Minggu, 20 November 2011

I'm Done!

Zaman menjadikan beberapa manusia termasuk aku menjadi seperti mesin pabrik, turn on dan turn off pada waktu yang tentu dan yang ditetapkan. Seperti pagi ini, bunyi 'kring' yang keluar dari alarm yang kuaktifkan semalam seolah membentur-benturkan kepalaku, sepertinya jika ia memiliki tangan, ia sudah mencengkeramkan kedua tangannya pada kerah baju tidurku lalu menarik-nariknya mencoba menyadarkanku agar lekas sadar dari alam bawah sadar. Dari mimpi.

***

Setelah diberondong air pancuran di kamar mandi yang sengaja kusetel dingin, guna menyadarkanku bahwa aku sedang dalam situasi 'menuju jam terlambat', aku mengenakan pakaian sekenanya. Memacu diri kembali ke aktifitas sehari-hari di tempat kerja. Tahukah kalian bagian dari pekerjaanku yang paling mengerikan dan yang sangat kuhindari sebisa mungkin? Merangkai bunga. Kuulangi, me-rang-kai bu-nga. Aku tidak seperti Radu yang menguasai Ikebana dengan sempurna. Mendalami ilmu merangkai bunga adalah bagian dari hidupnya. Tetapi aku? Super kuhindari. Me-nge-ri-kan.

Hari ini nyaris sempurna jika tidak ada malapetaka yang menimpaku. Dia masuk. Ibu-ibu yang kelihatannya sedang mengandung itu masuk ke dalam store tempatku mencari nafkah. Matanya memperhatikan setiap tatanan bunga yang memang sengaja dirangkai sedemikian rupa untuk menarik minat si pembeli. God dammit, aku sendirian. Teman-temanku sedang menginput laporan hasil penjualan kami seharian ini. Sebentar lagi memang jam pulang, dan kali ini sepertinya firasat burukku tidak salah. Mata si ibu mulai berkeliling, mencari vas yang sekiranya seolah-olah bisa memuaskan pencariannya selama berjuta tahun lamanya. Dan aku, meski ragu, tetap maju. "Ada yang bisa saya bantu?" keringat dingin mulai tumpah.

"Vas dengan tinggi kurang lebih lima puluh sentimeter dan bunga dengan tinggi sekitar enam puluh sentimeter. Adakah?"
Perfect! ujarku dalam hati, ternyata kekhawatiranku benar. Mimpi buruk datang.
"Harus tepat?" Tanyaku.
"Tidak juga. Asal mendekati. Saya sendiri pusing mencarinya."

Aku mengambilkannya vas setinggi kurang lebih hampir mencapai lima puluh sentimeter dan beberapa tangkai Amaryllis, lalu menunjukkannya kepada si ibu.
"Rangkaikan." katanya pendek namun mematikan.

Diawali dengan ritual tak kasat mata, ingat, kubilang tak kasat mata, sehingga ritualku tentu tak disadari si ibu, kemudian kutiru gerakan teman-teman seprofesiku yang masih kuingat. Tidak mirip memang, berkesan mengasal, yang penting tidak ketahuan asal, begitu prinsipku. Kini menunggu keputusan juri, penilaian mutlak panitia bernama si ibu yang tidak bisa diganggu gugat hasil keputusannya.

"Saya beli ini. Semuanya." Seperti merasa menjadi salah satu anggota kesebelasan sepak bola yang baru saja memenangkan kejuaraan dunia empat tahunan, aku mengangkat vas itu menuju meja kasir seperti membawa Piala Dunia pulang ke negaraku.

Perjuangan yang super melelahkan bagiku ini, diakhiri dengan perpaduan harmonis antara bunyi cenit kasir dan bunyi struk keluar dari mesin struk kasir. I'm done!

Me-nge-ri-kan.

Minggu, 09 Oktober 2011

Radu

Mataku mencari-cari sosok Radu di tengah kerumunan orang yang berlalu lalang lalu pergi di pasar bunga bilangan Jakarta Barat, tempatku berada sekarang. Aku tidak menemukan Radu. Tidak di kantin kecil tempat biasa dia menyesap kopi, tidak juga di toko bunga sederhana yang ia kelola bersama putranya yang sulung. Aku hanya menemukan sesosok pria kekar berkumis tebal sedang duduk di kursi rotan sambil merokok, tepat di depan pintu masuk toko milik Radu.

"Maaf, Pak. Apa anda melihat Radu?" Aku memberanikan diri bertanya kepadanya.

"Ah, seperti biasa, ia sedang di kebun belakang di rumahnya."

Setelah sampai di rumah Radu yang tidak jauh dari sana, aku mengucap permisi kepada mereka yang tinggal di dalam rumah itu, keluarga Radu. Kemudian aku mendapati Radu sedang memetik beberapa tangkai bunga matahari dari kebun belakang rumahnya. Ia melihat kedatanganku.

"Aku sedang menyiapkan pesananmu." Sapanya kepadaku.

"Bunga-bunga itu yang kupesan kemarin?"

"Ya, masih segar dan baru saja kupetik. Kupilih yang terbaik."

"Terima kasih, Radu. Kau penjual bunga terbaik yang pernah kutemui."

"Omong-omong mengapa kau memilih bunga ini?"

"Radu, bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa selama ini kau berfilosofi tentang macam-macam bunga, kemudian kau menjual kisah itu kepada mereka yang sedang dimabuk asmara dengan harapan mereka tertarik membeli bungamu? Aku tertarik pada kisahmu tentang bunga yang kaupegang itu."

Radu tertawa. Ia menyipitkan matanya, menatapku tajam,"Kau sungguh-sungguh?"

"Aku sungguh-sungguh. Seperti kelopaknya yang selalu mengikuti kemanapun cahaya matahari pergi, demikianlah bunga matahari, artinya 'selalu memperhatikanmu'. Dan aku sudah menemukan seorang matahari untukku, Radu. Seorang yang membuatku ingin terus memperhatikannya. Seperti bunga matahari yang selalu mengikuti cahaya matahari pergi itu." Jawabku kepadanya.

Radu tertawa, lantas berujar,"Kau jatuh cinta?"

Aku tidak menanggapinya.

Ia menimpali,"Omong-omong apa kau tahu persamaan antara jatuh cinta dan menulis?"

Aku semakin heran dengan perkataannya.

"Dengar, jatuh cinta dan menulis itu adalah dua hal yang memiliki persamaan di awalnya. Seperti sulitnya menemukan kata pembuka untuk memulai sebuah tulisan, saat jatuh cinta pun kau akan mendapatkan kesulitan dalam menemukan kata-kata yang tepat untuk mengawalinya, untuk mengutarakannya. Setelah selesai dengan awalnya, kau cukup melanjutkannya sesuai perasaanmu." Radu tertawa kemudian mengajakku kembali ke tokonya.

Ia merangkaikan untukku sembilan tangkai bunga matahari sambil berkata,"Ikutilah kemanapun cahaya matahari itu pergi."

Juni, 2011

Sabtu, 03 September 2011

Kepada Seseorang di Balik Cermin

Kata pembuka selalu saja menjadi bagian paling sulit untuk memulai sebuah tulisan. Setidaknya bagiku demikian rasanya. Terjadi begitu saja, ketika lagu Man in The Mirror keluar dari televisi kamarku, kemudian menabrak tembok wastafel yang berada tepat di depan kamarku, lalu jatuh menimpa kepalaku yang masih menghabiskan pagi di depan wastafel itu. Belum sempat kumuntahkan air kumuran di mulutku, tiba-tiba saja aku terkejut. Dia membuka mulutnya. Aku bergidik. Mulutnya terbuka tetapi tidak bersuara. Suaranya tidak cukup kuat untuk menyeberang dari alam cermin ke alam non-cermin, dari alam maya ke alam nyata.

Dia menunjukkan ekspresi kecewa. Sepertinya dia tahu bahwa aku tidak bisa mendengar suaranya. Dia meraih buku notes yang ada di sekitarnya. Merobek beberapa halaman kertas kosongnya, kemudian meraih pena. Demikian pula aku. Ditunjukkannya kepadaku apa yang dia tuliskan.

Kadang tulisan bisa lebih terdengar daripada suara
Meski kenyataannya tidak selalu demikian
Betul 'kan?
Aku berteriak pun suaraku tidak cukup kuat sampai kepadamu
Karena itu aku memilih untuk menuliskannya kepadamu
Dari balik cermin

Satu kali dalam hidupku
Aku ingin membuat perubahan
Membuat kehidupan berjalan dengan benar
Setujukah kamu?


Aku balas menulis untuknya. Aku masih belum menangkap apa maunya dan apa maksudnya dengan 'perubahan' yang ia tuliskan itu. Aku melihat dia menulis lagi. Lalu ditunjukkannya lagi kepadaku. Dari alam cermin tembus ke alam non-cermin.

Belakangan ini
Aku merasa sudah menjadi korban sebuah keegoisan
Ini saatnya aku menyadari
Ada beberapa orang tanpa rumah

Aku juga melihat anak-anak di jalan
Dengan perut kembung buncit
Karena terlalu banyak ruang kosong
Tanpa cukup apapun untuk dimakan
Aku merasa buta
Berpura-pura tidak tahu apa kebutuhan mereka


Dia menurunkan kertas penuh tulisan itu. Sekali lagi dia menulis.

Kau terkejut hari ini aku seolah berbincang-bincang denganmu?

Aku mengangguk mengiyakan.

Karena aku ingin memulai dengan pria di cermin
Aku memintanya untuk mengubah caranya
Cara pandangnya
Cara pikirnya
Jika kita ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik
Lihatlah diri sendiri
Dan kemudian buatlah perubahan itu


Kemudian dia mematikan kran wastafel yang sedari tadi mengucur keluar. Kami memuntahkan air kumuran yang dari tadi lupa kami muntahkan. Dia mengelap mulut basahnya dengan handuk, aku mematikan lampu. Bersamaan dengan itu, tubuhku mulai memudar, bersatu dengan gelap. Mataku masih memandang punggungnya yang berjalan menjauhi wastafel menuju kamarnya. Terakhir, dia menutup pintu kamarnya.

Kamis, 18 Agustus 2011

Emoti(c)on

Bee

Jika aku ingat kembali, hari di mana kita baru kali pertama berbincang-bincang secara panjang. Seolah mengabaikan arus waktu yang mendorong matahari untuk terbenam, mengangkat bulan untuk menampang, meski hanya sekedar lewat percakapan imajiner yang membius aku dan kau, membius kita untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di dua dunia yang berbeda sama sekali, dunia pagi dan dunia malam.

Dunia di mana antara yang pagi dan yang malam menjadikan kita sebagai manusia yang sama sekali berbeda. Di mana pagi mengharuskan aku tidak mengenalmu, dan malam membiarkan aku mendekatimu. Lewat kata-kata yang entah kau sebut gombal atau rayuan, tetapi dalam hatimu sendiri terasa ada debaran senang akan susunan harmonis kata-kata yang sebenarnya kususun secara acak tanpa maksud dan tujuan.

Dari mulai sekedar bertukar lagu revival sampai memamerkan beragam quotes dari orang-orang terkenal sampai yang tidak terkenal, bahkan hingga mereka yang mencoba untuk terkenal. Kemudian perbincangan imajiner itu berubah. Bermutasi! Berevolusi menjadi sebuah keharusan rutin yang terasa kurang dan janggal bila dihilangkan dari ritual kita melewati malam.

PING!

Aku baru saja pulang, demikian pesan singkat yang kukirim tepat ketika kakiku menginjakkan langkah pertamanya memasuki pintu rumah.

Kau balas dengan mengirimkan sebuah emoticon.

:)

Hari ini, meski ribuan meter fiber optik membentang, aku merasa jarak tidak demikian jauh. Sepertinya teknologi menyulap jarak menjadi tak berjarak. Dekat dan jauh menjadi semakin rancu. Perbedaannya tinggal soal kedekatan hati. Seperti jarak seorang hamba dengan Tuhannya. Seberapa dekat ia? Seberapa jauh ia? Jarak menjadi sesuatu yang gamang, yang relatif. Tergantung bagaimana kedekatan hatinya. Yah, seperti yang kukatakan tadi.

...

PING!

Ponselku bergetar.

Kamu di mana? katamu via imajiner.

Kubalas singkat dengan bubuhan emoticon senyuman di akhir kalimat.

Sebentar lagi sampai rumah :)

...

Bee

Kali nanti, ketika kita tidak lagi bersembunyi di balik rumitnya jaringan fiber optik untuk berkata-kata. Ketika kita tidak terjebak dalam arus bilangan biner yang terkirim lewat sintaks-sintaks informatika untuk berhubungan, saat itu antara aku dan kamu bisa bertatap muka secara langsung dan penuh tanpa harus sembunyi-sembunyi dari pagi. Di mana ketika malam bukan lagi menjadi medium bagi kita untuk berbincang-bincang secara panjang, melainkan menjadi medium dari sebuah penantian kepulangan, yaitu aku menanti kau pulang atau kau menanti aku pulang.

Siapapun yang menanti kelak, aku harap nanti bukan hanya sekedar emoticon yang bisa kita berikan ketika salah satu dari kita masuk dari pintu depan rumah kita seraya berkata,Aku pulang. Aku berharap lebih, Bee. Saat itu aku tidak mengharapkan emoticon seorang Tuan Senyuman. Jika aku menjadi si pulang, aku mengharapkan emotion dari wajahmu yang tersenyum menyambut kepulanganku. Ya, senyuman yang lebih tulus dari milik emoticon si Tuan Senyuman.

PING!

Rabu, 17 Agustus 2011

No One Knows

No one knows what it's like
To be the bad man
To be the sad man
Behind blue eyes

No one knows what it's like
To be hated
To be fated
To telling only lies

But my dreams
They aren't as empty
As my conscience seems to be

I have hours, only lonely
My love is vengeance
That's never free

No one knows what it's like
To feel these feelings
Like I do
And I blame you!

No one bites back as hard
On their anger
None of my pain and woe
Can show through

But my dreams
They aren't as empty
As my conscience seems to be

I have hours only lonely
My love is vengeance
That's never free

When my fist clenches, crack it open
Before I use it and lose my cool
When I smile, tell me some bad news
Before I laugh and act like a fool

And If I swallow anything evil
Put your finger down my throat
And If I shiver, please give me a blanket
Keep me warm, let me wear your coat

No one knows what it's like
To be the bad man
To be the sad man
Behind blue eyes

*The Who - Behind Blue Eyes


Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya menjadi orang jahat, menjadi orang sedih, bersembunyi di balik mata biru. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya menjadi sosok yang dibenci, ditakdirkan untuk mengatakan kebohongan yang tidak sesuai dengan hati nurani. Dalam mimpiku, kelak mereka tidak akan lagi kosong seperti hati nuraniku kini. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya, untuk merasakan perasaan ini, seperti yang kulakukan selama ini.

Ketika nanti aku mengucapkan, Aku pergi, aku seperti berubah wujud dari manusia berseragam dengan motif garis menjadi manusia tanpa seragam, dengan kaos putih yang barangkali merasa bosan karena terus kuinseminasikan dengan jeans biru panjang.

Waktunya akan tiba-tiba, seperti ombak laut yang tidak mengucap permisi ketika ia datang menyapa pantai. Juga tidak mengucap salam perpisahan ketika ia hendak menarik diri kembali ke laut. Aku sudah terbiasa untuk itu. Datang dan pergi tanpa tanda, terlalu tiba-tiba. Seperti Malaikat Izrail dan kapak pencabut nyawanya dengan jubah hitam yang invisible, tidak terlihat. Sebagaimana ia mendatangi seorang bapak, yang barangkali semalam terlihat begitu ceria dan bersemangat ketika meladeni bincang-bincang putranya seputar pertandingan sepak bola yang baru saja mereka saksikan. Semuanya akan tiba-tiba.

Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya menjadi orang jahat, menjadi orang sedih, bersembunyi di balik mata biru. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya menjadi sosok yang dibenci, ditakdirkan untuk mengatakan kebohongan yang tidak sesuai dengan hati nurani. Dalam mimpiku, kelak mereka tidak akan lagi kosong seperti hati nuraniku kini. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya, untuk merasakan perasaan ini, seperti yang kulakukan selama ini.

Tetapi dalam impianku
Kelak mereka yang kutinggalkan
Tidak akan kosong
Akan lebih penuh dari sebelumnya
Lebih bercahaya

Tetapi tetap
Mereka tidak akan mengerti
Bagaimana rasanya menjadi sosok yang jahat
Menjadi sosok yang dibenci
Ditakdirkan untuk terlihat demikian


Limp Bizkit - Behind Blue Eyes


Sabtu, 30 Juli 2011

Tentang Manusia Pertama

"A woman was created from the ribs of a man
Not from the head to be above
Nor from the feet to be controlled
But from the middle to be equal
Near from the heart to be loved
Near from the arms to be protected."


Karena Allah menciptakan wanita pada mula-mula dari tulang rusuk laki-laki
Bukan dari kepala untuk menguasai
Bukan dari kaki untuk dikuasai
Tetapi dari tengah untuk menjadi setara
Dekat dari hati untuk dicintai
Dekat dari tangan untuk dilindungi.

Karena itu jagalah perasaan masing-masing pasanganmu manusia, karena pasanganmu adalah bagian dari tubuhmu dan kamu adalah bagian dari pasanganmu.

Selasa, 12 Juli 2011

Lycan

Penyair Italia itu berkata,"Tentang manusia serigala, ada tiga kisah mengenai mereka. Pertama, seorang yang dikutuk untuk berubah menjadi sosok serigala pada malam bulan purnama. Kedua, mereka yang tertular kutukan itu karena bekas luka berupa cakaran maupun gigitan oleh manusia serigala lain. Dan ketiga, manusia serigala buruk rupa berhati baik yang selalu menyendiri, menyembunyikan diri karena malu untuk memperlihatkan rupanya kepada dunia."

Penyair Italia itu tidak berhenti sampai di situ, ia juga mengatakan,"Tetapi bagi ketiganya, matahari pagi tetap akan menyinari mereka menjadi seorang manusia baru."

"'Cause the sun will rise for everyone without any exception."
"Karena matahari akan terbit bagi semua orang tanpa terkecuali."

Senin, 04 Juli 2011

Behind The Door

Kemudian Martha mendengar suara pintu diketuk. Ini hari ulang tahunnya. Ben berjanji akan datang tepat pada waktu tengah malam, sekadar untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Sambil membawakan bingkisan kecil dibalut pita warna-warni sebagai pemanis. Sejak Ben hadir dalam kehidupannya, Martha selalu berharap bahwa semua orang yang mengetuk di balik pintu rumahnya adalah Ben.

Suara pintu diketuk. Tiga kali.

Sekali lagi... Sekali lagi... Gumam Martha, karena Ben biasanya mengetuk empat kali.

Suara pintu diketuk. Kini bertambah satu ketukan, menjadi empat kali.

"Ben?" Martha membuka pintu.

"Selamat ulang tahun!" Teman-teman sekolah Martha datang memberikan kejutan.

Bukan Ben... Martha menyesal di dalam hati, mendapati kenyataan bahwa orang yang datang tidak sama dengan orang yang ditunggu kedatangannya.

Ucapan dan pesta kecil dimulai. Diakhiri acara lempar-melempar dan melumuri wajah Martha dengan kue oleh teman-teman sekolahnya. Sudah satu jam lewat tengah malam.

Martha masih mengharapkan Ben datang dan mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Meski tanpa hadiah. Kemudian suara telepon memaksa kepala Martha menoleh ke arah meja telepon, bergegas mencapai lalu mengangkatnya.

"Halo?" Martha menjawab.

Kali ini mantan pacar yang mengucapkan selamat ulang tahun.

Sampai pagi harinya, Martha tidak berhasil mendapati kenyataan bahwa Ben datang kepadanya. Tidurnya dibangunkan oleh alarm yang memanggil-manggil. Mengingatkan agar Martha tidak terlambat menghadiri jadwal konser bersama grup musiknya.

Martha memang handal bermusik. Baginya, musik mampu mengubah dunianya, yang sepi menjadi berapi-api.

Suara air dari kran kamar mandi mengalir. Martha keluar dari kamar mandi. Memakai empat olesan wax untuk menata rambutnya. Berias seadanya. Tampil kasual dengan kaos hitam polos tanpa motif diinseminasi dengan celana panjang jeans biru, ditambah sepatu kets putih.

Ben, menyukai gaya kasual...

Gitar listrik kesayangannya diambil dari sofa di ruang tamu, tempatnya semalam tertidur.

Pintu rumah dibuka. Kemudian Ben keluar dengan sebuah gitar listrik di tangan. Menjalani kehidupannya. Meninggalkan sosok Martha yang masih menunggunya dan tidak pernah bisa bertemu dengannya.

In any other world
You could tell the difference
And let it all unfurl
Into broken remnants

Smile like you mean it
And let yourself let go

'Cause it's all in the hands of a bitter, bitter man
Say goodbye to the world you thought you lived in
Take a bow, play the part of a lonely lonely heart
Say goodbye to the world you thought you lived in
To the world you thought you lived in


*Mika - Any Other World

Minggu, 12 Juni 2011

It Is Not Farewell, It Is Amelia's Fare Thee Well

message received
Aku ingin membahagiakan orang tuaku. Membuat mereka tidak lagi perlu bangun tengah malam hanya untuk mempersiapkan masakan, untuk kemudian dijajakan pada pagi harinya. Aku ingin melihat mereka bahagia. Menikmati hari tua mereka dengan baik.

message sent
Karena itu kamu memutuskan pergi?

message received
Aku ingin melihat mereka bahagia. Aku ingin bisa mengabdi kepada mereka.

"It is not farewell, it is your fare Thee well."
Anggap ini bukan sebagai perpisahan, tetapi ongkos yang harus kamu bayarkan untuk menempuh perantauan tak hentimu. Karena hal terindah dalam hidup bukanlah ketika kita mendapati diri kita tersenyum, tetapi ketika kita mendapati bahwa kita telah membuat orang yang kita sayangi tersenyum.


Amelia Kusardi

Sabtu, 28 Mei 2011

A True Lover Will Paint Your Life, Not Pain Your Life

Ketika kamu bercerita tentang beragam kesedihan yang melukai hatimu hari ini, aku tidak menasehatimu dengan beragam petuah. Tidak juga mengajarimu dengan ini itu yang aku sendiri belum tentu lakukan. Aku hanya diam kemudian tersenyum, lalu menanyakan,"Berapa ukuran kakimu?"

Bukan karena aku tidak peduli pada masalahmu, tetapi agar kamu bertanya balik kepadaku,"Mengapa kamu tanyakan hal itu?" Dan demikian supaya kamu beralih pada sebuah keceriaan, bukan berkutat dalam kesedihanmu itu.

Ketika kamu menjawab,"Ukuran kakiku tiga puluh sembilan." Aku akan memberikan sepatu dengan ukuran empat puluh. Bukan karena aku lupa, tetapi agar kamu tidak melupakanku sebagai orang yang sudah diberitahu tetapi masih salah mengingat ukuran kakimu. Agar kemudian kau menyimpannya baik-baik sebagai hadiah yang memiliki kenangan bodoh di dalamnya.

Ketika kamu menyimpannya, aku akan mencari waktu untuk menyembunyikannya. Bukan ingin membuatmu susah. Tetapi hanya agar kamu tidak pernah melupakanku bahwa aku pernah hadir di dalam hidupmu, meski sebagai pengganggu saja.

Ketika suatu hari aku tidak lagi di sampingmu, kemudian kamu menanyakan,"Di mana kamu sekarang?" Dengan jantung berdetak kuat, aku akan mengatakan bahwa aku tidak pernah jauh darimu, bahwa aku selalu mampu melihatmu. Karena aku selalu menyimpan namamu di dalam hatiku.

A true lover will paint your life, not pain your life.
Seorang cinta sejati akan memberi warna dalam hidupmu, bukan melukai hidupmu.

Senin, 23 Mei 2011

Waiting in Patience and Waiting with Passions

Hilangkan ambisi mencapai sebuah impian, karena ambisi hanya akan menggebrak di awal dan berbuah kelelahan kemudian. Hadirkanlah sebuah kerinduan hati sebagai motivasimu, karena kerinduan hati tidak akan pernah mati.

Aku berbicara bagi buatmu yang berucap,"Kapan kita mampu melewati badai ini?", sekalipun telah sekian lama kamu melaut, tetapi tidak kunjung kau capai tanah tujuan, jangan bersungut-sungut. Keep waiting in patience and keep waiting with passions.

Ketika kapalmu terkadang terombang dan kadang terambing, dihajar badai kemudian terpecah pada arah, jangan menyerah. Ketahuilah, kamu hanya perlu menepi sejenak di tanah perantauan, hiruplah udara di sana. Istirahatlah sejenak. Lalu lanjutkanlah perantauanmu dengan kapal lain yang berbeda, yang satu arah denganmu. Perjalanan satu arah akan membuatmu mampu mendayung dua kali lebih cepat menuju tanah tujuan dan menembus badai untuk kemudian bersama-sama berkata,"Daratannya sudah terlihat!"

Bukan soal seberapa tinggi impianmu, tetapi seberapa besar kerinduanmu untuk menggapainya.

Sabtu, 21 Mei 2011

Trivial : Dewi Sartika 'Kucu'

Akhir tahun dua ribu sembilan, kususun daftar kontak di akun jejaring sosial putih biru milikku, Facebook. Halaman demi halaman kubuka bukunya (book), kucari mukanya (face). Diklasifikasikan sebagai kawan-kawan yang pernah ada dan pernah tinggal dalam masa lalu, euforia.

Hanya ada satu nama yang memasang fotonya dengan gambar buah strawberry. Namanya tidak asing. Sama persis dengan nama salah seorang temanku semasa sekolah dulu. Dewi Sartika, hanya di belakangnya ditambahkan 'Kucu'. Ah, improvisasi saja barangkali. Kutelusuri teman-teman yang ada di akunnya. Sama. Sebagian besar teman-temanku ada di sana. Pasti dia salah satu teman masa SLTP-ku dulu. Anak paling cerdas pada angkatannya.

Kukirimkan permintaan sebagai teman. Diterima. Kukirimkan pesan : "Apakah kamu Dewi Sartika alumni SLTP Tasisius II dulu?"

Dibalas : "Bukan. Ada apa?"
"Tetapi kamu mengenal teman-temanku semasa SLTP dulu?"
"Siapa?"


Kusebutkan beberapa nama teman-temanku yang juga terdaftar sebagai teman-temannya.

"Oh, mereka maksudmu. Memang. Tetapi itu teman-teman masa SMU dan kuliah, bukan masa SLTP."
"Jadi aku salah orang?"
"Exactly."


Hubungan terputus. Tidak ada komunikasi sama sekali sejak saat itu. Sampai dia mengomentari beberapa tulisan absurd dalam kumpulan notes yang sering kupublikasi sebagai luapan impian tak sampaiku menjadi seorang penulis handal. Ya, dua tahun lalu aku memang pernah bermimpi untuk bisa menjadi seorang penulis alegoris yang mencantumkan namaku di halaman depannya. Tetapi sudah lama kukubur impian itu. Dunia bukan soal menyusun kata-kata, tetapi lebih kepada mewujudkan kata-kata menjadi nyata, bukan?

Kembali kepada trivial kali ini, komentar demi komentar menyambungkan tali pertemanan. Dewi merekrutku menjadi bagiannya. Sedikit dukungan dan banyak cambukan diberikannya kepadaku. Terima kasih sekali, Teman. Joki yang handal.

Hari ini, malam ini, aku kembali didebarkan oleh pesan singkat yang dikirimkannya, yaitu debaran kepada satu impian lama. Impian untuk menjadi penulis yang mencantumkan namaku sebagai penulisnya. Aku tidak akan menyebutkan buku atau majalah apa itu sampai aku benar-benar menjadikan impian itu sebagai realita. Tetapi ketahuilah, angin segar ini seperti menghidupkan impian lamaku. Aku sungguh berterima kasih atas dukungan tak henti-hentimu, Kawan.

message received
Gue tidak peduli apa motivasi lo menuliskan notes di akun jejaring sosial. Tetapi gue hanya ingin katakan, kesempatan itu tidak lama lagi datang dan ada. Persiapkan diri lo. Gue mau lo buktikan bahwa lo bukan hanya jago kandang di dunia Facebook saja.

Aku katakan kepadamu, Kawan. Seandainya itu terjadi dan benar terjadi, tepat bulan November mendatang akan menjadi ulang tahunku yang paling berkesan. Mengapa? Karena jika usahaku membuahkan hasil, maka ketika kau mengabarkan berita yang baik, itu akan menjadi hadiah ulang tahun yang tidak tergantikan nilainya.

Jakarta, 22 Mei 2011

Ai dan Zo, Buddha Bar

Ai, begitu biasa Naftali dipanggil singkat, padat, dan cepat. Perempuan muda yang lebih dari sekedar super bersemangat, bisa dibilang ultra bersemangat. Berdasarkan hasil survei para teman-temannya, di manapun ia berada, dirinya dijamin memaksa mata setiap lelaki yang melihatnya untuk mustahil melempar pandang ke arah lain. Bukan karena kecantikannya yang sudah jadi barang umum penyita perhatian lelaki terhadap perempuan, tetapi karena keceriaan dan semangatnya yang mampu dijajarkan dengan sinar kosmis yang bisa menembus lapisan atmosfer, litosfer, stratosfer, dan osfer-osfer lainnya sampai berlapis-lapis.

Zo, bukan nama panggilan, karena memang demikian namanya tertera jelas di Kartu Tanda Penduduk-nya. Zo, Z-o, Z dan O, nama seorang pria muda yang setia menemani ke manapun Ai ingin melampiaskan hasrat semangatnya. Korban pelampiasan Ai, begitu hasil survei tertinggi teman-teman mereka membuktikan, apabila pertanyaan 'Apa julukan yang tepat untuk Zo?' diikut-sertakan sebagai salah satu pertanyaan dari kuis keluarga di televisi. Seperti namanya yang singkat, Zo lebih suka berdiam daripada berlari, lebih suka menonton daripada beraksi.

Keparadoksan sifat di antara keduanya menalikan tali persahabatan yang erat, sama seperti dua kutub magnet berlawanan yang saling dipertemukan, me-nem-pel.

Buddha Bar, Buddha dan Bar, demi ke tempat inilah, Ai selalu memaksa Zo menemani dirinya berkutat menebar pesona sejuta aksi, menghentak-hentakkan kaki, menggoyang-goyangkan pinggul, di tengah-tengah lantai disko sambil diiringi lagu dari band-band siaran langsung yang disebut live music.

Sementara Zo, daripada harus memaksakan diri meminum ber-shot-shot sloki penuh tequila dan margaretta, lalu memasuki alam mabuk, membiarkan ketidak sadaran mengambil alih kemudi di dalam otaknya, lalu ikut menari-nari bersama Ai, Zo lebih memilih berdiam diri di meja yang terletak di sudut ruangan paling sudut, ditemani segelas bening yang berwarna kuning setelah diisi penuh jus jeruk oleh barista-barista cantik super handal, yang jago melempar-lemparkan botol-botol dari bahan fiber anti pecah.

Dua manusia yang hidup di alam duniawi, yang saling tidak pernah mau mengalah satu sama lain dalam berdebat tentang hal sepele, yang bahkan kadang sebenarnya sama sekali nggak ada hubungannya dengan hal yang diperdebatkan. Semisal, waktu pertama kali mereka berdua nonton bareng di sebuah bioskop paling ternama nan terkenal dari ujung barat sampai ujung timur Jakarta, dari ujung utara sampai ujung selatan Jakarta, Cinema 21.

