Sabtu, 28 Mei 2011

A True Lover Will Paint Your Life, Not Pain Your Life

Ketika kamu bercerita tentang beragam kesedihan yang melukai hatimu hari ini, aku tidak menasehatimu dengan beragam petuah. Tidak juga mengajarimu dengan ini itu yang aku sendiri belum tentu lakukan. Aku hanya diam kemudian tersenyum, lalu menanyakan,"Berapa ukuran kakimu?"

Bukan karena aku tidak peduli pada masalahmu, tetapi agar kamu bertanya balik kepadaku,"Mengapa kamu tanyakan hal itu?" Dan demikian supaya kamu beralih pada sebuah keceriaan, bukan berkutat dalam kesedihanmu itu.

Ketika kamu menjawab,"Ukuran kakiku tiga puluh sembilan." Aku akan memberikan sepatu dengan ukuran empat puluh. Bukan karena aku lupa, tetapi agar kamu tidak melupakanku sebagai orang yang sudah diberitahu tetapi masih salah mengingat ukuran kakimu. Agar kemudian kau menyimpannya baik-baik sebagai hadiah yang memiliki kenangan bodoh di dalamnya.

Ketika kamu menyimpannya, aku akan mencari waktu untuk menyembunyikannya. Bukan ingin membuatmu susah. Tetapi hanya agar kamu tidak pernah melupakanku bahwa aku pernah hadir di dalam hidupmu, meski sebagai pengganggu saja.

Ketika suatu hari aku tidak lagi di sampingmu, kemudian kamu menanyakan,"Di mana kamu sekarang?" Dengan jantung berdetak kuat, aku akan mengatakan bahwa aku tidak pernah jauh darimu, bahwa aku selalu mampu melihatmu. Karena aku selalu menyimpan namamu di dalam hatiku.

A true lover will paint your life, not pain your life.
Seorang cinta sejati akan memberi warna dalam hidupmu, bukan melukai hidupmu.

Senin, 23 Mei 2011

Waiting in Patience and Waiting with Passions

Hilangkan ambisi mencapai sebuah impian, karena ambisi hanya akan menggebrak di awal dan berbuah kelelahan kemudian. Hadirkanlah sebuah kerinduan hati sebagai motivasimu, karena kerinduan hati tidak akan pernah mati.

Aku berbicara bagi buatmu yang berucap,"Kapan kita mampu melewati badai ini?", sekalipun telah sekian lama kamu melaut, tetapi tidak kunjung kau capai tanah tujuan, jangan bersungut-sungut. Keep waiting in patience and keep waiting with passions.

Ketika kapalmu terkadang terombang dan kadang terambing, dihajar badai kemudian terpecah pada arah, jangan menyerah. Ketahuilah, kamu hanya perlu menepi sejenak di tanah perantauan, hiruplah udara di sana. Istirahatlah sejenak. Lalu lanjutkanlah perantauanmu dengan kapal lain yang berbeda, yang satu arah denganmu. Perjalanan satu arah akan membuatmu mampu mendayung dua kali lebih cepat menuju tanah tujuan dan menembus badai untuk kemudian bersama-sama berkata,"Daratannya sudah terlihat!"

Bukan soal seberapa tinggi impianmu, tetapi seberapa besar kerinduanmu untuk menggapainya.

Sabtu, 21 Mei 2011

Trivial : Dewi Sartika 'Kucu'

Akhir tahun dua ribu sembilan, kususun daftar kontak di akun jejaring sosial putih biru milikku, Facebook. Halaman demi halaman kubuka bukunya (book), kucari mukanya (face). Diklasifikasikan sebagai kawan-kawan yang pernah ada dan pernah tinggal dalam masa lalu, euforia.

Hanya ada satu nama yang memasang fotonya dengan gambar buah strawberry. Namanya tidak asing. Sama persis dengan nama salah seorang temanku semasa sekolah dulu. Dewi Sartika, hanya di belakangnya ditambahkan 'Kucu'. Ah, improvisasi saja barangkali. Kutelusuri teman-teman yang ada di akunnya. Sama. Sebagian besar teman-temanku ada di sana. Pasti dia salah satu teman masa SLTP-ku dulu. Anak paling cerdas pada angkatannya.

Kukirimkan permintaan sebagai teman. Diterima. Kukirimkan pesan : "Apakah kamu Dewi Sartika alumni SLTP Tasisius II dulu?"

Dibalas : "Bukan. Ada apa?"
"Tetapi kamu mengenal teman-temanku semasa SLTP dulu?"
"Siapa?"


Kusebutkan beberapa nama teman-temanku yang juga terdaftar sebagai teman-temannya.

"Oh, mereka maksudmu. Memang. Tetapi itu teman-teman masa SMU dan kuliah, bukan masa SLTP."
"Jadi aku salah orang?"
"Exactly."


Hubungan terputus. Tidak ada komunikasi sama sekali sejak saat itu. Sampai dia mengomentari beberapa tulisan absurd dalam kumpulan notes yang sering kupublikasi sebagai luapan impian tak sampaiku menjadi seorang penulis handal. Ya, dua tahun lalu aku memang pernah bermimpi untuk bisa menjadi seorang penulis alegoris yang mencantumkan namaku di halaman depannya. Tetapi sudah lama kukubur impian itu. Dunia bukan soal menyusun kata-kata, tetapi lebih kepada mewujudkan kata-kata menjadi nyata, bukan?

Kembali kepada trivial kali ini, komentar demi komentar menyambungkan tali pertemanan. Dewi merekrutku menjadi bagiannya. Sedikit dukungan dan banyak cambukan diberikannya kepadaku. Terima kasih sekali, Teman. Joki yang handal.

Hari ini, malam ini, aku kembali didebarkan oleh pesan singkat yang dikirimkannya, yaitu debaran kepada satu impian lama. Impian untuk menjadi penulis yang mencantumkan namaku sebagai penulisnya. Aku tidak akan menyebutkan buku atau majalah apa itu sampai aku benar-benar menjadikan impian itu sebagai realita. Tetapi ketahuilah, angin segar ini seperti menghidupkan impian lamaku. Aku sungguh berterima kasih atas dukungan tak henti-hentimu, Kawan.

message received
Gue tidak peduli apa motivasi lo menuliskan notes di akun jejaring sosial. Tetapi gue hanya ingin katakan, kesempatan itu tidak lama lagi datang dan ada. Persiapkan diri lo. Gue mau lo buktikan bahwa lo bukan hanya jago kandang di dunia Facebook saja.

Aku katakan kepadamu, Kawan. Seandainya itu terjadi dan benar terjadi, tepat bulan November mendatang akan menjadi ulang tahunku yang paling berkesan. Mengapa? Karena jika usahaku membuahkan hasil, maka ketika kau mengabarkan berita yang baik, itu akan menjadi hadiah ulang tahun yang tidak tergantikan nilainya.

Jakarta, 22 Mei 2011

Ai dan Zo, Buddha Bar

Ai, begitu biasa Naftali dipanggil singkat, padat, dan cepat. Perempuan muda yang lebih dari sekedar super bersemangat, bisa dibilang ultra bersemangat. Berdasarkan hasil survei para teman-temannya, di manapun ia berada, dirinya dijamin memaksa mata setiap lelaki yang melihatnya untuk mustahil melempar pandang ke arah lain. Bukan karena kecantikannya yang sudah jadi barang umum penyita perhatian lelaki terhadap perempuan, tetapi karena keceriaan dan semangatnya yang mampu dijajarkan dengan sinar kosmis yang bisa menembus lapisan atmosfer, litosfer, stratosfer, dan osfer-osfer lainnya sampai berlapis-lapis.

Zo, bukan nama panggilan, karena memang demikian namanya tertera jelas di Kartu Tanda Penduduk-nya. Zo, Z-o, Z dan O, nama seorang pria muda yang setia menemani ke manapun Ai ingin melampiaskan hasrat semangatnya. Korban pelampiasan Ai, begitu hasil survei tertinggi teman-teman mereka membuktikan, apabila pertanyaan 'Apa julukan yang tepat untuk Zo?' diikut-sertakan sebagai salah satu pertanyaan dari kuis keluarga di televisi. Seperti namanya yang singkat, Zo lebih suka berdiam daripada berlari, lebih suka menonton daripada beraksi.

Keparadoksan sifat di antara keduanya menalikan tali persahabatan yang erat, sama seperti dua kutub magnet berlawanan yang saling dipertemukan, me-nem-pel.

Buddha Bar, Buddha dan Bar, demi ke tempat inilah, Ai selalu memaksa Zo menemani dirinya berkutat menebar pesona sejuta aksi, menghentak-hentakkan kaki, menggoyang-goyangkan pinggul, di tengah-tengah lantai disko sambil diiringi lagu dari band-band siaran langsung yang disebut live music.

Sementara Zo, daripada harus memaksakan diri meminum ber-shot-shot sloki penuh tequila dan margaretta, lalu memasuki alam mabuk, membiarkan ketidak sadaran mengambil alih kemudi di dalam otaknya, lalu ikut menari-nari bersama Ai, Zo lebih memilih berdiam diri di meja yang terletak di sudut ruangan paling sudut, ditemani segelas bening yang berwarna kuning setelah diisi penuh jus jeruk oleh barista-barista cantik super handal, yang jago melempar-lemparkan botol-botol dari bahan fiber anti pecah.

Dua manusia yang hidup di alam duniawi, yang saling tidak pernah mau mengalah satu sama lain dalam berdebat tentang hal sepele, yang bahkan kadang sebenarnya sama sekali nggak ada hubungannya dengan hal yang diperdebatkan. Semisal, waktu pertama kali mereka berdua nonton bareng di sebuah bioskop paling ternama nan terkenal dari ujung barat sampai ujung timur Jakarta, dari ujung utara sampai ujung selatan Jakarta, Cinema 21.

Ai bilang,"Hemm, kalo menurut gue nih, angka 21 itu berarti kalo kita beli tiket pake kartu kredit BCA, beli dua cuma bayar satu." Diprovokasi rasa tidak mau kalah ditambah naluri berdebat yang menggebu-gebu, Zo angkat bicara,"Salah, kalo menurut gue, angka 21 itu berarti kalau beli tiket pake kartu kredit BCA, beli satu dapatnya dua tiket." Nah loh? Dua-duanya berdebat sengit saling sengat. Padahal mereka membicarakan hal yang sama, sama sekali nggak paradoks, sama dan persis. Bahkan kalau mau dihadirkan tokoh penengah, bisa ditambahkan : Begini, angka 21 itu nggak ada hubungannya sama aksi promo dari kartu kredit manapun. Tapi istilah membeli dengan kartu kredit BCA, itu maksudnya buy one get one, beli satu dapat satu. Nah? Tambah pusing, kan? Tiga argumentasi yang sama, tapi diperdebatkan. Itulah Ai, itulah Zo.

***

Malam itu, Zo yang biasanya nggak suka nongkrong, hang out, atau apalagi lah istilah dari mejeng yang lagi ngetop di kalangan anak muda jaman sekarang, tumben-tumbenan Zo ngajak Ai ketemuan di Bar, ya, Buddha Bar, lambang keparadoksan antara keagungan sang Dewa Dewi Buddha dan keriuhan nuansa malam ibukota yang sama sekali nggak suram. Zo, tampil menyambut Ai, yang baru mau masuk lewat pintu depan. Zo, mengenakan pakaian kasual seadanya, dengan kaos biru tanpa merk, diinseminasi dengan celana jins dan sepatu kets item selaras dengan celananya. Rambutnya ditata mohawk. Sementara Ai, dirinya malam itu tampil seratus kali lebih anggun daripada putri dari negeri dongeng manapun.

Zo, meraih tangan Ai. Suasana yang biasanya riuh dan penuh, sesak sampai terdesak, oleh hentakan dan jingkrak-jingkrakan Ai, seperti tidak ada lagi. Lenyap dan senyap. Zo berkata,"Sebentar saja, aku ingin berterus terang. Satu detik perdebatan denganmu, aku merasakan satu detik kehangatan yang menyelimuti hatiku. Jadi, sudah berapa lama kita saling kenal? Setahun? Kalikan sampai menjadi satuan detik. Kau tahu berapa jumlahnya? Anggap jumlah itu memenuhi seisi ruang di tubuhku. Penuh."

Tiba-tiba Ai menarik lengannya lalu berkata lirih,"Cukup, jangan dilanjutkan. Maaf, kamu sahabatku. Aku tidak ingin berubah. Kamu selamanya sahabatku."

***

Hari ini sudah dua minggu aku tidak bertemu lagi dengan Ai. Menyapanya lewat telepon atau sekedar mengirimkan sms iseng berisi kata-kata konyol pun tidak. Aku tinggal pikiran. Jiwaku melayang ke awang-awang, ke sebuah kekosongan mutlak. Dari langit biru aku selalu saja bisa mengagumi Ai, dirinya yang selalu melulu mampu mempresentasikan sebuah berita menjadi sajian menarik bagi buat pendengar dan penontonnya.

Namun, tidak hari ini, aku tidak terkesima melihatnya membawakan berita hari ini. Aku justru melihat beban berat yang dia pikul kali ini, air mata, igau merisak tangis yang cuma bisa didengar oleh aku yang tinggal pikiran.

Ai, setelah dua minggu itu, tidak pernah lagi menanyakan keadaanku. Ai, setelah dua minggu itu, tidak pernah tahu rahasia hatiku, yang ingin kuungkapkan seandainya waktu itu dia menerimaku. Ai, aku bukannya tidak suka tequila, bukan benci margaretta. Ai, jantungku sudah rusak, waktuku mendesak, aku cuma ingin kamu. Ai, hari itu, sebelum bertemu denganmu, aku bertemu dengan dokter spesialisku. Dia menjabarkan panjang lebar diagnosanya mengenai penyakitku, sama seperti guru SD mengajarkan caranya melakukan pembagian angka berdigit lebih dari empat dibagi angka berdigit tiga, 'harus terperinci supaya mengerti' katanya. Ai, hari itu dokter bilang aku tinggal seminggu. Dan kini kau bawakan berita duka cita kematianku.

Minggu, 15 Mei 2011

Tentang Melihat Malam

Dear Bee,

Terkadang, jika kata 'pergi' bisa berarti sebuah proses perjalanan yang pelan-pelan akan meniadakan kehadiranku di dalam kehidupanmu. Aku katakan kepadamu, aku tidak ingin pergi. Hanya saja terkadang hidup kelak harus berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Roda waktu terus berputar, kemudian manusia-manusia di sekeliling kita akan terus bertukar. Dulu mereka jauh bagimu, kelak menjadi dekat untukmu. Dulu kamu di bawah mereka, kini kamu di atas mereka. Begitulah.

Pelan-pelan, jika memang akan terjadi, yang mana kehadiranku mulai semakin tiada, dan kau mulai hidup di dalam duniamu, aku ingin kau mengerti, aku sekali-sekali tidak pernah hilang darimu. Aku selalu bersamamu, hanya saja aku barangkali tidak bisa melihat Bulan dan Bintang dari satu garis cakrawala yang sama denganmu, sekalipun kita hidup dengan berpijak pada balkon yang sama. Entah mengapa, tetapi sering sekali untuk menyaksikan sebuah cerita bernama Malam, beberapa manusia belum tentu bisa melihat Bulan dan Bintang yang sama.

Seandainya saja bisa, aku ingin memiliki kunci untuk masuk ke duniamu, lalu melihat Malam dengan barisan Bulan dan Bintang yang sama dengan yang kau lihat. Dan jika memang aku tidak akan pernah bisa mendapatkan kunci untuk memasuki duniamu itu, aku hanya berharap kelak aku akan memiliki kunci untuk masuk ke dalam hatimu, walau hanya untuk hidup di dalam hatimu saja, Bee.

Jakarta, 15 Mei 2011

Selasa, 10 Mei 2011

Wherever You Will Go

Ini sudah ketiga kalinya malam ini kau menangisiku, Monika. Jangan terlalu disesalkan. Hey, aku baik-baik saja. Hanya sedikit kehilangan debar. Berhenti. Tidak ada guna kau menangisi waktu, Monika. Waktu hanyalah dewa maha kejam yang tidak pernah mau menerima tawar-menawar. Sekali kau coba menghentikannya, kamu yang akan hancur, atau bahkan mati, Monika.

Ketika malam ini pikiranmu menangkap bayanganku, alihkan. Hanya akan membuatmu gila dan dihantui rasa bersalah yang kau ciptakan sendiri, Monika. Aku tidak pernah jauh darimu, tidak pernah. Aku selalu memperhatikanmu. Aku berada dekat denganmu. Hingga malam ini, Monika. Benar, hingga malam ini.

Kau ingin mencariku dalam perjalanan lamunanmu, Monika? Jangan kau pandangi langit malam ini, Monika. Aku tidak di sana. Aku tidak sejauh itu. Aku tidak berada di bawah bintang Daud yang ratusan tahun jauhnya di belakang matamu. Tidak sejauh itu.

Kau juga tak perlu memandangi tanah ini, Monika. Aku tidak di sana. Sudah sejak tiga hari yang lalu aku meninggalkannya. Pandangi cermin di depanmu. Kau akan menemukanku. Dekat denganmu. Aku selalu memelukmu erat dari belakang sepanjang hari, semenjak aku mengerti bahwa aku telah mati ditabrak lari olehmu tempo hari, Monika.

Senin, 09 Mei 2011

Mencari Bee

Layar ponsel tidak lagi dihias screen saver yang menari-nari dan berdansa setiap lima menit. Kosong. Kutelusuri daftar kontak dan buku telepon yang tersimpan rapi di dalam memori telepon genggamku. Kubaca satu per satu, tersusun rapi secara berurut. Alfabet. Ketemu! Kutekan tombol hijau. Memanggil nomornya. Ah, tidak jadi. Sebelum nada panggilan pertama berbunyi, kuurungkan niat itu. Segera kutekan tombol merah. Panggilan dibatalkan.

Kedua ibu jari menekan beberapa tombol ponsel. Mengetikkan beberapa huruf yang kemudian segera tampil di layar ponsel. Siap kirim berupa susunan kata-kata. Sebagian besar pertanyaan, pertanyaan sepele yang sengaja dikirimkan sebagai luapan rindu. Berharap penerima mengerti, betapa aku yang mengirimkan pesan itu sangat merindukannya.

Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti 'sedang apa?', 'sudah tidur?', dan 'sudah makan?' siap dikirim. Kemudian aku ragu. Kuhapus satu per satu. Huruf demi huruf. Akhirnya layar kembali polos. Kemudian waktu terasa stagnan. Berhenti. Bahkan suara nyamuk pun terdengar. Seperti roket yang sebentar lagi siap meluncur. Kemudian gerakan slow motion, kepakan sayap nyamuk seolah bisa kucermati. Plak! Pipi kiri dan kanan ditepuk serentak. Sudah malam. Terlalu banyak berpikir bukan-bukan. Tidak boleh larut di dalam cerita.

Layar ponsel kembali polos. Perlahan, cahaya di layar mulai meredup. Kemudian mati sama sekali. Tidak ada panggilan yang kutujukan kepada Bee, tidak ada pesan berisi pertanyaan yang kutujukan kepadanya. Tidak ada untuk malam ini.



Jakarta, 10 Mei 2011
Didedikasikan untuk setiap mereka yang mencari Bee.