Senin, 28 Juni 2010

The Premonition

Sesosok perempuan
di hutan
berlari
lalu tertangkap
meronta
lalu tewas mengenaskan
bertabur daun-daun dari pepohonan


Itu mimpiku semalam,
terasa nyata,
wajah perempuan dalam mimpi itu sungguh kukenal,
betapa tidak?
Itu wajah kekasihku sendiri..

Firasatku tak enak,
hari ini aku harus ada di sisinya,
meskipun seharian..

Hari ini kutemani dia,
sepanjang hari,
berjalan-jalan,
menghabiskan waktu,
lalu ke hutan kota,
yang penuh bunga..

Hari semakin larut,
kulihat ia kedinginan,
ia memeluk sendiri tubuhnya,
kupeluk lagi dirinya,
dua pasang tangan cukup untuk bisa menghangatkan..

Setan-setan menggoda,
membisik naluri lelakiku,
ia merasakan perubahan sikapku,
desah nafasku memburu,
ia ketakutan,
ia lari,
menyusur hutan,
terus berlari,
lalu tertangkap,
ia meronta,
Sial, keras kepala juga kau..!
Kuambil sebongkah batu,
Buk!
Kuhantamkan ke kepalanya,
barulah kurenggut paksa keperawanannya,
lalu?
Seperti dalam mimpiku semalam,
ia tewas mengenaskan,
bertabur daun-daun dari pepohonan..

Menasehati Diri

Aku melihat aku,
mematung di sudut Jakarta dengan wajah kosong,
tanpa asa,
tanpa cita-cita,
tanpa iman,
tanpa pengharapan..

Aku melihat aku,
berdiam tanpa makna di antara ilalang yang tegak menantang..
Wajah itu wajah penuh tanya..
Makna?
Cita-cita?
Ingin kugapai,
ingin kucapai,
tapi mati..

Hei, aku yang disana, dengarkan aku..!!
"Sampai kapan tak jua mengejar mimpi yang pernah kau'cipta lewat suara..?!"
"Hidupmu adalah sampah yang harus didaur ulang, agar kelak menjadi hidup yang benar-benar hidup..!!"

Wahai aku,
yang sudah tercatat,
tak usah digali lagi,
biarkan terkubur abadi disini,
dimakan cacing-cacing penyesalan,
yang mengoyak kedamaian pikiranmu..

Sekali lagi aku katakan ini padamu aku..!!
"Sadarilah, sekalipun kau kira semua telah kau raih, tanpa cita-cita, semua masih penuh dengan dusta..!!"

Wahai aku,
sudah saatnya berdiam diri di 'RumahNya' sejenak,
disana rajutlah doa untuk masa depan,
biarkan waktu menempa dirimu,
lalu Dia membangkitkan jiwamu yang mati,
menjadikan waktumu tak lagi menjadi batu,
menjadikan waktumu tak lagi bisu..

November, 2009

Karnaval

Bertepak-bertepuk,
orang-orang menonton karnaval..
Badut melempar-lempar bola,
peniup seruling mengeluarkan ular,
kereta kuda melintas..
Karnaval..

Bertepak-bertepuk,
disini ramai,
aku masih lima..
Aku yang belum pernah ke Jakarta ini,
masih menggandeng tangan ibu,
erat,
kalau terlepas nanti tersesat..

Bertepak-bertepuk,
marching band bermain genderang,
peniup api menyemburkan api,
pesulap memamerkan bakat..
Karnaval..

Bertepak-bertepuk,
aku mulai pegal,
ingin menumpang duduk,
sambil melepas dahaga,
tapi ibu masih mau menonton..

Bertepak-bertepuk,
aku pamit duduk sebentar,
ibu memberi uang untuk jajan,
Beli minum, katanya..

GLEK.. GLEK.. GLEK..
Ahh, segar..

Bertepak-bertepuk,
aku kembali ke barisan karnaval..
Lho, Ibu ke mana..?

Bertepak-bertepuk,
aku tidak melihat ibu..
Ibu hilang bersama karnaval..
Atau aku yang hilang bersama karnaval..?
Aku sendirian..
Padahal aku masih lima..

Bertepak-bertepuk,
untung ada om baik hati yang mau membantu aku mencari ibu..
Aku masih lima,
aku ikut om baik hati..

Bertepak-bertepuk,
aku berjalan menjauh dari karnaval,
om bilang mencarinya besok pagi saja..
Besok pasti aku bertemu Ibu lagi..

...
Tidak ada bertepak-bertepuk lagi,
om bilang kalau mau ketemu ibu aku harus menyanyikan lagu syahdu di jalanan,
Nanti Ibumu pasti melihatmu kalau lewat jalanan..
Yah, siapa tau..

Aku masih lima..

Don

Aku ingin membuat pengakuan kecil padamu, Monika. Jujur sejujur-jujurnya, ada sepotong kecil bagian hidupku yang selama ini tidak pernah kukatakan kepadamu. Apa yang kau tahu tentang aku selain seorang anak laki-laki yang lulus tiga tahun lebih dulu dari SMU yang sama denganmu, Monika? Tak ada?

Bahkan teman-teman sekolah yang kukenal dekat dan jauh pun tidak ada satupun yang mengenal baik siapa aku. Mereka tidak tahu yang sebenar-benarnya tentang aku. Aku lebih mirip seorang Don yang hidup dari banyak sisi, mulai dari sisi yang paling gelap sampai sisi yang paling terang.

Aku ingat betul dulu ketika salah seorang anak kelasku bercerita dengan bangganya ketika ia berhasil masuk ke dunia gemerlap bernama diskotik. Dia juga yang paling sok tahu tentang segala macam narkotika dan obat-obat terlarang. Waktu itu aku cuma berdiam, kadang pura-pura merasa ngeri mendengar cerita-ceritanya. Ya, aku cuma pura-pura. Dan tahukah kamu? Aku sukses berpura-pura. Dulu aku harus menjaga citraku sebagai anak kesayangan guru-guru di sekolah. Ah, sebenarnya tidak juga kok, yang lebih utama adalah aku harus mematuhi perintah tangan kanan yang dipercaya Tuan Emir kala itu untuk membinaku sebagai calon Don yang hidup dari banyak sisi.

Tuan Emir bilang aku harus tampil bodoh sebodoh-bodohnya, alim sealim-alimnya di lingkunganku. Tuan Emir mengajarkan aku caranya berdiam dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Tuan Emir membinaku untuk menjadi Don yang gila membabi buta pada malam hari.

Tidak satu pun ada teman-temanku yang tahu tentang kisahku yang ini. Tidak teman-teman SMU-ku, tidak teman-teman kuliahku, demikian juga denganmu, Monika. Sekarang, ketika kau membaca catatanku kali ini, kau pasti mengerti bukan, mengapa aku sering mendadak pergi setiap aku berkunjung ke rumahmu? Tuan Emir memanggil, transaksi menanti, itulah aku yang sebagai Don harus beraksi.


-Jakarta, 2006

Minggu, 27 Juni 2010

Catatan Pertama Ayah

Waktu selang-selang infus dicabut dari tubuhku, yang kuingat hanya satu, aku ambruk malam itu. Terakhir kali, malam hari sebelum aku ambruk, aku kesulitan melafalkan kata-kata dengan lidahku. Sampai fatalnya, tanganku sulit untuk kugerakkan. Setengah dari sistem sarafku mati tidak terkendali. Lalu aku ambruk.

Kini ketika aku pulih, kulewati hari-hari seperti biasa. Hanya satu yang tidak biasa, sepuntung rokok yang biasanya menemani hari, kini sudah tidak bisa dan tidak lagi kuajak bermain. Selamat tinggal wahai nikotin.

Hari ini begitu menyengat, lebih panas dari biasanya. Seperti akan ada kenyataan buruk yang akan membuatku bergidik. Aku menjalani aktivitasku sebagai wiraswasta di tengah kota Jakarta yang padat ramai, entah penduduk lokal, entah penduduk yang berurbanisasi dengan muluk-muluk mendapatkan penghidupan yang lebih layak, yang justru malah semakin terpuruk.

Hari ini aku berhasil menuliskan nota-nota hasil penjualanku. Walau sedikit lebih sulit sepertinya menggerakkan tanganku kali ini daripada dulu. Tapi, seperti yang kukatakan tadi, ada kenyataan buruk yang harus kudapati. Tangan kananku tidak mampu menorehkan garis-garis secara konsisten. Aku tidak bisa tanda tangan. Tetapi aku bersyukur masih bisa menggunakan segenap sarafku meski tidak sempurna seperti dulu. Setidaknya aku masih bisa menulis, walau sedikit lebih acak-acakan dibandingkan dulu.

Aku tidak dapat mengubah sejarah kehidupanku. Tetapi aku tidak ingin sejarah yang sama terjadi pada pewaris bangsa berikutnya. Ingatlah catatanku ini setiap kalian mengepulkan asap-asap bernama tar dan nikotin itu dari tubuh kalian.


-Jakarta, 27 Juni 2010

Sabtu, 26 Juni 2010

Kahfi

"Aku tahu tidak semua teman-temanmu itu pasti tulus. Barangkali memang di antara mereka ada yang sangat tulus. Selebihnya justru seperti anjing. Tidak diberi makan sang tuan, lantas menggonggong keras-keras. Baru nanti dilempar tulang, mereka diam diri, menjilat-jilat. Lalu aku? Bagaimana pandanganmu tentang aku?"

Dia diam. Terlalu takut barangkali mengutarakan pendapatnya sendiri tentang aku.

"Hei, katakan. Apa sajalah, pokoknya tentang aku!"

Dia masih diam. Semakin takut barangkali.

"Apa saja, Kahfi? Sebelum kau benar-benar pergi dari sini dan meninggalkan tempat ini? Apa saja?"

Suara-suara tidak berani keluar dari tenggorokannya, masih sama, stagnan.

