Sabtu, 12 Juni 2010

Mata yang Akan Buta

Terakhir kali dirinya periksa mata, alasannya cuma satu, kacamata rusak. Dokter membacakan hasil periksa matanya waktu itu,"Wah, silinder-mu berkurang seperempat. Ajaib."

"Terima kasih, Dok.."

"Tunggu dulu, saya belum selesai."

"Maksudnya?"

"Minus kamu itu naik tajam. Tadinya enam, sekarang sepuluh. Titik tertinggi minus yang bisa dibantu kacamata adalah sembilan belas. Sisanya kamu harus operasi."

Ia terdiam.

***

Diambilnya sehelai kain hitam, kemudian diikatkannya menutup mata. Ia berlatih menulis dengan mata tertutup. Hasilnya? Berantakan. Menulis nama sendiri saja tidak bisa.

Lalu ia seolah teringat pada monolog sepotong tongkat, skrip yang ditulis ulang seorang wartawan salah satu surat kabar tanah air, yang merupakan saduran ulang dari tulisan seorang buta dengan tekad menuntut kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Monolog tongkat yang pernah ia baca, seorang buta menulis lewat Braille.

Kain hitam yang diikatkannya menutup mata sambil menulis, bukan karena ia seorang yang gila. Ia tidak buta, belum buta, tapi akan buta. Ia hanya menjaga cita-cita dari buta, menulis dalam sebuah buta lewat Braille. Agar kelak dicantumkanlah namanya pada halaman muka sebuah buku, sebagai penulis gila yang menjaga kewarasannya dalam sebuah buta.

Dirabanya huruf-huruf dengan ukiran setengah timbul itu. Dihafalnya mati lewat indera perabanya bentuk-bentuk huruf. Berbulan-bulan dilakukannya rutin. Ia tersenyum. Kali ini senyum kemenangan. Ia merasa bisa, merasa luar biasa.

Tibalah hari di mana ia buta. Kehilangan kemampuan indera mata. Tetapi cita-citanya tidak turut buta. Ia tersenyum. Lagi-lagi senyum kemenangan. Ditarikannya jari jemari, menuliskan catatan seorang penulis gila yang buta, catatan ini..


Cilincing, 13 Juni 2010

1 komentar:

croissant mengatakan...

wow
Like this! ^^b
Cita2 nggak boleh hilang
Karena tanpa cita2, idup jg rasanya jadi datar2 aja
Bakal jd stagnan
Menurutku sih gitu
Keep writing ^^