Minggu, 27 Juni 2010

Catatan Pertama Ayah

Waktu selang-selang infus dicabut dari tubuhku, yang kuingat hanya satu, aku ambruk malam itu. Terakhir kali, malam hari sebelum aku ambruk, aku kesulitan melafalkan kata-kata dengan lidahku. Sampai fatalnya, tanganku sulit untuk kugerakkan. Setengah dari sistem sarafku mati tidak terkendali. Lalu aku ambruk.

Kini ketika aku pulih, kulewati hari-hari seperti biasa. Hanya satu yang tidak biasa, sepuntung rokok yang biasanya menemani hari, kini sudah tidak bisa dan tidak lagi kuajak bermain. Selamat tinggal wahai nikotin.

Hari ini begitu menyengat, lebih panas dari biasanya. Seperti akan ada kenyataan buruk yang akan membuatku bergidik. Aku menjalani aktivitasku sebagai wiraswasta di tengah kota Jakarta yang padat ramai, entah penduduk lokal, entah penduduk yang berurbanisasi dengan muluk-muluk mendapatkan penghidupan yang lebih layak, yang justru malah semakin terpuruk.

Hari ini aku berhasil menuliskan nota-nota hasil penjualanku. Walau sedikit lebih sulit sepertinya menggerakkan tanganku kali ini daripada dulu. Tapi, seperti yang kukatakan tadi, ada kenyataan buruk yang harus kudapati. Tangan kananku tidak mampu menorehkan garis-garis secara konsisten. Aku tidak bisa tanda tangan. Tetapi aku bersyukur masih bisa menggunakan segenap sarafku meski tidak sempurna seperti dulu. Setidaknya aku masih bisa menulis, walau sedikit lebih acak-acakan dibandingkan dulu.

Aku tidak dapat mengubah sejarah kehidupanku. Tetapi aku tidak ingin sejarah yang sama terjadi pada pewaris bangsa berikutnya. Ingatlah catatanku ini setiap kalian mengepulkan asap-asap bernama tar dan nikotin itu dari tubuh kalian.


-Jakarta, 27 Juni 2010

Tidak ada komentar: