Senin, 31 Januari 2011

Tout Seul (Sendirian)

Sendirian. Tengah malam. Seperti kemarin. Sulit tidur. Sudah semakin gila. Kemarin setengah gila, hari ini tiga perempat gila, besok? Aku menjaga kewarasanku di dalam tulisan-tulisanku yang bukan-bukan, yang absurd.

Tanda merah. Di sudut kiri atas akun jejaring sosialmu. Lagi-lagi, begitu pikirmu, seorang gila menulis di dalam malam. Tengah malam. Ah, maafkan aku. Mengganggu mimpi kalian. Mengajak kalian mewaraskan aku.

Mataku menjelajah ke memori komputer. Mencari sebuah file musik untuk kuputar. Ketemu. Lagu I Believe in You milik maha duo Il Divo dan Celine Dion.

PLAY

Kesepian, jalan yang telah kau pilih
Sebuah jalan kegelisahan, tidak ada jalan untuk kembali
Suatu hari kau akan menemukan cahayamu lagi
Apakah kau tahu?
Jangan biarkan berlalu, jadilah kuat

Ikuti kata hatimu
Biarkan kasih memimpinmu melalui kegelapan
Kembali ke sebuah tempat yang pernah kau kenal dulu
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu

Ikuti impianmu
Jadilah dirimu sendiri, seorang malaikat kebaikan
Tidak ada yang tak bisa kau lakukan
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu

Sendirian
Kau akan meninggalkan kesendirianmu
Buka hati
Tatap semesta
Tempuh pencarianmu
Jangan melihat ke belakang
Jangan menunggu
Hari itu
Bangkit

Ikuti bintangmu
Seberapa jauh impianmu akan membawamu
Suatu hari kau akan menggapainya
Jika kau yakin, jika kau percaya, jika kau percaya
Pada dirimu

Ikuti cahaya
Jangan padamkan api yang kau bawa
Dan ingat
Aku percaya, aku percaya, aku percaya
Pada dirimu

Suatu hari nanti aku akan menemukanmu
Suatu hari kau akan menemukanku juga
Dan ketika aku memelukmu erat
Aku tahu itu sudah benar

Ikuti kata hatimu
Biarkan kasih memimpinmu melalui kegelapan
Kembali ke sebuah tempat yang pernah kau kenal dulu
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu

Ikuti impianmu
Jadilah dirimu sendiri, seorang malaikat kebaikan
Tidak ada yang tak bisa kau lakukan
Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu


Kau dengar? Seberapa jauh impianmu akan membawamu, katanya. Suatu hari kau akan menggapainya, katanya. Kembali ke sebuah tempat yang pernah kau kenal dulu, katanya. Dan ketika aku memelukmu erat, aku tahu itu sudah benar, katanya. Kau dengar, Kawan? Bersediakah kalian bertahan, untuk sebuah janji yang tidak pernah aku tahu tergenapi tidaknya? Tetapi kalian telah mendengar sendiri kisah ajaib Musa yang membelah Laut Merah, bukan? Itukah yang namanya keyakinan seratus persen?

Kalian mengerti? Jika tiba waktuku nanti bertemu dengan malaikat penjagaku, aku hanya ingin bertanya satu hal dan mengajukan satu permohonan. Mengapa otakku mampu memerintah fungsional tubuhku, tetapi tidak mampu menghidupkan hidupku di dalam jalan kerinduanku? Permohonanku sederhana, bawa aku menemukan kembali hidupku yang terasa mati. Jika kalian memutuskan pergi sekarang, maka aku akan mati. Kerinduanku hanya kalian yang membawanya. Maafkan aku merepotkan kalian di tengah malam begini.

Kalian percaya bahwa kita akan menemukan hidup kita kembali? Kalian yakin jika aku akan menemukan kalian lagi? Seperti Musa? Benarkah?

Apakah kalian berkenan menolongku? Melihat ke dalam mataku, mencungkilnya keluar, kemudian melihat di dalamnya. Apa yang kalian temukan? Kalian akan menemukan diri kalian satu per satu terekam di dalam retinaku. Apakah kalian mempercayaiku, kata-kata bukan-bukanku barusan? Sungguh? Seperti Musa?

Aku percaya, aku percaya, aku percaya padamu.

Jumat, 28 Januari 2011

Kupu-kupu

Dua kepompong itu bergetar. Sepertinya waktunya sebentar lagi. Kepompong pertama berwarna hijau, yang kedua berwarna biru. Dari kepompong biru terdengar suara,"Siapapun, tolong bantu aku keluar dari sini!"

Rania memang ajaib. Manusia dengan pendengaran ala tokoh-tokoh komik. Pendengaran super. Ia mampu mendengar suara dari frekuensi terendah hingga yang tertinggi, sehingga suara segala macam makhluk bisa didengarnya. Dan hebatnya, otaknya mampu menjadi media penerjemah bahasa para makhluk.

Rania buru-buru keluar rumah. Ia mencari sumber suara. Ditemukannya asal suara tersebut dari kepompong biru. "Hei, manusia! Keluarkan aku!"

Rania mengupas kulit kepompong itu dengan perlahan-lahan dan hati-hati sekali. Ia mengeluarkan seekor makhluk dengan sayap yang terkatup rapat. Sepertinya lemas. Tubuh makhluk itu kelihatan lemah, seperti kehabisan energi, seolah baru saja melakukan aktivitas luar biasa.

"Hei, kupu-kupu biru, istirahatlah. Lalu terbanglah."

Saat kupu-kupu biru itu hendak menghentakkan kakinya untuk lepas landas, ia kecewa. Tubuhnya tidak bisa terbang.

Sementara itu, tidak jauh, tepat di sebelahnya, kepompong hijau mulai bergetar lagi. Sepasang sayap muncul dari dalam. Mengoyak dinding kepompong itu. Dia keluar dengan sayap tegak menantang. Sayapnya sudah menyerap segenap zat-zat yang dibutuhkan untuk pembentukannya. Dia terbang.

Asal Mula Istilah 'Kuda Hitam'

Pada tahun 1946, tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, Alec Ramsey dan ayahnya melakukan perjalanan kapal laut di lepas pantai utara Afrika. Dalam perjalanannya kembali ke Inggris, di dek kapal, Alec melihat seekor kuda Arab berwarna hitam yang gagah, sedang ditarik dengan kasar oleh empat orang pria brutal. Diam-diam Alec mendatangi kuda yang membawa gula batu di punggungnya itu.

Malam itu, kapal mereka dihantam badai. Kapal yang mereka tumpangi disambar petir. Alec berusaha untuk membebaskan kuda hitam itu tetapi malah terlempar dari kapal.

Kapal tenggelam. Hanya Alec dan kuda itu yang selamat. Terdampar di sebuah pulau terpencil, Alec dan kuda hitam tersebut membentuk ikatan persahabatan yang kuat. Sampai pertolongan datang menyelamatkan, mereka kembali ke Amerika Serikat di mana Alec bertemu dengan seorang pelatih kuda bernama Henry Dailey.

Henry mengajarkan Alec bagaimana menunggangi kuda. Alec menamai kudanya The Black Stallion. Namun, tanpa dokumentasi silsilah yang jelas mengenai asal-usul The Black Stallion, Alec tidak bisa mendaftarkan kudanya ke kejuaraan ternama.

Akhirnya The Black Stallion disertakan ke kejuaraan yang diikuti oleh kuda-kuda yang tidak memiliki silsilah jelas. Pertandingannya diawali dengan melawan dua kuda pacuan tercepat dalam kejuaraan tersebut, Cyclone dan Sun Raider. Sejak itulah legenda The Black Stallion dimulai.

Kemudian dari tahun ke tahun, istilah The Black Stallion atau kuda hitam digunakan orang-orang untuk menyebut mereka yang tidak diunggulkan tetapi justru menjadi juara, mereka yang tidak memiliki catatan sebagai juara tetapi justru membuktikan kepada dunia bahwa merekalah sang juara.

‎"Tanpa silsilah kenamaan, kita akan menaklukkan dunia dan membuat sejarah yang hanya milik kita, Black. Kamu hanya perlu berlari dan jangan pernah berhenti berlari."

Klik di sini untuk videonya The Black Stallion

Jumat, 21 Januari 2011

Dayat

Ketika Dayat mengatakan ia tidak pernah melihat Tuhan turun untuk membawa agama, ia mengatakan bahwa Tuhan turun untuk mengajarkan agama, untuk kemudian diperkenalkan dalam satu kata sederhana bernama 'kasih'.

Ketika Dayat mengatakan itu, ia memulai dongengnya dengan pembukaan suatu situasi dimana para manusia yang sibuk meracik manuskrip tua, berharap memperoleh pengetahuan bernama 'perbedaan'.

Dengan aneka pertimbangan yang entah, mereka memecahnya, dan melahirkan nama-nama untuk diakui dunia, bahwa itulah agama.

Kemudian mereka mengatakan bahwa setiap manusia beragama mengakui kebebasan menjalankan ibadahnya. Kedengarannya sangat manis, dimana ragam perbedaan dapat dipadukan tanpa konflik.

Tetapi mereka lupa, yang mereka lakukan selama ini hanya mempelajari, mempelajari manuskrip-manuskrip tentang alegori ketuhanan. Sedangkan Tuhan yang dikatakan Dayat itu datang untuk mengajar bukan belajar.

Mereka tak ingat bahwa untuk mengakui sebuah kebebasan, dibutuhkan batasan. Sedangkan manusia adalah makhluk yang tidak memiliki batasan-batasan, sehingga kebebasan justru kerap menjadi kebablasan.

Kemudian Dayat mengakhiri ceritanya dengan mengatakan,"Aku mengasihi kalian, meski aku akan segera mati di tangan kalian. Kalian tidak tahu apa yang kalian perbuat, oleh sebab itu aku memohon doa kepada Tuhan yang kuceritakan tadi untuk tidak menyalahkan kalian atas kebablasan ini."

Para eksekutor hukuman mati itu mengangkat pedang mereka, menebaskannya ke arah tambang yang mengikat pisau besar yang tergantung di atas kepala Dayat yang tak lagi berdaya lantaran telah diikat kuat seluruh tubuhnya.

Selasa, 18 Januari 2011

Back Office : October 2010

Adalah sebuah ruang penyimpanan barang dan tempat melakukan rutinitas administrasi berbasis online, aku menyebutnya back office. Hari itu tinggal kami berdua. Hanya ada aku dan dia, pria seumuran denganku yang lebih senang dipanggil dengan julukan ketimbang dipanggil dengan namanya sendiri, Kalong.

Aku duduk di depan sebuah notebook sambil memproses transaksi yang baru saja kulakukan dengan seorang pelanggan di tempatku bekerja, sementara dia memperhatikanku sambil duduk di atas tumpukan kardus yang akan dibuang nanti sore. Sepintas aku melihatnya sedang memperbaiki posisi duduknya di atas tumpukan kardus itu. Seperti gelisah.

"Ada apa?" tanyaku.
"Ah, tidak ada." ia berkilah aku tahu.
"Sepertinya bukannya tidak ada apa-apa. Ceritakan."
"Panjang sekali."
"Aku punya banyak waktu."
...
Dia diam.

Aku berdiri, menghampirinya, kemudian meraih tangannya. Kuajak dia makan siang bersama, setelah izin kepada rekan-rekanku yang lain tentunya.

Memang benar kata orang dulu, di sebuah meja makan, seseorang lebih mudah buka mulut.

"Ayo, ceritakan."
"Bagaimana mengatakannya ya? Aku sendiri bingung menyebut perasaan semacam ini apa?"
"Maksudmu?"
"Kamu tahu aku suka musik."
"Tentu. Kamu sudah pernah memainkannya dan itu bagus. Permainan kelas atas."
"Berlebihan."
"Tidak. Memang demikian."
"Sudahlah. Intinya, aku sering membayangkan andai saja aku bisa hidup dengan bermusik. Sangat ingin. Perasaan seperti itu apa namanya?"
"Passion?"
"Baiklah, itu namanya."
"Lalu?"
"Bagaimana menurutmu? Kamu pernah merasakan perasaan semacam itu?"
"Passion? Tentu. Hanya saja milikku lebih absurd dan gila."
"Coba kau ceritakan dulu milikmu itu."
"Ah, ceritanya panjang."
"Aku punya banyak waktu."
Kami tertawa.

Entah berapa lama sejak percakapan kami siang itu, ia memutuskan untuk berangkat ke Bali untuk mewujudkan impiannya bermain musik. Kudengar ia sudah mendapat tawaran dari sebuah kafe di Bali untuk memulai awal karir musiknya. Bukan seberapa besar penghasilanmu kelak, Kawan. Tetapi seberapa kuat jantungmu berdetak saat kamu menyadari nikmatnya hidup berdasarkan kerinduan hatimu itu. Passion beats money.

-Jakarta, Oktober 2010

Tiga Ponsel

Beri aku kesempatan bercerita. Mungkin akan terlalu panjang, tapi kumohon sabarkan mata kalian untuk membacanya. Aku sendiri tidak ingat bagaimana kisah ini bermula, tahu-tahu sudah lima tahun aku terjebak di dalamnya, dilema tiga ponsel yang telah melenyapkan eksistensiku sebagai manusia.

Ponsel pertamaku, isinya penuh cerita tentang hubunganku dengan seorang pria setengah baya yang sebut saja namanya Emir, diambil dari bahasa Arab, yang artinya pangeran. Dialah tuan Emir, pangeran narkotika. Satu kali ponselku berdering, berarti satu tugas yang harus aku lakukan untuk tuan Emir.

Biasanya dia meneleponku untuk meminta bantuanku. Adalah kewajibanku mengantarkan telepon seluler ke tempatnya berada, Lembaga Pemasyarakatan. Sudah puluhan tahun ia mendekam di sana dan dia membutuhkan banyak sekali ponsel. Itu yang aku dengar dari dirinya. Hei, kali ini ia tidak memintaku untuk mengantarkan ponsel. Kali ini ia memintaku mengantarkan sebuah laptop yang sudah diisi aplikasi pembukuan kecil.

Nah, sekarang aku beralih ke ponsel keduaku. Di dalam ponsel yang satu ini berisi setumpuk SMS dan pada daftar panggilannya tertera nama-nama pemesan hasil produksi tuan Emir. Jelas bukan? Aku ditelepon, aku datang, transaksi!

Hei, tapi karena ponsel pertamaku tadi untuk pertama kalinya berdering untuk tugas yang berbeda, maka ponsel keduaku kali ini juga kugunakan untuk hal yang sedikit berbeda. Aku menelepon salah satu nomor telepon toko komputer yang tertera pada kolom iklan di sebuah halaman surat kabar. Lalu kudatangi toko itu untuk membeli satu unit notebook yang diminta tuan Emir. Masalah aplikasi pembukuan, nanti biar kuminta tolong pada temanku saja yang memang mahir di bidang itu. Paling aku harus sedikit berbohong padanya dengan mengatakan itu adalah tugas kuliah.

Semuanya berjalan lancar. Hari-hari seperti itu membuaiku pada alam maya, semu.

Hari ini tahun dua ribu sembilan akan segera berakhir, dan hari ini aku membeli satu lagi ponsel untuk diriku sendiri. Ponsel ketiga. Sebenarnya waktu aku membeli ponsel itu, aku belum tahu mau kugunakan untuk apa nantinya. Sampai hari itu tiba, aku terpikat pada seorang gadis. Tidak perlu kusebutkan siapa namanya, kapan dan di mana aku bertemu dengannya. Pokoknya aku berkenalan dan bertukar nomor telepon dengannya. Kuberi dia nomor ponselku, nomor ponsel ketigaku. Ya, ini dia, baru kutemukan kegunaan dari ponsel ketigaku.

Semakin lama aku mengenalnya, semakin aku menyadari betapa aku telah kehilangan eksistensi hidupku. Aku telah ditelan ketiadaan sejak lima tahun yang lalu tanpa aku menyadarinya.

Aku terus-menerus larut dalam perenunganku itu. Malam itu, kuputuskan mencari angin segar dengan berjalan-jalan sebentar ke sebuah tanah kosong di dekat rumahku. Di sana, kujajarkan ketiga ponsel milikku di atas permukaan tanah. Ada sekitar lima belas menit perjalananku di alam lamun untuk mengakhiri lamunanku malam itu. Seketika aku sadar, kuambil ponsel ketigaku, sementara yang dua lagi, kutinggalkan di sana.

Ketika aku menuliskan semua ini, aku baru ingat, waktu aku meninggalkan dua ponselku malam itu, aku tidak mencabut sim card-nya.

Aku jadi berpikir, bila ada orang lain yang mengambilnya, lalu membaca isi dari kotak pesan di dalamnya, dan mengerti situasinya, apa jadinya?

Apakah orang itu akan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib? Atau ia akan menjadi penggantiku bagi tuan Emir? Hanya iman dan hawa nafsu yang menentukannya.

Ceritaku selesai sampai di sini. Terima kasih kalian telah bersedia membacanya. Bila ada di antara kalian yang menemukan ponsel yang kutinggalkan itu, aku ingin sekali bertanya padamu : ‘sudahkah kau lakukan hal yang semestinya?’

aku
di antara ribuan jemaat
dan jutaan umat
apa namaku?


Minggu, 09 Januari 2011

Generasi yang Mencapai Garis Akhir

Harap dicatat, suatu hari di sini keadaannya tidak akan seperti ini.
Orang-orang paling aneh akan datang dan tinggal di sini.
Mereka akan berteriak-teriak atas nama generasi,
sementara yang lain menghujat mereka sebagai kubu yang anarkis atau fanatik idealis.

Tetapi aku katakan, aku sangat mencintai mereka.
Mereka adalah suatu benih baru yang akan melahirkan satu generasi merdeka.
Mereka memilih berdiri pada kebenaran dan menolak segala kebobrokan.
Mereka lebih memilih mengkritik lewat solusi,
bukan menghujat lewat emosi.

Senin, 03 Januari 2011

Selintas Kenangan

Monika,
waktu kau menanyakan di mana aku sekarang,
sesungguhnya aku selalu saja bisa melihatmu dari sini,
aku selalu memperhatikanmu,
semalam kau tengah tergesa-gesa masuk ke dalam rumahmu sambil basah kuyup karena hujan bukan..?
Aku di sini,
tepat di depan jendela dengan gerimis merayap perlahan,
meratapi setiap tetes rindu yang sudah lama kau buang..

Di mana aku sekarang..?
Aku tidak pernah jauh darimu,
setiap kali aku pergi jauh, aku pasti lupa jalan pulang,
kau tentu tahu itu kan..?
Jadi aku tidak akan pernah pergi terlalu jauh darimu..
Bahkan aku bisa melihatmu dari sini,
tapi kau tak perlu tahu di mana aku sekarang,
nanti kau juga akan tahu..

Aku hanya sedang ingin sendiri,
bersembunyi,
karena aku kehilangan debar,
yang tadinya kurasakan setiap malam,
yang selalu membuatku kesulitan tidur pulas..
Aku kehilangan debar,
jadi kuputuskan untuk bersembunyi saja..

Hei,
apakah kau ingat..?
Kau begitu penakut,
sementara aku begitu pelupa..?
Sudah sebegitu takut kita,
atau kita sudah lupa,
arti cinta bukan masalah siapa yang kurang bukan..?
Justru dengan ketakutanmu,
aku merasa berarti menjadi seorang pria..
Dengan kelelupaanku,
kau juga begitu berarti buatku,
dengan menanyakan,
Apakah kamu sudah makan..?

Ah,
sudahlah,
sudah lama..
Aku tak mau membahasnya lagi,
tak penting bagiku,
tak penting juga buatmu,
lebih-lebih,
buat kita,
bukan begitu,
Monika..?

from your valentine