Sabtu, 14 Agustus 2010

Dua Jiwa

Tanah yang menyimpan jasadnya bergetar. Kerumunan belatung dan semut rang-rang meraja di atas permukaannya. Tak berapa lama, juga tidak sebentar, lalat-lalat mulai berdansa, siap menyusup ke dalam setiap celah lubang tanah yang menyimpan bangkai manusia bernama Dayat itu. Bagiku, tidak mungkin kugali tanah itu lalu kubersihkan lagi. Melanggar aturan pemakaman. Aku hanya bisa menaburkan bunga di atasnya, memanjatkan doa untuk dia, untuk Dayat.

***

“Kamu tahu?” tanya Dayat padaku.

“Tahu apa?”

“Tentangku..”

“Tentu saja. Sampai sedalam-dalamnya. Sudah lama kutangkap kamu yang terjebak dalam imajimu itu sendirian.”

“Maksudmu?” Dayat mulai bernada gusar.

Sebenarnya aku malas menjelaskan deskripsiku mengenai dia. Aku takut dia tersesat dalam pilihannya sendiri. Antara menjadi malaikat atau menjadi setan.

“Kau memang tokoh panutan masyarakat kebanyakan.” lanjutku.

“Lalu?”

“Kau penulis yang inspiratif.”

“Tidak juga.”

“Sayangnya..”

“Sayang apa?”

“Kau terjebak oleh dirimu sendiri. Kau tidak menjadi dirimu sendiri. Kau hidup dengan dua jiwa dalam satu nyawa. Kau sama saja dengan penulis kebanyakan yang tidak bersatu dengan tulisannya.”

“Sial!” emosinya meninggi.

“Tahan, Dayat. Ingat, satu nyawa tidak cukup luas untuk menampung dua jiwa sekaligus bukan?”

“Hentikan! Brengsek kau!”

“Apa aku salah?”

“Tidak, maafkan aku. Kau benar.” Dayat berlari. Ia bukan sekedar berlari. Ia melarikan diri. Kudengar malam itu ia membiarkan dirinya dibasahi air pancuran kamar mandi di kontrakannya. Semalaman. Ia terlalu depresi menjalani kenyataan. Mulutnya berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara.

***

Orang-orang hanya melihat Dayat dari tulisannya. Dari kabar hebat yang menghantam dirinya, mengagungkannya, memujanya laksana dewa-dewa dalam legenda. Tetapi apa ada yang tahu apa yang ada di dalam matanya? Di dalam hatinya? Dan apa yang selalu terngiang dalam otaknya setiap otaknya berdenyut? Tidak ada. Mereka semua hanya menggambarkan Dayat seorang pecinta romansa. Dayat sendiri muak menuliskan ungkapan-ungkapan cinta seperti ‘cintaku seluas lautan tak bertepi’, ‘cintaku seperti langit tak berbingkai’. Bah, seperti ungkapan anak-anak kecil yang bercita-cita menjadi penulis. Tahu apa mereka tentang Dayat? Dia menulis apa yang tidak mau ditulisnya. Motivasi dan kata-kata yang dituliskannya bukan semata-mata lahir dari ilhamnya, melainkan kalian semua yang memerintahkan ilhamnya untuk melahirkan kata-kata yang ditulisnya. Dia benci kalian. Dia benci romansa. Malaikat di pagi hari dan setan di malam hari. Itulah Dayat.

***

“Wi, aku akan menjadi diriku.” ujar Dayat.

“Sungguh?”

“Ya. Temui aku malam nanti seusai aku menyelesaikan kotbah petuahku untuk mereka yang mencintai aku yang sempurna.”

Aku kagum melihat Dayat. Ia berjuang merebut kemerdekaan jati dirinya sendiri, sendirian. Malam itu sekitar delapan kali dentang jam, aku meluncur bersama angin malam yang berhembus menuju tempat yang dimaksud Dayat. Wajahnya berubah. Sama sekali bukan manusia suci. Dayat kehilangan kendali. Dia frustasi dengan semua beban yang ditanggungnya sebagai tokoh panutan. Wajahnya pasrah. Kemudian berbusa. Tangannya terkulai. Lemas. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dayat bunuh diri dengan sebotol racun serangga. Sial, aku terlambat. Kini di hadapanku hanya ada seonggok tanah kuburan yang menenggelamkannya sebagai makhluk hina yang melakukan tindakan yang dibenci Sang Pencipta, bunuh diri. Tahukah kalian, malam itu ketika Dayat berkomat-kamit sambil membiarkan dirinya dibanjiri air pancuran, ia sedang mengeluhkan dirinya. Dia malas menjadi manusia sempurna.

Lalat-lalat sudah berhenti berdansa, mulai terbang satu per satu meninggalkan aku dan makam Dayat. Hanya ada aku dan tanah bertancapkan papan nisan dengan tulisan: ‘Di sini beristirahat dengan tenang, Dayat’. Dia meninggalkan pesan terakhir. Katanya dia kembali menjadi dirinya. Entah sudah berapa lama dia mati. Selama ini apa yang ditulisnya adalah hasil pemikiran otaknya yang diperintah oleh ambisi dan keinginan mereka yang ingin membaca tulisannya. Dia menulis bukan dari hatinya. Sungguhpun selama ini, hatinya ibarat kertas yang belum pernah dijamah tinta. Kosong. Dan ia mendapati bahwa kekosonganlah yang menjadi kemerdekaannya. Tidak ada teritori. Tidak ada beban. Tidak ada otoritas dan tekanan. Dia kembali ke sebuah kekosongan di atas awang-awang.

Tidak ada komentar: