Selasa, 18 Mei 2010

Sepotong Telinga Sebagai Harga Sebuah Impian

Hari ini aku cuma ingin menceritakan tentang diriku. Sekali lagi masih sama seperti kemarin, ayahku belum juga pulang, padahal hari sudah sangat malam. Sangat malam. Barangkali sebentar lagi ia pulang. Ya, biasanya hampir tengah malam dia baru pulang. Pulang dengan bawaan sebagai hadiah untukku, hadiah berupa bau mulut penuh alkohol. Sebagai gantinya aku harus memberinya pelukan dan rangkulan untuk menuntunnya sampai ke kamar tidurnya.

Aku cuma bisa mengungkapkan perasaanku lewat sebuah piano tua milik keluargaku ini. Hanya bermain pianolah talenta yang diberikan Tuhan untukku. Tapi ayah tidak pernah mengerti mimpiku menjadi pianis. Baginya pemusik cuma akan berakhir sebagai gelandangan. Semua pemusik baginya hanya akan mengisi trotoar pinggir jalanan, lalu mengemis sana-sini. Semua seniman baginya cuma akan miskin.

Setiap aku membantahnya dan terus bersikukuh pada pendirianku sebagai pianis, ayah tidak segan-segan menghadiahiku pukulan.

"Sudah berkali-kali kubilang, pemusik cuma bakal bernasib sebagai pengamen! Apa kau tuli, hah?!" katanya sambil berkali-kali memukuli telingaku.

Kini aku sudah beranjak dewasa. Aku sedikit banyak mulai memikirkan kembali kata-kata ayah. Sepertinya kenyataan membawaku jauh dari utopia mimpi sebagai pianis handal, yang piawai. Sampai saat ini, aku terpaksa jujur mengatakan belum ada karyaku yang meledak di pasaran masyarakat. Bahkan semua orang masih menganggapku kelas amatir.

Aku frustasi. Tingkat kefrustasian hampir membuatku berputus mimpi sebagai seorang pianis, membuatku nyaris memilih berhenti untuk bermimpi berdiri di atas panggung ekslusif sebuah konser tunggal yang digelar hanya untukku. Bagaimana tidak? Telingaku perlahan-lahan kehilangan kemampuannya untuk mendengar. Apa yang bisa kuperbuat? Kata dokter, aku akan segera tuli dan memang benar saja itu terjadi pada diriku. Bagaimana caranya menjadi seorang pianis yang menghasilkan karya masterpiece bila telingaku saja tuli? Berat kukatakan bahwa ini semua sebagai dampak dari pemukulan yang sering dilakukan ayah kepadaku dulu.

Aku mencari kaca, dan kulihat di muka kaca, sungguh mukaku kacau. Kuraih sebilah pisau lalu kupotong sebelah telingaku. Darah berceceran. Aku di ambang hidup dan mati. Tubuhku tak seimbang. Entah sudah berapa lama aku tidak siuman, begitu sadar aku sudah berada di sebuah ruangan rumah perawatan, dengan beberapa kerabat di sekelilingku. Kupejamkan mataku sejenak sambil berbaring di tempat tidur perawatan itu. Kubayangkan jemari-jemariku memainkan piano tua, penuh emosi, penuh ambisi, penuh kekecewaan, penuh dendam dan amarah, penuh keputusasaan dan hasrat akan kematian.

Akhirnya aku diizinkan pulang. Kulihat piano di rumahku kian berdebu. Tak pernah disentuh sepertinya. Memang tidak pernah. Entah malaikat maut macam apa yang merasukiku untuk kemudian aku menghampiri piano itu, mengambil posisi duduk, lalu menghentakkan jemariku ke tuts demi tuts-nya. Kumainkan sebuah melodi.

Inilah melodiku yang penuh emosi, penuh ambisi, penuh kekecewaan, penuh dendam dan amarah, penuh keputusasaan dan hasrat akan kematian, begitu ujarku dalam hati.

Selesai kumainkan, baru aku menyadari, beberapa orang ternyata datang masuk ke dalam rumahku dan sudah berkerumun di belakangku. Mereka menyambut melodi yang baru kumainkan tadi dengan sorak sorai, tepuk tangan, dan wajah-wajah penuh raut apresiasi.

Hah, ada apa ini? Adakah ini kesempatanku menciptakan si masterpiece milikku?
Bahkan justru di saat aku sudah tuli?
Inikah jalan kemustahilanku sebagai pianis tuli bertelinga satu?


Baik, akan kutulis ulang melodi tadi, lalu kuterbangkan ke seluruh penjuru dunia.

Lalu kukatakan pada dunia, inilah melodi masterpieceku,
yang akan membawaku menuju panggung ekslusif sebuah konser tunggal yang akan digelar hanya untukku seorang..
Inilah,

Fur Elise..

Tidak ada komentar: