Kamis, 20 Mei 2010

Animale Rationale, Kebinatangan Manusia dan Kemanusiaan Binatang

Dulu, kenyataan tidak seperti ini. Waktu pertama aku bertemu Masrul, dia masih sebatas pacar Lasmi. Lasmi yang sudah begitu karib denganku sejak kecil, memperkenalkan Masrul sebagai pacar pertamanya. Sedikit cemburu memang pasti ada dalam benakku. Tapi aku bisa apa? Aku tidak bisa mengutarakan perasaanku pada Lasmi. Jadi aku memilih diam saja. Toh, aku yakin hubungan mereka paling cuma bertahan sementara waktu saja. Semuanya cuma soal waktu kapan hubungan mereka akan kandas di tengah jalan. Aku yakin demikian, karena setelah aku cari informasi sebanyak yang mungkin, setiap cinta pertama selalu harus berkorban untuk kandas dan merelakan cinta pertamanya kepada cinta yang kedua bahkan sampai kepada cinta yang seterusnya.

Sialnya, Lasmi begitu sungguh-sungguh mencintai laki-laki tidak tahu diri itu. Ia menikah dengannya. Untung Masrul tidak keberatan ketika Lasmi memintanya untuk turut membawaku tinggal bersama mereka, meski kadang aku bisa merasakan tatapan cemburunya masuk ke dalam jantungku. Ia cemburu padaku. Padahal aku bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Dia seorang kaya, sementara aku? Selama ini aku seperti benalu yang menumpang hidup pada Lasmi.

Bayang-bayang senja merayap cepat, hari ini genap satu tahun pernikahan mereka, tetapi Masrul belum juga pulang. Sementara Lasmi masih melangkah gelisah. Sesekali ia menahan sedu dan sedan, aku bisa merasakannya. Ia menangisi suaminya, Masrul, yang sekarang seperti seorang gila kelas biadab, yang gemar bermain perempuan muda yang masih remaja demi memuaskan nafsu birahi lelakinya. Aku jijik pada dirinya. Aku tidak sudi Lasmi diperlakukan seperti ini.

Ah, Lasmi, andai engkau tahu cintaku padamu demikian besar bukan kepalang..

Lasmi mengangguk-angguk, katanya ia percaya bahwa suatu hari suaminya akan berubah. Suara Adzan Magrib sudah redup sejak satu jam yang lalu, tetapi Masrul belum pulang. Lasmi masih melangkah dalam gelisah.

Malam hari mulai mengintip rumah kediaman Lasmi dan Masrul. Malam itu Masrul baru pulang ketika hari hampir tengah malam. Tangan kirinya merangkul perempuan muda yang memang seksi, sementara tangan kanannya merangkul gadis remaja yang masih muda dan segar.

"Pak, apa-apaan ini?" tanya Lasmi sambil lelehan air mata hangatnya menetes merayap di sekitar kelopak matanya.

"Sudah, diam saja kamu! Kamu itu mandul! Tidur saja sana! Jangan ganggu aku!" hardik Masrul.

Sialan, aku benci mengatakan ini, tetapi aku tidak terima Lasmi diperlakukan demikian, ingin kubunuh lelaki brengsek itu. Aku nyaris berdiri, tetapi Lasmi melarangku ikut campur. Ini urusan rumah tanggaku, jangan ikut campur! begitu sergahnya padaku.

Lasmi mencoba melepaskan rangkulan Masrul pada perempuan-perempuan lonte itu. Namun, yang terjadi justru fatal bagi Lasmi. Masrul menghantamkan Lasmi pada tembok. Lasmi berdarah. Pemandangan seperti ini bukan baru kali pertama ini saja kulihat. Aku sudah sering melihat tubuh Lasmi penuh warna ungu di pagi hari, itu bekas pukulan-pukulan lelaki pengecut seperti Masrul yang berani memukul perempuan tak berdaya seperti Lasmi. Kadang kulihat wajah Lasmi penuh warna merah, yang ini biasanya karena bekas gamparan Masrul di wajah Lasmi.

Aku tidak tahan lagi, aku tidak sudi melihat Lasmi sampai dianiaya seperti itu. Aku tidak rela Lasmi yang sudah lama kukenal, yang sudah lama kucintai, dizalimi seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah cepat ke arah Masrul.

"Putih!" Lasmi berusaha menyergahku tapi sia-sia.

Aku menerjang Masrul, kucakar-cakar wajahnya, lalu kugigit salah satu kakinya. Masrul sempat panik. Ia berlari ke arah kamar tidurnya. Ia mengambil senapan laras panjang yang selama ini ia simpan di dalam lemari pakaiannya. Katanya untuk jaga-jaga dari tamu tidak diundang, maling atau perampok misalnya. Lalu ia menarik pelatuknya.

DOR! senapan laras panjang ditembakkan ke arahku. Peluru timah panas dan tajam tepat mengena tubuhku. Aku terhempas dan jatuh tersungkur di lantai.

"Putih!" Lasmi menjerit histeris.

Masrul segera lari dari rumah. Demikian pula dengan dua orang lonte yang tadi dibawanya. Aku tidak tahu ke mana mereka akan pergi, aku tidak tahu apakah Masrul akan memuaskan nafsu seks liarnya bersama mereka di tempat lain, atau membatalkannya karena tragedi ini. Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Tubuhku melemas. Rasa-rasanya semakin gelap saja. Mataku berat, hingga akhirnya tertutup, tetapi bulu-buluku dapat merasakan sentuhan lembut dan pelukan Lasmi. Lasmi memelukku. Ia menangisi keadaanku. Aku paling tidak suka dengan adegan seperti ini.

"Jangan mati, Putih..." Lasmi terus menerus mengulang kata-kata itu.
"Ah, Lasmi, maafkan aku. Andai saja bisa, aku ingin mengatakannya padamu bahwa aku sangat mencintaimu, Lasmi.." kataku pada Lasmi, tetapi suara yang terdengar di telinga Lasmi hanyalah lolongan panjang seekor anjing biasa sepertiku.


Cilincing, 21 Mei 2010

Selasa, 18 Mei 2010

Selamat Pagi Kawan

Ketika kau mendapati kenyataan hidup bahwa hubungan percintaan atau persahabatanmu harus dipisahkan jarak yang teramat membentang kian rentang jauhnya, antar dua kota, antar dua propinsi, antar dua pulau, antar dua negara, antar dua benua, atau pun antar-antar lainnya yang aku sendiri sudah kehabisan 'antar', maka adalah mustahil bagimu berjumpa di pagi hari untuk sekedar menikmati hangatnya kopi bersama-sama di sebuah kedai kopi atau sarapan pagi bersama di sebuah rumah makan favorit kalian.

Sangat amat mustahil, kecuali kalian mampu menciptakan alat transportasi berupa alat teleportasi yang memungkinkan manusia berpindah tempat dalam hitungan detik, mili detik, bahkan nano detik mungkin. Dan menurutku hal yang seperti ini juga merupakan hal yang masih amat sangat mustahil untuk bisa diterima oleh nalar kita.

Maka tidak ada ucapan yang lebih menyenangkan daripada ucapan yang diucapkan sebaru bangun tidur dengan bau mulut yang belum terjamah pasta gigi bernuansa mint menthol atau menthol mint mungkin, dengan kondisi rambut yang masih mengacak liar di kepala, dengan mata setengah menyipit karena tirai kantuk belum sepenuhnya dibuka penuh, dengan semangat menjalani hari yang belum terkumpul seutuhnya namun dengan penuh kenekadan tetap mengucapkan lewat alat komunikasi semisal ponsel :

Selamat pagi, Kawan!

Sepotong Telinga Sebagai Harga Sebuah Impian

Hari ini aku cuma ingin menceritakan tentang diriku. Sekali lagi masih sama seperti kemarin, ayahku belum juga pulang, padahal hari sudah sangat malam. Sangat malam. Barangkali sebentar lagi ia pulang. Ya, biasanya hampir tengah malam dia baru pulang. Pulang dengan bawaan sebagai hadiah untukku, hadiah berupa bau mulut penuh alkohol. Sebagai gantinya aku harus memberinya pelukan dan rangkulan untuk menuntunnya sampai ke kamar tidurnya.

Aku cuma bisa mengungkapkan perasaanku lewat sebuah piano tua milik keluargaku ini. Hanya bermain pianolah talenta yang diberikan Tuhan untukku. Tapi ayah tidak pernah mengerti mimpiku menjadi pianis. Baginya pemusik cuma akan berakhir sebagai gelandangan. Semua pemusik baginya hanya akan mengisi trotoar pinggir jalanan, lalu mengemis sana-sini. Semua seniman baginya cuma akan miskin.

Setiap aku membantahnya dan terus bersikukuh pada pendirianku sebagai pianis, ayah tidak segan-segan menghadiahiku pukulan.

"Sudah berkali-kali kubilang, pemusik cuma bakal bernasib sebagai pengamen! Apa kau tuli, hah?!" katanya sambil berkali-kali memukuli telingaku.

Kini aku sudah beranjak dewasa. Aku sedikit banyak mulai memikirkan kembali kata-kata ayah. Sepertinya kenyataan membawaku jauh dari utopia mimpi sebagai pianis handal, yang piawai. Sampai saat ini, aku terpaksa jujur mengatakan belum ada karyaku yang meledak di pasaran masyarakat. Bahkan semua orang masih menganggapku kelas amatir.

Aku frustasi. Tingkat kefrustasian hampir membuatku berputus mimpi sebagai seorang pianis, membuatku nyaris memilih berhenti untuk bermimpi berdiri di atas panggung ekslusif sebuah konser tunggal yang digelar hanya untukku. Bagaimana tidak? Telingaku perlahan-lahan kehilangan kemampuannya untuk mendengar. Apa yang bisa kuperbuat? Kata dokter, aku akan segera tuli dan memang benar saja itu terjadi pada diriku. Bagaimana caranya menjadi seorang pianis yang menghasilkan karya masterpiece bila telingaku saja tuli? Berat kukatakan bahwa ini semua sebagai dampak dari pemukulan yang sering dilakukan ayah kepadaku dulu.

Aku mencari kaca, dan kulihat di muka kaca, sungguh mukaku kacau. Kuraih sebilah pisau lalu kupotong sebelah telingaku. Darah berceceran. Aku di ambang hidup dan mati. Tubuhku tak seimbang. Entah sudah berapa lama aku tidak siuman, begitu sadar aku sudah berada di sebuah ruangan rumah perawatan, dengan beberapa kerabat di sekelilingku. Kupejamkan mataku sejenak sambil berbaring di tempat tidur perawatan itu. Kubayangkan jemari-jemariku memainkan piano tua, penuh emosi, penuh ambisi, penuh kekecewaan, penuh dendam dan amarah, penuh keputusasaan dan hasrat akan kematian.

Akhirnya aku diizinkan pulang. Kulihat piano di rumahku kian berdebu. Tak pernah disentuh sepertinya. Memang tidak pernah. Entah malaikat maut macam apa yang merasukiku untuk kemudian aku menghampiri piano itu, mengambil posisi duduk, lalu menghentakkan jemariku ke tuts demi tuts-nya. Kumainkan sebuah melodi.

Inilah melodiku yang penuh emosi, penuh ambisi, penuh kekecewaan, penuh dendam dan amarah, penuh keputusasaan dan hasrat akan kematian, begitu ujarku dalam hati.

Selesai kumainkan, baru aku menyadari, beberapa orang ternyata datang masuk ke dalam rumahku dan sudah berkerumun di belakangku. Mereka menyambut melodi yang baru kumainkan tadi dengan sorak sorai, tepuk tangan, dan wajah-wajah penuh raut apresiasi.

Hah, ada apa ini? Adakah ini kesempatanku menciptakan si masterpiece milikku?
Bahkan justru di saat aku sudah tuli?
Inikah jalan kemustahilanku sebagai pianis tuli bertelinga satu?


Baik, akan kutulis ulang melodi tadi, lalu kuterbangkan ke seluruh penjuru dunia.

Lalu kukatakan pada dunia, inilah melodi masterpieceku,
yang akan membawaku menuju panggung ekslusif sebuah konser tunggal yang akan digelar hanya untukku seorang..
Inilah,

Fur Elise..

Minggu, 09 Mei 2010

Pacar Terakhir

Setiap senja aku selalu menghabiskan waktu di taman,
menunggu malam mengganti senja..
Entah mengapa setiap melihat senja, aku seakan selalu saja bisa mengingat semua kejadian yang telah terjadi dalam hidupku..
Mulai dari kejadian paling menyedihkan dua puluh tahun yang lalu,
yaitu waktu ibu meninggal saat melahirkan aku..

Sore ini aku duduk sendirian di taman,
aku melihat banyak orang-orang,
ada yang berpelukan,
ada yang menghibur pasangannya yang bersedih,
ada yang memayungi pasangannya..

Di mana aku..?
tiba-tiba aku mendengar suara seorang gadis dari belakang,
aku menoleh,
kuberikan senyuman termanis yang kumiliki untuknya..
Amat sangat cantik setengah mati,
oh
bukan
tiga perempat mati malahan..

Sejak itu aku dan si gadis selalu saja menghabiskan senja di taman ini berduaan,
bersama,
dan entah mulai kapan,
aku menaruh hati padanya..

Kita jadian..? tanyaku
Dia tak menjawab, hanya mengangguk..
Bagiku itu sebuah jawaban positif,
artinya dia mengiyakan,
dia setuju..

Wah,
senangnya,
kini aku memiliki pacar,
pacar terakhir..

Ya,
aku memang merindukan kehadiran seorang pacar dalam hidupku..
Sejak kecelakaan tragis menimpa bus yang aku dan ayahku tumpangi pada waktu kami hendak berlibur ke luar kota,
bus yang kami tumpangi terjatuh ke dalam jurang,
lalu,
BUMM..!!
meledak..
tak ada yang selamat,
termasuk ayahku,
termasuk aku..

Sejak itu aku merasa semua gadis tidak pernah melirikku,
eh
bahkan bisa dibilang,
semua gadis di dunia menganggap aku tidak ada..
Sekarang aku sudah mempunyai seorang gadis yang mau melirikku,
yang menganggap aku ada..
Aku bertemu dengannya di taman ini,
taman pemakaman..
Dia baru saja dimakamkan,
saudara-saudaranya saling berpelukan,
menghibur satu sama lain,
ayahnya memayungi ibunya,
yah,
seperti yang aku ceritakan tadi..

Oh iya,
perkenalkan,
ini pacarku,
namanya,
Martha..

Dongeng Bulan

Dongeng yang ibu ceritakan biasanya romantis dan indah.
Tapi malam ini berbeda,
buku dongeng yang ibu bacakan tidak setebal buku Seribu Satu Malam,
buku dongeng yang sedang ibu pegang hanya terdiri dari beberapa lembar halaman kertas buram,
sebuah surat kabar yang ibu bawakan seolah sebagai dongeng pengantar tidurku.
Ibu bercerita tentang asap dan debu yang mengepul di jalanan,
tentang panas yang lebih menyengat dari biasanya,
tentang orang-orang berteriak histeris menolak penggusuran.

Cukup Ibu, hentikan..!
Aku tidak mau dongeng seperti itu..!
Kemana Cinderela dan sepatu kaca..?
Kemana dongeng Seribu Satu Malam yang biasa Ibu ceritakan untukku..?
Apakah Ibu sudah kehabisan dongeng..?
Lebih baik ceritakan saja tentang Si Kancil dan Buaya..


Ibu membuka tirai,
ibu menatap bulan,
katanya di bawah sinar bulan itu masih banyak orang-orang yang tidur tanpa bernaung atap.
Ibu ingin aku segera menyadari bahwa hidup tidak selamanya seindah cerita Cinderela dengan sepatu kacanya,
tidak sebahagia kisah Ali Baba dan Seribu Satu Malam,
tidak selucu dongeng Si Kancil dan Buaya.

Ibu bilang bukannya dia ingin aku tidur dengan mimpi buruk,
tapi ibu berharap saat aku bangun tidur nanti akulah yang mengubah kisah dongeng tersebut kelak berakhir dengan indah.


'Dan' Untukku Sendiri, 'Dan' Milikku Sendiri

Dan inilah 'dan' untukku sendiri. Aku mohon siapapun, apapun, yang entah manusia, entah apa, dengarkan aku, dengarkan suara hatiku. Jauh langkahku kumundurkan kembali, dan itulah hari di mana aku membawa kalian untuk melihat aku yang tersudut, di sudut Jakarta, di sudut kota, di sudut yang paling sudut.

Aku yang memilih langkahku terbang menuju lahan yang lebih rendah dan bukan lebih tinggi adalah bukannya tanpa alasan. Aku memilih mendaratkan kakiku sejenak di sini, di tempat ini, sejenak untuk memahami apa artinya mendaur ulang hidup agar menjadi hidup yang benar-benar hidup.

Dan tahukah kalian mengenai Anki Genko yang dalam bahasa gampangnya adalah puzzle kubus? Aku mencoba menyusun kubus itu menjadi sewarna seutuhnya, tapi coba lihat! Apa yang terjadi? Kutarik ke kanan, yang kanan jadi sewarna, yang kiri berantakan. Sebaliknya kutarik ke kiri, yang kiri rapi, yang kanan hancur tak karuan. Lalu aku ingat Thomas Alfa Edison, yang berkata,"Think out the box." Yah, berpikirlah keluar dari kotak, temukan dengan berpikir yang tidak terpikir, maka segalanya teratasi.

Aku datang bukan sebagai sang sempurna. Aku datang sebagai pelarat yang paling melarat. Aku datang dari pembebasanku dari jeratan gembong narkobais kelas wahid, yang membelenggu kehidupanku dengan pemikiran bahwa generasi narkobais adalah generasi penuh imaji. Aku hidup sehari dengan dua gram psikotropika, dan kualami sudah mati suri seratus delapan puluh hari.

Lalu aku datang ke sini, ke perkampungan nelayan, bukan untuk membuktikan keeksisanku sebagai manusia, tetapi memulihkan benih-benih generasi berikutnya kelak tidak jatuh seperti aku. Dan akulah bagian jiwa dari punggawa kriminalis kelas atas. Di tangan kiriku mengalir kental darah dan bakat seorang penyadap, perampok, dan pencuri, termasuk pencuri nyawa.

Dan maafkanlah aku bagi buat kalian yang berkecewa atas kenyataan dari masa laluku, tetapi terima kasihku untuk kalian yang tetap tinggal, karena hanya kawan terbaiklah yang tetap tinggal. Bisa apa aku dalam kondisiku? Coba saja terus berkeluh kesah, sampai nafas pun mendesah-desah, lalu hilang itu asa. Aku tidak bicara pada kalian yang Si Ari atau Si Riri, tetapi aku berbicara bagi buatku sendiri, yang seorang diri. Buat apa aku berucap panjang lebar kalau semua mati suri? Lebih baik diam lalu menasehati diri, guna tersadari bahwa hidupku adalah sampah yang harus didaur ulang agar menjadi hidup yang benar-benar hidup.

Mungkin sudah kalian dengar beberapa nama seperti Johanes Gustaf, Dewa Klasik Alexander, Nastasha Abigail, dan beberapa nama lain yang pernah kucantumkan dalam catatan insomnia otak kananku. Mereka adalah kawan-kawan paling menawan, paling hebat sejagat. Aku katakan sedemikian tinggi bukannya tanpa alasan.

Johanes Gustaf yang sudah kenyang merasakan asam garam persahabatan denganku. Tahukah kalian persahabatan tanpa pertengkaran ibarat makanan tanpa bumbu? Hambar! Terima kasih sohibku yang senantiasa hadir dengan segenap motivasi hidup.

Nastasha Abigail, penyiar berjiwa penyair yang amat sangat kukagumi sosoknya sampai tiga perempat mati. Bukan dengan alasan cinta buta atau cinta monyet, tetapi kekaguman akan pribadi yang sangat mengagumkan, La Gioconda, si wanita periang yang senantiasa riang girang gemirang. Ya, dari dirinya-lah beragam kata-kata bijak aku banyak belajar. Good friends stay remain, begitu katanya. Lekas mengudara, Abi! Go get them, Tiger!

Dewa Klasik Alexander, seorang yang tidak mau tahu masa laluku. Tetapi ketahuilah betapa sering aku bertukar pikiran dan bukan hanya sekadar membela, tapi juga mengutarakan gugatan dan tuntutan yang patut ia pertimbangkan demi keeksisan apa yang sudah kita semua buat dalam badan sosial ini. Adalah waktunya kini untuk kita berdiam di rumah-Nya sejenak sambil merajut doa untuk masa depan. Sampai waktu tak lagi membuat hatimu menjadi batu, tidak lagi membuat hatimu menjadi bisu. Kelak tibalah waktu bagimu mengenakan mahkota kepemimpinan dengan jiwa besar yang tidak lain adalah hasil daur ulang jiwamu yang nyaris mati sekarang.

Lalu aku katakan bagi semuanya, kelak tibalah waktuku meninggalkan tempat ini, entah esok, entah nanti. Tetapi percayalah, jika memang terjadi hari seperti itu, dan memang sungguh terjadi, ketahuilah, aku ingin kalian mengingat namaku sebagai hal yang bisa dikenang. Adapun perlu diketahui, aku akan selalu membisikkan kata-kata pengharapan lewat telinga malaikat Surga untuk senantiasa menjaga kalian. Lalu ingatlah selalu kata-kataku,"Kelak jika terjatuh lagilah kamu dengan masa lalu traumatismu itu, temukanlah potongan waktu di mana sendu berhasil menjadi merdu.


-Cilincing, HOME (House Of Mercy), 5 Mei 2010

Ini Tentang Yani yang 'Mau' Sekolah

Sekali lagi kutegaskan bahwa aku akan berkisah dengan menggunakan kata pembuka 'dan'. Maka kisah ini pun kumulai dengan kalimat : 'Dan ini tentang Yani yang mau sekolah'.

Se-ko-lah, titik tanpa koma. Sekedar sekolah, dengan seragam putih merah yang dulu ia tinggalkan karena ibunya harus menyandang predikat janda beranak tiga, tanpa keterampilan, ditambah cambukan ekonomi yang menyerang dengan super cepat dan tak kenal ampun. Tapi Yani cuma mau sekolah. Ya, 'mau' sekolah, karena kata 'ingin' terlalu tinggi tafsirannya buat Yani yang putus sekolah.

Yani, cuma seorang anak perempuan kecil yang tinggal di rumah susun amat sangat sederhana ditambah pengap di bilangan Cilincing, Jakarta Utara. Aku mendapati dirinya yang menangis di sudut ruang kelas bimbingan belajar sederhana hasil bentukan para voulenteer yang berniat merealisasikan salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 'mencerdaskan kehidupan bangsa'.

"Kenapa kamu?" tanyaku
"Aku mau sekolah.."
"Berapa usiamu?"
"Sembilan.."
"Sudah pernah sekolah?"
"Sudah putus di kelas satu karena ayah pergi dari rumah.."

Aku lupa apa-apa saja isi pembicaraanku dengan Yani waktu itu, dan kalaupun ingat, aku malas menceritakan kepada kalian pembicaraan lumayan panjangku bersama Yani pada pagi hari itu. Yani? Yah, kalau pagi itu aku tidak mengadakan pembicaraan saling berbaku tatap mata, mungkin aku tidak pernah mengetahui namanya. Sudah barang pasti sulit sekali menghafal satu per satu nama anak yang ada di ruangan itu, jumlahnya terlampau banyak ditambah mereka orang-orang yang baru aku temui.

Yani, ya, Yani, hari ini aku menemani dirinya untuk kepengurusannya menuju impiannya bersekolah. Halangan, hadangan, rintangan, atau apa sajalah yang menghambat niatnya, kuakui cukup banyak. Mulai dari ibunya yang tidak punya KTP dan Kartu Keluarga, juga Yani yang tidak punya Akta Kelahiran. Sepertinya takdir sudah menggariskan Yani tidak boleh sekolah.

"Kak, tapi aku mau sekolah.."

Kata 'mau' yang diucapkan Yani mempunyai dua alasan. Alasan internal dan alasan eksternal. Itu aku ketahui setelah aku sedikit bertanya ria pada dirinya. Pertama, yang internal, yang dari dalam dirinya, ia bermimpi menjadi seorang dokter handal yang mengubah pandangan masyarakat mengenai nilai moral rumah sakit di Indonesia yang super merosot. Alasan kedua, yang eksternal, yang dari luar kehendaknya, yaitu dari ibunya. Ibunya bilang,"Kamu tuh ndak usah muluk-muluk bermimpi jadi dokter, jauh banget toh? Asal bisa baca tulis juga cukup. Sing penting dengan bisa baca tulis, kamu jadi ndak gampang dibodohi laki-laki." Jadi, Yani ingin membuktikan pada ibunya bahwa perempuan pun bisa sederajat dengan kaum lelaki. Sama seperti impian Raden Ajeng Kartini pada zaman di mana wanita merupakan kaum yang dipingit.

Alasan gila yang sungguh tidak bisa diterima. Cukup baca tulis dibilang bisa bertarung melawan dunia? Bukan salah sang ibu, bukan salah Yani. Tapi keadaan ekonomi sudah seperti menjelma menjadi sosok serigala lapar yang dengan cepat menghadang, mencabik, menerkam mereka tanpa kenal ampun.

Dan karena kemiskinan itu sudah diwariskan dari generasi ke generasi oleh pemikiran yang ditanamkan kakek nenek mereka bahkan kakek nenek dari kakek nenek mereka, sama seperti kakek nenek mereka dan kakek nenek dari kakek nenek mereka mewarisi pemikiran,"Orang kecil jangan suka bermimpi. Mimpi cuma buat orang sekolahan, orang kaya."

Aku tuntun Yani dan ibunya mulai dari kepengurusan KTP sang ibu, Kartu Keluarga, dan Akta Kelahiran Yani. Sungguh bukan hal mudah. Para aparat bukan mendukung keinginan Yani untuk bersekolah malah menambah ribet dengan mempersulit kepengurusannya. "Minta surat ini... Minta surat itu..." kata seorang aparat kampung yang aku rasa tidak pernah berpanas-panas ria di jalanan. Terlihat dari perut buncitnya dan tingkahnya yang gelagapan waktu kami baru tiba di rumahnya. Ia kelihatan panik karena kedapatan masih tidur, padahal hari sudah siang. Gila! Bagaimana mungkin seorang pedagang asongan bisa bangun lebih pagi dan bekerja lebih sibuk dari seorang yang katanya pemuka kampung, yang katanya pemimpin kampung, yang katanya punya jabatan di kampung. Bukankah seharusnya semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin sibuk dan berat tanggung jawabnya?

Tapi Yani tidak mengeluhkan itu, sekali lagi Yani cuma 'mau' sekolah. Jadi masa bodohlah dengan pejabat kampung yang buncit itu.

Dan hari ini aku, Yani, dan si ibu, masih menunggu penyelesaian pengurusan dokumen-dokumen diri tadi, sebelum aku mengajukan permohonan pada leader yang menaungi bentukan badan sosial tempat aku berkiprah, untuk kemudian ia mengucurkan dana tunai demi untuk Yani bersekolah.

Yani, bermimpilah seenak-enaknya dan sebebas-bebasnya! Karena mimpi bukan benda yang dapat dibeli dengan uang si kaya, tetapi dibayar dengan jerih dan perih yang dilawan dengan gigih meski pedih dan sedih. Ketahuilah mimpi menghadirkan titik horison utopia yang indah. Ingatlah betapa aku selalu memperhatikanmu selayak bunga matahari, dan tak akan kubiarkan kau sekali-sekali terbang tanpa sayapmu terkepak penuh.


-Cilincing, 29 April 2010