Minggu, 12 September 2010

Tentang Hati Seorang Pembunuh

"Kamu membunuh?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Bisa apa aku dalam posisiku waktu itu?"

Dia bercerita tentang sebuah pelayarannya sebagai kapten kapal di perairan India. Waktu itu, ia berdebat dengan seorang awak kapal. Entah permasalahannya apa, dia hanya mengatakannya sebagai masalah sepele. Tetapi seperti yang semua orang tahu, begitu lama di lautan dan jarang berjumpa dengan keluarga, membuat hati para pelaut mudah terbakar. Oleh karena itu para pelaut sering dicap sebagai orang yang kasar. Awak kapal itu mengatakan bahwa dia bisa menjadi kapten yang lebih baik daripada dirinya. Awak kapal itu mengancamnya dengan sebilah pisau. Dia terpojok.

Awak kapal itu menghunuskan pisau itu ke arah perutnya. Dia berhasil mengelak dan membalikkan mata pisau. Darah bercucuran. Awak kapal itu tertusuk sendiri oleh pisau yang dipegangnya.

Tidak lama setelah kebingungan panjang, tibalah waktu kapal itu menepi. Pihak kepolisian India mengusut kasusnya dan menghubungi pihak kepolisian Indonesia. Ia dijemput oleh Mabes POLRI. Dua bulan mendekam di tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, ia dioper ke Rumah Tahanan.

Dia masuk sebagai tahanan baru. Aku kepala kamarnya. Kami berbicara satu sama lain. Ia membicarakan ketidakadilan bagi kaum yang terpojok. Ia mengeluhkan betapa dirinya bagai telur di ujung tanduk. Apabila dia membiarkan tubuhnya pasrah menerima pisau itu, maka dia yang mati. Kali ini keadaannya sebaliknya, awak kapal yang meninggal itu berasal dari keluarga kaya raya. Keluarganya menuntut dan mengerahkan belasan pengacara. Dia hanya bisa pasrah menanti hasil persidangan mendatang.

"Lalu kamu membunuh supaya tidak dibunuh?"
"Ya."

Jakarta, 2009

Tidak ada komentar: