Minggu, 22 Juli 2012

Hitam yang Pengap

Malam ini aku memperhatikannya tertidur. Dadanya teratur turun dan naik seirama suara nafas yang keluar perlahan dari hidung sesekali dari mulutnya disusul satu dua dengkuran kecil. Aku menatap proses naik-turun itu. Konsentrasi seorang anak yang terlalu takut melihat proses itu berhenti karena baru saja matanya disajikan berita kematian tentang seorang artis yang dijemput kematian saat tertidur dari televisi yang dibiarkan lelaki terlelap itu tetap menyala. Entah sengaja untuk mengusir sepi, entah ia lupa.

Wajah yang kutatap ini adalah wajah yang menghabiskan tuanya dengan memandangi gedung mal megah di depan lapak kecil tempatnya menjajakan dagangannya. Setiap keriput memberi ceritanya sendiri. Tempo lalu ayah pulang dengan membawa keluh kesah kepada ibu tentang petugas berseragam yang mengusirnya dari tempat ia biasa berjualan, tetapi ia membawa senyuman untukku dan berpesan,"Besok pasti lebih baik untukmu, Nak."

Jika ayah berkata demikian, artinya ayah belum bisa membawakan sepeda yang selama ini kuinginkan. Apa boleh buat. Aku tak boleh mengeluh. Mereka hanya bidak catur yang diupah oleh pihak yang lebih berkuasa untuk mengusir secara blak-blakan dan mencolok agar demikianlah mereka dilihat bahwa mereka sedang menjalankan tugas negara. Semakin mencolok semakin kelihatan bekerja. Kalau perlu main pukul juga halal untuk mendapat kebanggaan dari seragam yang mereka pakai. Sepertinya itu prinsip mereka untuk memberitahukan perbedaan derajat antara pekerja berseragam seperti mereka dengan pekerja untung-untungan seperti ayah.

Keesokannya, ayah pulang membawa cerita untuk ibu. Kudengar terjadi pembicaraan antara pihak petugas berseragam dengan pihak pengelola mal tempat lapak ayah digelar. Katanya akan diadakan Operasi Sapu Bersih di area itu. Artinya ayah akan kehilangan sumber pencahariannya. Seorang teman ayah yang menolak terpaksa harus rela diambil buah-buahan yang dijajakannya, melihat para petugas tertawa sambil membagi-bagikan buah-buahan yang mereka rampas atas nama negara itu kepada rekan-rekannya.

Diam-diam keesokan harinya aku berencana mengikuti ayah. Aku tidak rela ayah dipukuli. Aku melihat dua orang petugas berseragam duduk sambil meminum es kelapa yang dijajakan salah seorang pedagang kaki lima di sekitar situ. Tapi aku tidak melihat ayah di tempat biasa ia berjualan. Beberapa orang tampak baru saja keluar dari gerbang mal yang letaknya persis di depan lapak ayah. Beberapa menggerutu, menggumam, berceracau kacau, bahkan ada yang menginjak topi yang dilemparkannya sendiri ke tanah tempat ia berdiri. Aha! Itu ayah. Ia mengelap keringatnya.

Seorang petugas yang bertubuh gempal memberi komando. Dua petugas yang tadinya menikmati es kelapa yang dibelinya dari seorang pedagang minuman kaki lima, kini beranjak dari tempatnya. Mereka mendorong jatuh gerobak milik si penjual es kelapa. Mereka seperti pesakit kepribadian ganda yang berubah menjadi alter egonya. Semenit lalu mereka beramah tamah pada pedagang kecil itu, semenit kemudian mereka menjadi serigala baginya.

Aku tidak tahu bagaimana akhir kisah itu karena ayah terburu melihatku. Ia memboyongku pulang ke rumah dan memperingatkan untuk tidak lagi mendatangi tempatnya berjualan. Nafasku sesak melihat peristiwa brutal itu. Seperti gerombolan dubuk hutan yang berani menggonggong keras kepada singa hanya karena mereka bergerombol. Nafasku tersengal-sengal diselingi isak sedu dan sedan. Ayah membopongku pulang, membiarkanku tenang dalam peluknya. Ayah berpesan,"Besok akan lebih baik lagi, Nak." Artinya ayah belum bisa membelikan sepeda yang selama ini kuidamkan.

Malam ini aku memperhatikannya tertidur. Dadanya teratur turun dan naik seirama suara nafas yang keluar perlahan dari hidung sesekali dari mulutnya disusul satu dua dengkuran kecil. Aku menatap proses naik-turun itu. Terlihat air mata mulai berenang di sekitar retina matanya. Jatuh. Aku takut membangunkannya. Aku memutuskan pergi, terbang menjauh. Di hadapanku, aku melihat seorang tua yang sedang berbaring tidur. Dan aku semakin tinggi menuju awang-awang. Menuju ketidakhadiranku lagi di dunia. Terakhir kali nafas sesakku tidak lagi terselamatkan karena ternyata hari esok yang ayah katakan tidak juga menjadi lebih baik untukku. Aku tiba di rumah tanpa nyawa dalam pelukan ayah.

Lelaki ini hanya ingin membelikanku sepeda setidaknya untuk memberi kebahagiaan kecil dalam hidupku mengingat biayaku untuk berobat yang menjerat keuangannya terlalu mustahil untuk ia penuhi. Televisi masih menyala, kali ini acara religi panggilan Shalat Subuh membangunkan ayah. Dan aku yang di awang-awang, mendoakan ayah agar hari ini benar-benar menjadi lebih baik.