Ai bilang,"Hemm, kalo menurut gue nih, angka 21 itu berarti kalo kita beli tiket pake kartu kredit BCA, beli dua cuma bayar satu." Diprovokasi rasa tidak mau kalah ditambah naluri berdebat yang menggebu-gebu, Zo angkat bicara,"Salah, kalo menurut gue, angka 21 itu berarti kalau beli tiket pake kartu kredit BCA, beli satu dapatnya dua tiket." Nah loh? Dua-duanya berdebat sengit saling sengat. Padahal mereka membicarakan hal yang sama, sama sekali nggak paradoks, sama dan persis. Bahkan kalau mau dihadirkan tokoh penengah, bisa ditambahkan : Begini, angka 21 itu nggak ada hubungannya sama aksi promo dari kartu kredit manapun. Tapi istilah membeli dengan kartu kredit BCA, itu maksudnya buy one get one, beli satu dapat satu. Nah? Tambah pusing, kan? Tiga argumentasi yang sama, tapi diperdebatkan. Itulah Ai, itulah Zo.

***

Malam itu, Zo yang biasanya nggak suka nongkrong, hang out, atau apalagi lah istilah dari mejeng yang lagi ngetop di kalangan anak muda jaman sekarang, tumben-tumbenan Zo ngajak Ai ketemuan di Bar, ya, Buddha Bar, lambang keparadoksan antara keagungan sang Dewa Dewi Buddha dan keriuhan nuansa malam ibukota yang sama sekali nggak suram. Zo, tampil menyambut Ai, yang baru mau masuk lewat pintu depan. Zo, mengenakan pakaian kasual seadanya, dengan kaos biru tanpa merk, diinseminasi dengan celana jins dan sepatu kets item selaras dengan celananya. Rambutnya ditata mohawk. Sementara Ai, dirinya malam itu tampil seratus kali lebih anggun daripada putri dari negeri dongeng manapun.

Zo, meraih tangan Ai. Suasana yang biasanya riuh dan penuh, sesak sampai terdesak, oleh hentakan dan jingkrak-jingkrakan Ai, seperti tidak ada lagi. Lenyap dan senyap. Zo berkata,"Sebentar saja, aku ingin berterus terang. Satu detik perdebatan denganmu, aku merasakan satu detik kehangatan yang menyelimuti hatiku. Jadi, sudah berapa lama kita saling kenal? Setahun? Kalikan sampai menjadi satuan detik. Kau tahu berapa jumlahnya? Anggap jumlah itu memenuhi seisi ruang di tubuhku. Penuh."

Tiba-tiba Ai menarik lengannya lalu berkata lirih,"Cukup, jangan dilanjutkan. Maaf, kamu sahabatku. Aku tidak ingin berubah. Kamu selamanya sahabatku."

***

Hari ini sudah dua minggu aku tidak bertemu lagi dengan Ai. Menyapanya lewat telepon atau sekedar mengirimkan sms iseng berisi kata-kata konyol pun tidak. Aku tinggal pikiran. Jiwaku melayang ke awang-awang, ke sebuah kekosongan mutlak. Dari langit biru aku selalu saja bisa mengagumi Ai, dirinya yang selalu melulu mampu mempresentasikan sebuah berita menjadi sajian menarik bagi buat pendengar dan penontonnya.

Namun, tidak hari ini, aku tidak terkesima melihatnya membawakan berita hari ini. Aku justru melihat beban berat yang dia pikul kali ini, air mata, igau merisak tangis yang cuma bisa didengar oleh aku yang tinggal pikiran.

Ai, setelah dua minggu itu, tidak pernah lagi menanyakan keadaanku. Ai, setelah dua minggu itu, tidak pernah tahu rahasia hatiku, yang ingin kuungkapkan seandainya waktu itu dia menerimaku. Ai, aku bukannya tidak suka tequila, bukan benci margaretta. Ai, jantungku sudah rusak, waktuku mendesak, aku cuma ingin kamu. Ai, hari itu, sebelum bertemu denganmu, aku bertemu dengan dokter spesialisku. Dia menjabarkan panjang lebar diagnosanya mengenai penyakitku, sama seperti guru SD mengajarkan caranya melakukan pembagian angka berdigit lebih dari empat dibagi angka berdigit tiga, 'harus terperinci supaya mengerti' katanya. Ai, hari itu dokter bilang aku tinggal seminggu. Dan kini kau bawakan berita duka cita kematianku.

Minggu, 15 Mei 2011

Tentang Melihat Malam

Dear Bee,

Terkadang, jika kata 'pergi' bisa berarti sebuah proses perjalanan yang pelan-pelan akan meniadakan kehadiranku di dalam kehidupanmu. Aku katakan kepadamu, aku tidak ingin pergi. Hanya saja terkadang hidup kelak harus berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Roda waktu terus berputar, kemudian manusia-manusia di sekeliling kita akan terus bertukar. Dulu mereka jauh bagimu, kelak menjadi dekat untukmu. Dulu kamu di bawah mereka, kini kamu di atas mereka. Begitulah.

Pelan-pelan, jika memang akan terjadi, yang mana kehadiranku mulai semakin tiada, dan kau mulai hidup di dalam duniamu, aku ingin kau mengerti, aku sekali-sekali tidak pernah hilang darimu. Aku selalu bersamamu, hanya saja aku barangkali tidak bisa melihat Bulan dan Bintang dari satu garis cakrawala yang sama denganmu, sekalipun kita hidup dengan berpijak pada balkon yang sama. Entah mengapa, tetapi sering sekali untuk menyaksikan sebuah cerita bernama Malam, beberapa manusia belum tentu bisa melihat Bulan dan Bintang yang sama.

Seandainya saja bisa, aku ingin memiliki kunci untuk masuk ke duniamu, lalu melihat Malam dengan barisan Bulan dan Bintang yang sama dengan yang kau lihat. Dan jika memang aku tidak akan pernah bisa mendapatkan kunci untuk memasuki duniamu itu, aku hanya berharap kelak aku akan memiliki kunci untuk masuk ke dalam hatimu, walau hanya untuk hidup di dalam hatimu saja, Bee.

Jakarta, 15 Mei 2011

Selasa, 10 Mei 2011

Wherever You Will Go

Ini sudah ketiga kalinya malam ini kau menangisiku, Monika. Jangan terlalu disesalkan. Hey, aku baik-baik saja. Hanya sedikit kehilangan debar. Berhenti. Tidak ada guna kau menangisi waktu, Monika. Waktu hanyalah dewa maha kejam yang tidak pernah mau menerima tawar-menawar. Sekali kau coba menghentikannya, kamu yang akan hancur, atau bahkan mati, Monika.

Ketika malam ini pikiranmu menangkap bayanganku, alihkan. Hanya akan membuatmu gila dan dihantui rasa bersalah yang kau ciptakan sendiri, Monika. Aku tidak pernah jauh darimu, tidak pernah. Aku selalu memperhatikanmu. Aku berada dekat denganmu. Hingga malam ini, Monika. Benar, hingga malam ini.

Kau ingin mencariku dalam perjalanan lamunanmu, Monika? Jangan kau pandangi langit malam ini, Monika. Aku tidak di sana. Aku tidak sejauh itu. Aku tidak berada di bawah bintang Daud yang ratusan tahun jauhnya di belakang matamu. Tidak sejauh itu.

Kau juga tak perlu memandangi tanah ini, Monika. Aku tidak di sana. Sudah sejak tiga hari yang lalu aku meninggalkannya. Pandangi cermin di depanmu. Kau akan menemukanku. Dekat denganmu. Aku selalu memelukmu erat dari belakang sepanjang hari, semenjak aku mengerti bahwa aku telah mati ditabrak lari olehmu tempo hari, Monika.

Senin, 09 Mei 2011

Mencari Bee

Layar ponsel tidak lagi dihias screen saver yang menari-nari dan berdansa setiap lima menit. Kosong. Kutelusuri daftar kontak dan buku telepon yang tersimpan rapi di dalam memori telepon genggamku. Kubaca satu per satu, tersusun rapi secara berurut. Alfabet. Ketemu! Kutekan tombol hijau. Memanggil nomornya. Ah, tidak jadi. Sebelum nada panggilan pertama berbunyi, kuurungkan niat itu. Segera kutekan tombol merah. Panggilan dibatalkan.

Kedua ibu jari menekan beberapa tombol ponsel. Mengetikkan beberapa huruf yang kemudian segera tampil di layar ponsel. Siap kirim berupa susunan kata-kata. Sebagian besar pertanyaan, pertanyaan sepele yang sengaja dikirimkan sebagai luapan rindu. Berharap penerima mengerti, betapa aku yang mengirimkan pesan itu sangat merindukannya.

Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti 'sedang apa?', 'sudah tidur?', dan 'sudah makan?' siap dikirim. Kemudian aku ragu. Kuhapus satu per satu. Huruf demi huruf. Akhirnya layar kembali polos. Kemudian waktu terasa stagnan. Berhenti. Bahkan suara nyamuk pun terdengar. Seperti roket yang sebentar lagi siap meluncur. Kemudian gerakan slow motion, kepakan sayap nyamuk seolah bisa kucermati. Plak! Pipi kiri dan kanan ditepuk serentak. Sudah malam. Terlalu banyak berpikir bukan-bukan. Tidak boleh larut di dalam cerita.

Layar ponsel kembali polos. Perlahan, cahaya di layar mulai meredup. Kemudian mati sama sekali. Tidak ada panggilan yang kutujukan kepada Bee, tidak ada pesan berisi pertanyaan yang kutujukan kepadanya. Tidak ada untuk malam ini.



Jakarta, 10 Mei 2011
Didedikasikan untuk setiap mereka yang mencari Bee.

Selasa, 19 April 2011

Tentang Sebuah Perubahan

Aku akan menceritakan tentang sebuah teorema lama dari Bapak Darwin yang mana pernah ada sepotong waktu, dahulu, di mana semua jerapah memiliki leher yang pendek. Kemudian, seiring berjalannya waktu, perubahan pun terjadi. Alam memutuskan kehendaknya bahwa semua pohon harus tumbuh ke atas, semakin tinggi dan meninggi.

Jerapah yang ingin bertahan hidup, yang ingin bisa mendapatkan makanannya harus mau dan mampu membiasakan diri dengan kondisi pepohonan yang meninggi. Beberapa dari mereka tentu saja berkata,"Lebih baik keadaan yang dulu."

Beberapa jerapah berleher pendek harus mau menarik segenap ototnya untuk bergerak ke atas, memanjangkan lehernya. Mereka adalah jerapah yang ingin melihat maksud, tujuan, dan akhir dari perubahan itu.

Pada akhirnya seleksi alam berbicara, bahwa jerapah berevolusi menjadi berleher panjang. Sementara itu, jerapah berleher pendek musnah dan mati satu per satu. Bukan karena perubahan maupun situasi alam yang kejam, tetapi karena jerapah tersebut tidak memperjuangkan hidupnya sendiri.

Segala perubahan diadakan untuk memperbaiki keadaan meski sekarang kelihatannya tidak demikian, meski kini belum terlihat, dan meski kini hanya terlihat seperti benang kusut yang bergerak serabutan dan berjuang memperebutkan. Tetapi akhir dari semua perubahan ini akan menjadi jelas. Pada akhirnya semua yang mau menyelesaikannya akan melihat tujuan dan maksud perubahan itu, kemudian dengan merasakan jantung berdetak dan raga bergerak, mengarah ke depan dengan penuh harapan, mereka akan berkata,"Jadi, inilah tujuan dari perubahan itu selama ini? Sempurna."

Ingatlah, bukan soal kemampuanmu melewati masa-masa menyakitkan untuk menyelesaikan perubahan itu, tetapi soal bagaimana kamu mampu membawa semua teman-temanmu menyelesaikan perubahan itu, sampai akhirnya semua menjadi jerapah berleher panjang.

Senin, 18 April 2011

Trivial : Untukmu, Tahyudin

Silahkan klik link berikut sebelum membaca trivial yang kutulis di bawah ini, Back Office : February 2011.

Aku katakan kepada kalian yang berkali-kali menginginkan kejatuhanku. Aku ingin bercerita sedikit bagaimana Tuhan membentuk dan mendaur ulang hidupku. Dia mengizinkan kakiku terancam sebuah pistol berisi peluru timah panas, Dia mengizinkan kepalaku harus bocor dan mengucurkan darah akibat pemukulan stik golf oleh seorang pria berseragam, Dia juga mengizinkanku mengenal beberapa orang yang kehilangan makna hidup mereka tetapi bersemangat untuk kembali menemukan jalan hidup mereka. Tuhan memberikan segala cobaan-cobaan yang bersifat sementara itu hanya agar aku mampu membentuk karakter secara permanen.

Dan atas apa yang kalian lakukan kepadaku, percayalah, aku sekalipun tidak mengharapkan kalian terjatuh. Aku mengasihi kalian sebagaimana Tuhan mengasihiku. Tetapi aku ingin kalian mengerti, tidak perlu terburu-buru mengusirku. Aku akan pergi sendiri dan kembali kepada mereka yang menaruh cita-cita dan harapan besar tentang sebuah impian bukan-bukan yang mereka dan aku ciptakan.

Tenanglah, Kawan. Aku hanya ingin menyelesaikan tujuanku, kisahku. Kelak ketika aku menamatkan semua kisah ini, aku akan berhenti memainkan tokohku sekarang. Aku akan pergi dengan sendirinya. Kembali kepada sekumpulan kawan dengan ketulusan dan sebuah kepercayaan tanpa batas mereka untukku. Jika kelak saat itu tiba, maka aku akan memiliki sebuah kisah yang dapat kubagi dengan anak-anakku di sana, yang juga merupakan sebuah kebenaran akan pernyataanku tempo lalu kepada kalian, bahwa tujuan hidupku bukan pada kesuksesan, tetapi pada pencapaian sebuah nilai kemanusiaan yang nyaris hilang dari muka bumi.

Lalu apabila sudah tiba waktunya, aku akan mengatakan kepada seorang rekanku, yang kusebutkan namanya dalam trivialku terdahulu, Tata,"Aku bangga melihatmu. Nilai-nilai itu sudah kamu lakukan, bukan kamu umbarkan. Capailah nilai-nilaimu, meski kelak tanpa lagi aku."

Mengapa aku bangga kepadanya? Kalian yang tidak mengenalnya tidak akan pernah tahu. Tata hanya seorang Office Boy, tetapi jiwanya melebihi jabatan yang melekat pada dirinya. Berkali-kali dia menunjukkan nilai ketulusan dan keikhlasan dalam bekerja. Mereka tidak tahu mengenai dirinya, tetapi aku tahu persis bagaimana ia memaksakan diri untuk bekerja meski menahan sakit yang sedang menyerangnya. Bagaimana ia tidak ingin tempatnya bekerja kerepotan karena kekurangan tenaga. Dan aku bangga atas itu, sebab segala hal yang dilakukannya adalah tanpa keluhan maupun tuntutan.

Bukan seberapa tinggi jabatanmu, tetapi seberapa tinggi nilai yang kamu junjung untuk mencitrakan jabatan itu sendiri.

"Studying, working, and loving is like playing the piano. When you play it just based on the manual book, it will sound like as it should. But when you play it with your feeling, it will sound endearing."

Belajar, bekerja, dan mencintai adalah seperti bermain piano. Saat kau memainkannya berdasarkan buku pandu, maka akan terdengar sebagaimana mestinya. Tapi saat kau memainkannya dengan perasaan, akan terdengar menawan.

Jakarta, 18 April 2011

Rabu, 13 April 2011

Pelangi untuk Regista, Il Capitano


Pernahkah kalian menemukan kejadian seperti ini saat menonton tayangan pertandingan sepak bola? Seorang kapten menghampiri pelatihnya dan berkata,"Masukkan dia!" Pernahkah? Apakah kalian mengerti siapa yang dimaksud dengan 'dia'?

Dia adalah pemain yang nyaris tidak pernah masuk ke dalam daftar pemain utama. Dia pemain spesialis cadangan yang baru akan dimasukkan ke dalam skuad inti jika sang pelatih merasa kehabisan akal dan strategi dalam menghadapi kesebelasan lawan. Saat itulah pemain cadangan itu akan dimasukkan untuk memvisualisasikan imajinasinya, dan dari imajinasinya itulah diharapkan terjadi perubahan, dari kekalahan menjadi kemenangan. Dialah Fantasista.

Orang-orang Italia percaya bahwa Fantasista adalah mereka yang mampu memberikan perasaan berdebar kepada para penontonnya ketika menyaksikan pertandingan yang dilakoninya. Para penggila sepak bola itu rela merogoh kocek mereka untuk membeli tiket demi menyaksikan Fantasista mereka beraksi. Satu hal dalam hati mereka, yaitu sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak mereka setiap menyaksikan Fantasista itu beraksi,"Permainan macam apa yang akan kau perlihatkan hari ini, Fantasista?"

Namun, banyak orang yang tidak mengerti. Fantasista tidak lebih dari sekadar pelangi yang bisa kehilangan keindahannya. Fantasista yang telah kehilangan keajaibannya tidak lebih dari sekadar pemain kelas cadangan biasa. Tidak berguna. Fantasista ibarat binatang liar yang harus ditundukkan seorang pawang dengan memberinya kepercayaan untuk melahirkan keajaiban lewat gerakan serabutannya, seorang pengendali dan pengatur yang mampu memasukkan keajaiban sebagai unsur cadangan ke dalam perhitungan matangnya. Dan pawang dengan bakat tanpa batas seperti itu dinamakan Regista, Il Capitano.

Seorang Fantasista sulit sekali mendapatkan kepercayaan dari orang lain sebab pemikirannya yang bukan-bukan dan cenderung tidak wajar. Karena itulah dia akan memberikan dan mempertaruhkan segala keajaiban imajinasinya hanya untuk seorang Regista.

Dalam dunia modern, sosok Regista dianggap vital dalam membawa timnya menuju tangga kemenangan, sebab ia memiliki visi yang tajam dan pertimbangan berdasarkan perhitungan yang matang. Baginya, keberuntungan hanyalah akibat dari kesalahan perhitungan yang masih bisa ditoleransi.

Antara Fantasista dan Regista ada satu perbedaan yang mendasar dan membuatnya terlihat paradoks atau bertentangan, yaitu seorang Regista selalu mampu menapaki lahan yang semakin tinggi oleh karena ia mampu memberikan penjabaran yang baik kepada orang lain sebelum mengambil keputusan dan bertindak. Sedangkan Fantasista, seperti pelangi yang bisa kehilangan keindahannya sewaktu-waktu, demikian pula seorang Fantasista bisa saja kehilangan keajaibannya ketika ia mendapati kenyataan bahwa Regista yang telah memberinya tempat harus segera berangkat menuju lahan yang lebih tinggi.

Masyarakat Italia menyebut Fantasista sebagai l'arcobaleno atau 'Sang Pelangi' dengan nilai keindahan yang bisa pudar sewaktu-waktu, dan mereka menyebut Regista sebagai Il Capitano atau 'Sang Kapten'.

Jadi, sosok mana yang merasuk di dalam diri kalian ketika melakoni kehidupan kalian dalam dunia pekerjaan atau dunia apapun yang milik kalian? Aku hanya ingin menjadi seorang Fantasista untuk satu orang Regista, sama seperti Hattori Hanzo, ninja Iga yang terkenal sepanjang zaman hingga diabadikan kisah-kisah komik maupun filmnya, tentang seorang ninja yang setia mempertaruhkan nyawanya demi kejayaan Tokugawa Ieyasu.


Jakarta, 13 April 2011

Selasa, 12 April 2011

What Did You Know?

Seorang mengatakan bahwa hidup tidak pernah memberinya pilihan, yang lain berkata bahwa hidupnya selalu ditabrak kemalangan. Sementara sebagian lagi mengeluh kesahkan perihal sekolahnya sampai ada yang membahas rumah tangganya. Semuanya bercerita seolah mereka makhluk paling sial di dunia. Tanpa keberuntungan sedikit pun. Seolah Fortuna sudah sejak lama membenci mereka.

Lalu apa yang kalian rasakan jika kalian nyaris gila karena hidup menuntut kalian untuk melahirkan tujuan sementara kalian kehilangan media untuk menggapainya. Seperti kisah Beethoven yang mendadak tuli sebelum ia melahirkan Fur Elise. Jika kalian menjadi dia, apakah Fur Elise akan lahir? Atau hanya akan menjadi malaikat maut yang terjebak di dalam kotak musik?

Apa yang terjadi kepada kalian jika kalian menjadi seorang Leonardo da Vinci yang mendapati bahwa ruang penyimpanan lukisannya dilalap api kebakaran? Apakah La Gioconda Monalisa akan lahir? Apakah The Last Supper akan dipamerkan di ruang-ruang kesenian negara?

Apa yang kalian tahu tentang aku? Selain dari percakapan-percakapan imajiner kita? Seperti seorang anak laki-laki yang mengisi hidupnya dengan debaran? Atau sebaliknya, seorang anak yang menghabiskan hidupnya tanpa impian?

Kukatakan satu hal padamu, Kawan. Sungguhpun aku ingin sekali untuk bisa melihat dunia secara penuh seperti yang bisa kalian semua lakukan, melihat matahari dengan penglihatan sempurna dari mata kiri dan kanan. Tetapi Tuhan telah sejak lama membutakan mata kiriku. Sungguh aku sempat menaruh kecewa kepadaNya. Namun, aku mengerti bahwa semua diizinkanNya terjadi demikian adalah sudah seturut rencana dan kehendakNya saja di bumi seperti di dalam Surga. Dia mematikan mata kiriku karena Ia telah lama memperhatikan sosok iblis di dalamnya dan Ia tidak menghendaki hal itu terjadi di dalam diriku.

Jakarta, 12 April 2011

Minggu, 03 April 2011

Surat-surat Penyapu Jalan

Ini hari ketujuhku sebagai penyapu jalan. Aku menemukan banyak keping kehidupan yang dibuang di jalan-jalan ini. Ada kegundahan, kekhawatiran, kesedihan, keputus asaan, dan yang ironis adalah ketakutan manusia menyatakan cinta. Ya, seperti surat lecek yang kutemukan di trotoar barusan ini. Penulisnya pasti sangat dangkal. Dia terlalu takut menyatakan perasaannya. Dia takut kehilangan sehingga ia memilih tidak memulai. Seperti drama dalam sinetron saja.

Aku mencintai bukan untuk melukai. Aku mencintai karena aku mengagumi dan ingin selalu memahami. Tetapi semuanya akan hilang ketika aku mencoba menyampaikannya. Ini suratku yang kedua yang barangkali kutulis lantas kubuang begitu saja tepat ketika kububuhkan tanda titik pada kalimat terakhirnya.

Aku tidak mengerti bahasa orang atas. Sebagai penyapu jalan, aku hanya mengerti bahwa cinta bukanlah cinta sebelum ia dipersembahkan. Cukup sampaikan, lalu cukup lihat bagaimana nantinya. Apakah akan mendapat jawaban yang menyenangkan atau menyakitkan, itu urusan belakangan.

Aku tidak mengerti bahasa orang sekolahan yang memasukkan cinta ke dalam rumus pemasukan dikurang pengeluaran dikurang biaya cinta lebih kecil dari mapan sama dengan bunuh diri. Masa bodoh dengan itu. Aku dan istriku hidup dari memulung sampah, menyapu sampah, tetapi cinta kami seperti sampah yang sukses didaur ulang, terasa sangat mahal nilainya. Masa bodoh dengan rumus matematika kehidupan dan percintaan.

Terakhir kali aku mendengar sebuah lagu lewat radio usang yang kupungut dari tong sampah rumah orang kaya di blok seberang, kalau tidak salah penyiarnya sempat mengucapkan 'Janet Jackson', kuanggap itu nama penyanyinya. Dia melantunkan sebuah lirik yang indah, begitu menurut penyiarnya yang kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, sebab aku tidak mengerti bahasa lain selain itu :

"Doesn't really matter what the eye is seeing, 'cause i'm in love with the inner being." -Janet Jackson
"Tidak peduli apa yang dilihat mata, karena aku jatuh cinta pada yang di dalam hati."


Jakarta, 3 April 2011

Rabu, 23 Maret 2011

Fadillah

"Memang kita sedang apa, Ayah?" aku yang waktu itu masih duduk di bangku kelas tiga SD bertanya kepada ayahku yang sedang sibuk berbicara dengan seorang petugas berseragam.
"Mengurus paspor-mu, kamu harus dioperasi."
"Apa itu operasi? Untuk apa?"
Ayah tidak menjawab.

***

Hari ini aku merasa pusing. Bukan. Bukan karena pelajaran matematika kelas tiga SD yang sedang dijelaskan oleh ibu guru. Aku tidak bisa memfokuskan mataku pada papan tulis. Pandanganku kabur, sampai akhirnya aku ambruk. Ibu guru wali kelasku, Ibu Christine membawaku ke UKS Sekolah.

Beberapa jam kemudian aku siuman. Aku ditanyai macam-macam. Aku tidak menjawab. Aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku, tetapi aku tidak tahu apa itu. Ah, ketemu! Aku baru menyadari, pandanganku tidak penuh! Hanya sebelah! Oh, Tuhan, kenapa ini? Ada apa dengan mataku?

Aku mencoba menutup mata kiriku, membiarkan diriku melihat hanya dengan sebelah mata kanan saja. Tidak ada masalah. Kini kuberanikan diriku menutup mata kananku. Tidak! Apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat! Mata kiriku buta!

Ibu penjaga UKS kebingungan melihat tingkah panikku. Dia memegangiku, kemudian memelukku, seolah dia tahu apa yang sedang terjadi di sini.

Ibu Christine langsung menghubungi orang tuaku, aku dipulangkan. Ia menceritakan kejadiannya kepada ibuku. Mata kiriku ternyata bukan buta, tetapi tidak berfungsi lagi. Bahkan untuk mengenali wajah ibuku yang berdiri tepat di hadapanku saja tidak bisa. Hanya kelihatan warna putih dan hitam membentuk pola tidak karuan.

***

Beberapa bulan kemudian ayah membawaku ke Singapura untuk berkonsultasi dengan seorang dokter yang dikenalnya. Dokter tersebut tidak menyarankan aku untuk dioperasi, sebab usiaku masih belum cukup, terlebih saat itu aku bersikeras menolak menjalani operasi karena ketakutan yang luar biasa. Membayangkan matamu dicungkil keluar, kemudian diganti dengan mata orang lain? Tidak! Yah, itulah yang bisa dibayangkan seorang anak SD kelas tiga sepertiku saat itu. Mana aku mengerti tentang retina dan kornea, apalagi titik jatuh bayangan, mendengarnya saja belum pernah.

Tahun demi tahun berganti, usaha ayah memburuk. Aku tidak pernah akan dioperasi. Tak masalah, toh memang aku tidak mau.

Aku selalu menyembunyikan kenyataan ini dari semua teman-temanku, aku tidak mau dibilang buta atau lebih buruknya aku tidak mau sampai dikasihani. Karena itulah aku tidak pernah melepaskan kacamataku selain ketika aku beranjak tidur.

Tetapi hari ini aku dipertemukan dengan seorang anak di Perkampungan Nelayan bernama Siti Nur Fadillah. Mata kiri dan kanannya masing-masing sudah minus sepuluh koma lima dan minus tujuh sejak lahir. Dia tidak pernah memberitahuku. Aku bisa mengerti, dia pasti minder dan tidak ingin dianggap cacat.

Aku mengetahui hal itu ketika aku memperhatikan pola tingkah anak-anak didik di kelas itu saat mereka sedang mencatat apa yang kutuliskan di papan tulis. Aku melihat Fadillah, demikian dia akrab disapa teman-temannya, berdiam diri. Aku bertanya,"Ada apa?"

"Tidak kelihatan."

Aku terkejut, tulisanku itu sudah sangat besar, sudah sengaja dibesarkan supaya bisa dilihat oleh anak yang duduk di barisan belakang. Saat itulah kutanyakan apakah ada masalah pada matanya yang ia sembunyikan? Dia mengangguk.

Beberapa hari kemudian, aku membawanya check mata ke klinik terdekat, dokter mata memberikan catatan kepadaku tentang minus dari kedua mata Fadillah.

Tuhan,
jika aku hanya bisa melihat dunia sebelah saja,
izinkan aku memiliki kemampuan untuk melihat anak ini tersenyum penuh...



Penyerahan kacamata untuk Siti Nur Fadillah (Kelas II SLTP) oleh HOME
Keterangan mata Siti Nur Fadilah : mata kanan -7, mata kiri -10.5


Tuhan tidak memampukanku untuk melihat dunia secara penuh, tetapi Dia telah memampukanku melihat Fadillah tersenyum penuh.

Agustus, 2010
"Terima kasih atas dukungan sobat-sobat HOME sehingga anak-anak ini bisa mendapatkan kacamata dan melihat secara penuh."

Sabtu, 19 Maret 2011

Saga

Monika, kamu ingat? Ketika aku dan kamu masing-masing masih enam, kau dan orang tuamu yang baru saja pindah ke kampung kami, datang bertamu ke rumahku. Sementara orang tua kita asyik bercengkerama tentang tetek bengek sayuran sampai kenaikan harga bensin, aku dan kamu asyik bermain gundu. Saling adu sentil bola-bola kaca dengan hiasan manik-manik di dalamnya. Cantik, seperti dirimu.

Sampai tiba waktunya kita masing-masing bermetamorfosis menjadi remaja, orang tuaku menampik kehadiranmu dalam hidupku. Mereka membencimu, Monika. Entah, aku tidak mengerti, apakah aku salah jika mencintaimu, Monika? Sudah terlambat. Ayah membelikanku tiket dan mengurus kepindahanku ke negara Paman Sam sana.

Kini sudah puluhan tahun berlalu sejak kenangan bermain kelereng bersamamu, Monika. Sampai saga lama ini kembali terlintas di hadapanku. AKu lupa menceritakannya kepadamu, aku telah menikah dengan seorang warga Amerika di sini sejak aku lulus dari bangku kuliahku, Monika. Bahkan aku telah dikaruniai seorang anak perempuan, kuberi dia nama seperti namamu, Monika. Pada musim dingin kali ini Monika tepat enam.

Akhir pekan itu aku dan suamiku sedang menemani Monika kecil menonton televisi di ruang keluarga. Tiba-tiba suara bel di depan terdengar. Kubukakan pintu. Seorang pria Asia bertanya,"Bolehkah kami bertamu sambil memberikan hadiah kecil ini sebagai perkenalan kita? Aku mengajak istri dan anakku pindah ke sini dari Indonesia."

Suamiku datang dan mempersilahkan mereka masuk. Aku terkejut, kamu datang bersama lelaki itu, Monika. Kamu juga datang bersama putrimu, yang belakangan kuketahui kau beri dia nama seperti namaku.

Sementara kita, para orang tua berbincang-bincang tentang tetek bengek masakan di Amerika, sambil aku dan kamu berpura-pura tidak saling kenal, aku tahu persis kamu melihat pemandangan yang sama dengan yang kulihat saat itu. Putrimu dan putriku, mengulangi saga kita yang telah terkubur lama, asyik bermain gundu. Saling adu sentil bola-bola kaca dengan hiasan manik-manik di dalamnya. Cantik, seperti dirimu.

Minggu, 06 Maret 2011

Back Office : February 2011

Aku akan menuliskan sebuah trivial tentang sepotong waktu, jauh sebelum beberapa orang yang bekerja di tempat aku bekerja mulai mengeluarkan perkataan,"Ada kamu, ada dia. Ada dia, ada kamu."

Saat itu di sudut kantin karyawan, kami, aku dan pria bernama panggilan Tata, sedang menunggu makan siang yang kami pesan tersaji. Aku memulai pembicaraan,"Apakah kamu percaya ada beberapa orang di luar sana yang bekerja bukan berorientasi upah, melainkan berfokus pada sebuah nilai?"

"Maksudnya?" Dia menjawab tanpa berpikir.
"Di dunia ini, ada orang-orang yang tidak memusingkan gaji atau upah yang diberikan, tetapi lebih memikirkan nilai yang ia capai dari sebuah pekerjaan itu."
"..." Dia diam.
"Pernah mendengar kisah seseorang yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi sesama manusia?"
"Pernah."
"Apakah orang-orang seperti mereka memikirkan gaji?"
"Tidak."
"Lalu apa yang mereka hendak capai?"
"Bukan kesuksesan, tetapi nilai."
"Cerdas!" Aku tersenyum.

"Tanamkan pemikiran seperti itu, sehingga aku akan senantiasa percaya kelak suatu hari nanti kamu akan menjadi orang yang mempunyai nilai besar untuk hidupmu." Aku meneruskan perkataanku.
"..." Dia menunggu perkataanku selanjutnya.
"Ngomong-ngomong, kemarin untuk apa kamu masuk bekerja? Bukankah sudah hakmu untuk libur?" Tanyaku lagi.
"Bukankah kemarin kamu mengatakan bahwa toko kita akan kedatangan banyak barang masuk?" Dia menjawab.
"Lalu?" Aku masih belum mengerti maksud dari jawabannya.
"Aku bekerja untuk sebuah nilai. Jika aku masuk untuk membantu, apakah itu menjadi sebuah nilai bagimu untukku?"

Kami tertawa bersama.

Sejak hari itu, aku katakan kepadamu melalui catatan trivialku ini, aku selalu tersenyum ketika kamu mengoceh sana sini, mengulang-ulang filosofi asal-asalan yang lahir dari pembicaraan kita tempo siang itu. Dan aku terkadang harus menyumbat telingaku ketika kamu terus-menerus mengatakan kepadaku :

Bekerjalah untuk sebuah nilai, bukan untuk sebuah upah.

Februari, 2011

Rabu, 23 Februari 2011

Pengorbanan

Perbedaan antara memberi dan berkorban terletak pada rasa sakit. Ketika kamu memberi dan terasa sakit, artinya kamu sudah berkorban.

Jangan takut dan khawatir, sebab Tuhan Allahmu tidak akan meninggalkan orang-orang yang telah mengerti artinya berkorban. Mengapa? Sebab Ia sendiri harus bersusah payah mencari sampai ke pelosok bumi untuk menemukan orang-orang dengan hati seperti itu.

Jakarta, Februari 2011

Senin, 31 Januari 2011

Tout Seul (Sendirian)

Sendirian. Tengah malam. Seperti kemarin. Sulit tidur. Sudah semakin gila. Kemarin setengah gila, hari ini tiga perempat gila, besok? Aku menjaga kewarasanku di dalam tulisan-tulisanku yang bukan-bukan, yang absurd.

Tanda merah. Di sudut kiri atas akun jejaring sosialmu. Lagi-lagi, begitu pikirmu, seorang gila menulis di dalam malam. Tengah malam. Ah, maafkan aku. Mengganggu mimpi kalian. Mengajak kalian mewaraskan aku.

Mataku menjelajah ke memori komputer. Mencari sebuah file musik untuk kuputar. Ketemu. Lagu I Believe in You milik maha duo Il Divo dan Celine Dion.

PLAY

Kesepian, jalan yang telah kau pilih
Sebuah jalan kegelisahan, tidak ada jalan untuk kembali
Suatu hari kau akan menemukan cahayamu lagi
Apakah kau tahu?
Jangan biarkan berlalu, jadilah kuat

Ikuti kata hatimu
Biarkan kasih memimpinmu melalui kegelapan
Kembali ke sebuah tempat yang pernah kau kenal dulu
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu

Ikuti impianmu
Jadilah dirimu sendiri, seorang malaikat kebaikan
Tidak ada yang tak bisa kau lakukan
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu

Sendirian
Kau akan meninggalkan kesendirianmu
Buka hati
Tatap semesta
Tempuh pencarianmu
Jangan melihat ke belakang
Jangan menunggu
Hari itu
Bangkit

Ikuti bintangmu
Seberapa jauh impianmu akan membawamu
Suatu hari kau akan menggapainya
Jika kau yakin, jika kau percaya, jika kau percaya
Pada dirimu

Ikuti cahaya
Jangan padamkan api yang kau bawa
Dan ingat
Aku percaya, aku percaya, aku percaya
Pada dirimu

Suatu hari nanti aku akan menemukanmu
Suatu hari kau akan menemukanku juga
Dan ketika aku memelukmu erat
Aku tahu itu sudah benar

Ikuti kata hatimu
Biarkan kasih memimpinmu melalui kegelapan
Kembali ke sebuah tempat yang pernah kau kenal dulu
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu

Ikuti impianmu
Jadilah dirimu sendiri, seorang malaikat kebaikan
Tidak ada yang tak bisa kau lakukan
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu


Kau dengar? Seberapa jauh impianmu akan membawamu, katanya. Suatu hari kau akan menggapainya, katanya. Kembali ke sebuah tempat yang pernah kau kenal dulu, katanya. Dan ketika aku memelukmu erat, aku tahu itu sudah benar, katanya. Kau dengar, Kawan? Bersediakah kalian bertahan, untuk sebuah janji yang tidak pernah aku tahu tergenapi tidaknya? Tetapi kalian telah mendengar sendiri kisah ajaib Musa yang membelah Laut Merah, bukan? Itukah yang namanya keyakinan seratus persen?

Kalian mengerti? Jika tiba waktuku nanti bertemu dengan malaikat penjagaku, aku hanya ingin bertanya satu hal dan mengajukan satu permohonan. Mengapa otakku mampu memerintah fungsional tubuhku, tetapi tidak mampu menghidupkan hidupku di dalam jalan kerinduanku? Permohonanku sederhana, bawa aku menemukan kembali hidupku yang terasa mati. Jika kalian memutuskan pergi sekarang, maka aku akan mati. Kerinduanku hanya kalian yang membawanya. Maafkan aku merepotkan kalian di tengah malam begini.

Kalian percaya bahwa kita akan menemukan hidup kita kembali? Kalian yakin jika aku akan menemukan kalian lagi? Seperti Musa? Benarkah?

Apakah kalian berkenan menolongku? Melihat ke dalam mataku, mencungkilnya keluar, kemudian melihat di dalamnya. Apa yang kalian temukan? Kalian akan menemukan diri kalian satu per satu terekam di dalam retinaku. Apakah kalian mempercayaiku, kata-kata bukan-bukanku barusan? Sungguh? Seperti Musa?

Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu.

Jumat, 28 Januari 2011

Kupu-kupu

Dua kepompong itu bergetar. Sepertinya waktunya sebentar lagi. Kepompong pertama berwarna hijau, yang kedua berwarna biru. Dari kepompong biru terdengar suara,"Siapapun, tolong bantu aku keluar dari sini!"

Rania memang ajaib. Manusia dengan pendengaran ala tokoh-tokoh komik. Pendengaran super. Ia mampu mendengar suara dari frekuensi terendah hingga yang tertinggi, sehingga suara segala macam makhluk bisa didengarnya. Dan hebatnya, otaknya mampu menjadi media penerjemah bahasa para makhluk.

Rania buru-buru keluar rumah. Ia mencari sumber suara. Ditemukannya asal suara tersebut dari kepompong biru. "Hei, manusia! Keluarkan aku!"

Rania mengupas kulit kepompong itu dengan perlahan-lahan dan hati-hati sekali. Ia mengeluarkan seekor makhluk dengan sayap yang terkatup rapat. Sepertinya lemas. Tubuh makhluk itu kelihatan lemah, seperti kehabisan energi, seolah baru saja melakukan aktivitas luar biasa.

"Hei, kupu-kupu biru, istirahatlah. Lalu terbanglah."

Saat kupu-kupu biru itu hendak menghentakkan kakinya untuk lepas landas, ia kecewa. Tubuhnya tidak bisa terbang.

Sementara itu, tidak jauh, tepat di sebelahnya, kepompong hijau mulai bergetar lagi. Sepasang sayap muncul dari dalam. Mengoyak dinding kepompong itu. Dia keluar dengan sayap tegak menantang. Sayapnya sudah menyerap segenap zat-zat yang dibutuhkan untuk pembentukannya. Dia terbang.

Asal Mula Istilah 'Kuda Hitam'

Pada tahun 1946, tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, Alec Ramsey dan ayahnya melakukan perjalanan kapal laut di lepas pantai utara Afrika. Dalam perjalanannya kembali ke Inggris, di dek kapal, Alec melihat seekor kuda Arab berwarna hitam yang gagah, sedang ditarik dengan kasar oleh empat orang pria brutal. Diam-diam Alec mendatangi kuda yang membawa gula batu di punggungnya itu.

Malam itu, kapal mereka dihantam badai. Kapal yang mereka tumpangi disambar petir. Alec berusaha untuk membebaskan kuda hitam itu tetapi malah terlempar dari kapal.

Kapal tenggelam. Hanya Alec dan kuda itu yang selamat. Terdampar di sebuah pulau terpencil, Alec dan kuda hitam tersebut membentuk ikatan persahabatan yang kuat. Sampai pertolongan datang menyelamatkan, mereka kembali ke Amerika Serikat di mana Alec bertemu dengan seorang pelatih kuda bernama Henry Dailey.

Henry mengajarkan Alec bagaimana menunggangi kuda. Alec menamai kudanya The Black Stallion. Namun, tanpa dokumentasi silsilah yang jelas mengenai asal-usul The Black Stallion, Alec tidak bisa mendaftarkan kudanya ke kejuaraan ternama.

Akhirnya The Black Stallion disertakan ke kejuaraan yang diikuti oleh kuda-kuda yang tidak memiliki silsilah jelas. Pertandingannya diawali dengan melawan dua kuda pacuan tercepat dalam kejuaraan tersebut, Cyclone dan Sun Raider. Sejak itulah legenda The Black Stallion dimulai.

Kemudian dari tahun ke tahun, istilah The Black Stallion atau kuda hitam digunakan orang-orang untuk menyebut mereka yang tidak diunggulkan tetapi justru menjadi juara, mereka yang tidak memiliki catatan sebagai juara tetapi justru membuktikan kepada dunia bahwa merekalah sang juara.

‎"Tanpa silsilah kenamaan, kita akan menaklukkan dunia dan membuat sejarah yang hanya milik kita, Black. Kamu hanya perlu berlari dan jangan pernah berhenti berlari."

Klik di sini untuk videonya The Black Stallion

Jumat, 21 Januari 2011

Dayat

Ketika Dayat mengatakan ia tidak pernah melihat Tuhan turun untuk membawa agama, ia mengatakan bahwa Tuhan turun untuk mengajarkan agama, untuk kemudian diperkenalkan dalam satu kata sederhana bernama 'kasih'.

Ketika Dayat mengatakan itu, ia memulai dongengnya dengan pembukaan suatu situasi dimana para manusia yang sibuk meracik manuskrip tua, berharap memperoleh pengetahuan bernama 'perbedaan'.

Dengan aneka pertimbangan yang entah, mereka memecahnya, dan melahirkan nama-nama untuk diakui dunia, bahwa itulah agama.

Kemudian mereka mengatakan bahwa setiap manusia beragama mengakui kebebasan menjalankan ibadahnya. Kedengarannya sangat manis, dimana ragam perbedaan dapat dipadukan tanpa konflik.

Tetapi mereka lupa, yang mereka lakukan selama ini hanya mempelajari, mempelajari manuskrip-manuskrip tentang alegori ketuhanan. Sedangkan Tuhan yang dikatakan Dayat itu datang untuk mengajar bukan belajar.

Mereka tak ingat bahwa untuk mengakui sebuah kebebasan, dibutuhkan batasan. Sedangkan manusia adalah makhluk yang tidak memiliki batasan-batasan, sehingga kebebasan justru kerap menjadi kebablasan.

Kemudian Dayat mengakhiri ceritanya dengan mengatakan,"Aku mengasihi kalian, meski aku akan segera mati di tangan kalian. Kalian tidak tahu apa yang kalian perbuat, oleh sebab itu aku memohon doa kepada Tuhan yang kuceritakan tadi untuk tidak menyalahkan kalian atas kebablasan ini."

Para eksekutor hukuman mati itu mengangkat pedang mereka, menebaskannya ke arah tambang yang mengikat pisau besar yang tergantung di atas kepala Dayat yang tak lagi berdaya lantaran telah diikat kuat seluruh tubuhnya.

Selasa, 18 Januari 2011

Back Office : October 2010

Adalah sebuah ruang penyimpanan barang dan tempat melakukan rutinitas administrasi berbasis online, aku menyebutnya back office. Hari itu tinggal kami berdua. Hanya ada aku dan dia, pria seumuran denganku yang lebih senang dipanggil dengan julukan ketimbang dipanggil dengan namanya sendiri, Kalong.

Aku duduk di depan sebuah notebook sambil memproses transaksi yang baru saja kulakukan dengan seorang pelanggan di tempatku bekerja, sementara dia memperhatikanku sambil duduk di atas tumpukan kardus yang akan dibuang nanti sore. Sepintas aku melihatnya sedang memperbaiki posisi duduknya di atas tumpukan kardus itu. Seperti gelisah.

"Ada apa?" tanyaku.
"Ah, tidak ada." ia berkilah aku tahu.
"Sepertinya bukannya tidak ada apa-apa. Ceritakan."
"Panjang sekali."
"Aku punya banyak waktu."
...
Dia diam.

Aku berdiri, menghampirinya, kemudian meraih tangannya. Kuajak dia makan siang bersama, setelah izin kepada rekan-rekanku yang lain tentunya.

Memang benar kata orang dulu, di sebuah meja makan, seseorang lebih mudah buka mulut.

"Ayo, ceritakan."
"Bagaimana mengatakannya ya? Aku sendiri bingung menyebut perasaan semacam ini apa?"
"Maksudmu?"
"Kamu tahu aku suka musik."
"Tentu. Kamu sudah pernah memainkannya dan itu bagus. Permainan kelas atas."
"Berlebihan."
"Tidak. Memang demikian."
"Sudahlah. Intinya, aku sering membayangkan andai saja aku bisa hidup dengan bermusik. Sangat ingin. Perasaan seperti itu apa namanya?"
"Passion?"
"Baiklah, itu namanya."
"Lalu?"
"Bagaimana menurutmu? Kamu pernah merasakan perasaan semacam itu?"
"Passion? Tentu. Hanya saja milikku lebih absurd dan gila."
"Coba kau ceritakan dulu milikmu itu."
"Ah, ceritanya panjang."
"Aku punya banyak waktu."
Kami tertawa.

Entah berapa lama sejak percakapan kami siang itu, ia memutuskan untuk berangkat ke Bali untuk mewujudkan impiannya bermain musik. Kudengar ia sudah mendapat tawaran dari sebuah kafe di Bali untuk memulai awal karir musiknya. Bukan seberapa besar penghasilanmu kelak, Kawan. Tetapi seberapa kuat jantungmu berdetak saat kamu menyadari nikmatnya hidup berdasarkan kerinduan hatimu itu. Passion beats money.

-Jakarta, Oktober 2010

Tiga Ponsel

Beri aku kesempatan bercerita. Mungkin akan terlalu panjang, tapi kumohon sabarkan mata kalian untuk membacanya. Aku sendiri tidak ingat bagaimana kisah ini bermula, tahu-tahu sudah lima tahun aku terjebak di dalamnya, dilema tiga ponsel yang telah melenyapkan eksistensiku sebagai manusia.

Ponsel pertamaku, isinya penuh cerita tentang hubunganku dengan seorang pria setengah baya yang sebut saja namanya Emir, diambil dari bahasa Arab, yang artinya pangeran. Dialah tuan Emir, pangeran narkotika. Satu kali ponselku berdering, berarti satu tugas yang harus aku lakukan untuk tuan Emir.

Biasanya dia meneleponku untuk meminta bantuanku. Adalah kewajibanku mengantarkan telepon seluler ke tempatnya berada, Lembaga Pemasyarakatan. Sudah puluhan tahun ia mendekam di sana dan dia membutuhkan banyak sekali ponsel. Itu yang aku dengar dari dirinya. Hei, kali ini ia tidak memintaku untuk mengantarkan ponsel. Kali ini ia memintaku mengantarkan sebuah laptop yang sudah diisi aplikasi pembukuan kecil.

Nah, sekarang aku beralih ke ponsel keduaku. Di dalam ponsel yang satu ini berisi setumpuk SMS dan pada daftar panggilannya tertera nama-nama pemesan hasil produksi tuan Emir. Jelas bukan? Aku ditelepon, aku datang, transaksi!

Hei, tapi karena ponsel pertamaku tadi untuk pertama kalinya berdering untuk tugas yang berbeda, maka ponsel keduaku kali ini juga kugunakan untuk hal yang sedikit berbeda. Aku menelepon salah satu nomor telepon toko komputer yang tertera pada kolom iklan di sebuah halaman surat kabar. Lalu kudatangi toko itu untuk membeli satu unit notebook yang diminta tuan Emir. Masalah aplikasi pembukuan, nanti biar kuminta tolong pada temanku saja yang memang mahir di bidang itu. Paling aku harus sedikit berbohong padanya dengan mengatakan itu adalah tugas kuliah.

Semuanya berjalan lancar. Hari-hari seperti itu membuaiku pada alam maya, semu.

Hari ini tahun dua ribu sembilan akan segera berakhir, dan hari ini aku membeli satu lagi ponsel untuk diriku sendiri. Ponsel ketiga. Sebenarnya waktu aku membeli ponsel itu, aku belum tahu mau kugunakan untuk apa nantinya. Sampai hari itu tiba, aku terpikat pada seorang gadis. Tidak perlu kusebutkan siapa namanya, kapan dan di mana aku bertemu dengannya. Pokoknya aku berkenalan dan bertukar nomor telepon dengannya. Kuberi dia nomor ponselku, nomor ponsel ketigaku. Ya, ini dia, baru kutemukan kegunaan dari ponsel ketigaku.

Semakin lama aku mengenalnya, semakin aku menyadari betapa aku telah kehilangan eksistensi hidupku. Aku telah ditelan ketiadaan sejak lima tahun yang lalu tanpa aku menyadarinya.

Aku terus-menerus larut dalam perenunganku itu. Malam itu, kuputuskan mencari angin segar dengan berjalan-jalan sebentar ke sebuah tanah kosong di dekat rumahku. Di sana, kujajarkan ketiga ponsel milikku di atas permukaan tanah. Ada sekitar lima belas menit perjalananku di alam lamun untuk mengakhiri lamunanku malam itu. Seketika aku sadar, kuambil ponsel ketigaku, sementara yang dua lagi, kutinggalkan di sana.

Ketika aku menuliskan semua ini, aku baru ingat, waktu aku meninggalkan dua ponselku malam itu, aku tidak mencabut sim card-nya.

Aku jadi berpikir, bila ada orang lain yang mengambilnya, lalu membaca isi dari kotak pesan di dalamnya, dan mengerti situasinya, apa jadinya?

Apakah orang itu akan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib? Atau ia akan menjadi penggantiku bagi tuan Emir? Hanya iman dan hawa nafsu yang menentukannya.

Ceritaku selesai sampai di sini. Terima kasih kalian telah bersedia membacanya. Bila ada di antara kalian yang menemukan ponsel yang kutinggalkan itu, aku ingin sekali bertanya padamu : ‘sudahkah kau lakukan hal yang semestinya?’

aku
di antara ribuan jemaat
dan jutaan umat
apa namaku?


Minggu, 09 Januari 2011

Generasi yang Mencapai Garis Akhir

Harap dicatat, suatu hari di sini keadaannya tidak akan seperti ini.
Orang-orang paling aneh akan datang dan tinggal di sini.
Mereka akan berteriak-teriak atas nama generasi,
sementara yang lain menghujat mereka sebagai kubu yang anarkis atau fanatik idealis.

Tetapi aku katakan, aku sangat mencintai mereka.
Mereka adalah suatu benih baru yang akan melahirkan satu generasi merdeka.
Mereka memilih berdiri pada kebenaran dan menolak segala kebobrokan.
Mereka lebih memilih mengkritik lewat solusi,
bukan menghujat lewat emosi.

Senin, 03 Januari 2011

Selintas Kenangan

Monika,
waktu kau menanyakan di mana aku sekarang,
sesungguhnya aku selalu saja bisa melihatmu dari sini,
aku selalu memperhatikanmu,
semalam kau tengah tergesa-gesa masuk ke dalam rumahmu sambil basah kuyup karena hujan bukan..?
Aku di sini,
tepat di depan jendela dengan gerimis merayap perlahan,
meratapi setiap tetes rindu yang sudah lama kau buang..

Di mana aku sekarang..?
Aku tidak pernah jauh darimu,
setiap kali aku pergi jauh, aku pasti lupa jalan pulang,
kau tentu tahu itu kan..?
Jadi aku tidak akan pernah pergi terlalu jauh darimu..
Bahkan aku bisa melihatmu dari sini,
tapi kau tak perlu tahu di mana aku sekarang,
nanti kau juga akan tahu..

Aku hanya sedang ingin sendiri,
bersembunyi,
karena aku kehilangan debar,
yang tadinya kurasakan setiap malam,
yang selalu membuatku kesulitan tidur pulas..
Aku kehilangan debar,
jadi kuputuskan untuk bersembunyi saja..

Hei,
apakah kau ingat..?
Kau begitu penakut,
sementara aku begitu pelupa..?
Sudah sebegitu takut kita,
atau kita sudah lupa,
arti cinta bukan masalah siapa yang kurang bukan..?
Justru dengan ketakutanmu,
aku merasa berarti menjadi seorang pria..
Dengan kelelupaanku,
kau juga begitu berarti buatku,
dengan menanyakan,
Apakah kamu sudah makan..?

Ah,
sudahlah,
sudah lama..
Aku tak mau membahasnya lagi,
tak penting bagiku,
tak penting juga buatmu,
lebih-lebih,
buat kita,
bukan begitu,
Monika..?

from your valentine