkan itu, sekali lagi Yani cuma 'mau' sekolah. Jadi masa bodohlah dengan pejabat kampung yang buncit itu.

Dan hari ini aku, Yani, dan si ibu, masih menunggu penyelesaian pengurusan dokumen-dokumen diri tadi, sebelum aku mengajukan permohonan pada leader yang menaungi bentukan badan sosial tempat aku berkiprah, untuk kemudian ia mengucurkan dana tunai demi untuk Yani bersekolah.

Yani, bermimpilah seenak-enaknya dan sebebas-bebasnya! Karena mimpi bukan benda yang dapat dibeli dengan uang si kaya, tetapi dibayar dengan jerih dan perih yang dilawan dengan gigih meski pedih dan sedih. Ketahuilah mimpi menghadirkan titik horison utopia yang indah. Ingatlah betapa aku selalu memperhatikanmu selayak bunga matahari, dan tak akan kubiarkan kau sekali-sekali terbang tanpa sayapmu terkepak penuh.


-Cilincing, 29 April 2010