"Aku tahu, barangkali ada detik-detik di mana aku berteriak lebih keras daripada anjing hutan yang jatah makannya direbut gerombolan dubuk-dubuk hutan. Aku tahu, mungkin aumanku jauh lebih menggelegar daripada auman singa yang baru saja naik tahta menjadi raja hutan. Tetapi tahukah kamu, bila aumanku bukan untuk menyuarakan siapa diriku seperti sang raja rimba, gonggonganku bukan untuk menyalak kepada para pencuri-pencuri jatah makan yang beraninya main gerombol. Bukan."

Masih diam. Tidak terdengar suara.

"Kau harus berangan-angan terus, Kahfi. Barangkali besok kau memang masih di sini, atau masih bisa kembali ke sini, tetapi barangkali mimpimu sudah mati sejak kemarin?"

Hanya terdengar suara kresek-kresek dari seberang. Belum ada kata-kata keluar.

"Kamu boleh berhenti melangkahkan kakimu di sini, tetapi pacu larimu menuju gerbang utopiamu sendiri, wahai calon maestro handal si kulit bundar."

Belum ada jawaban.

TREK

Telepon terputus.


-Jakarta, 26 Juni 2010

Sabtu, 12 Juni 2010

Mata yang Akan Buta

Terakhir kali dirinya periksa mata, alasannya cuma satu, kacamata rusak. Dokter membacakan hasil periksa matanya waktu itu,"Wah, silinder-mu berkurang seperempat. Ajaib."

"Terima kasih, Dok.."

"Tunggu dulu, saya belum selesai."

"Maksudnya?"

"Minus kamu itu naik tajam. Tadinya enam, sekarang sepuluh. Titik tertinggi minus yang bisa dibantu kacamata adalah sembilan belas. Sisanya kamu harus operasi."

Ia terdiam.

***

Diambilnya sehelai kain hitam, kemudian diikatkannya menutup mata. Ia berlatih menulis dengan mata tertutup. Hasilnya? Berantakan. Menulis nama sendiri saja tidak bisa.

Lalu ia seolah teringat pada monolog sepotong tongkat, skrip yang ditulis ulang seorang wartawan salah satu surat kabar tanah air, yang merupakan saduran ulang dari tulisan seorang buta dengan tekad menuntut kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Monolog tongkat yang pernah ia baca, seorang buta menulis lewat Braille.

Kain hitam yang diikatkannya menutup mata sambil menulis, bukan karena ia seorang yang gila. Ia tidak buta, belum buta, tapi akan buta. Ia hanya menjaga cita-cita dari buta, menulis dalam sebuah buta lewat Braille. Agar kelak dicantumkanlah namanya pada halaman muka sebuah buku, sebagai penulis gila yang menjaga kewarasannya dalam sebuah buta.

Dirabanya huruf-huruf dengan ukiran setengah timbul itu. Dihafalnya mati lewat indera perabanya bentuk-bentuk huruf. Berbulan-bulan dilakukannya rutin. Ia tersenyum. Kali ini senyum kemenangan. Ia merasa bisa, merasa luar biasa.

Tibalah hari di mana ia buta. Kehilangan kemampuan indera mata. Tetapi cita-citanya tidak turut buta. Ia tersenyum. Lagi-lagi senyum kemenangan. Ditarikannya jari jemari, menuliskan catatan seorang penulis gila yang buta, catatan ini..


Cilincing, 13 Juni 2010

Jumat, 11 Juni 2010

Syair Nama

Bolehkah aku memanggilmu tanpa nama?
Bukankah nama-nama sering menjadi yang utama,
sebagai partikel penyusun luka lama?
Tanpa nama,
boleh?

Kamu yang biasa dipanggil orang-orang lewat potongan nama,
yang entah potongan bagian mana,
boleh depan,
boleh tengah,
boleh belakang,
nama-nama potongan
yang mana pun,
potongan-potongan nama
yang di mana pun..

Tapi nanti malah salah potong,
akibatnya luka lama,
lagi-lagi luka,
yang lama..

Luka yang sudah lama,
luka yang akan tinggal lama,
di dalam sebuah nama..

Aku sudah terlanjur salah potong,
kalau Tuhan izinkan,
aku mau menjelaskan,
tapi waktunya,
aku tidak punya..

Lho, jangan salah paham,
aku bukan sok sibuk,
tapi sebaliknya,
saking miskinnya
bahkan waktu tidak kupunya,
tidak bisa kubeli,
apalagi kutawar..


Sementara ini,
sampai tiba waktunya kita kembali bercengkerama,
tentang cerita baru dan lama,
lewat sebuah irama,
di mana bahkan
hati penyair
mencair
jadi syair
mendengarnya,
bolehkah aku memanggilmu tanpa nama?


Jakarta, 11 Juni 2010

Selasa, 08 Juni 2010

Mal Praktik

Tiba-tiba saja malam menabraknya. Tadinya rumah itu sudah senyap. Sudah sunyi tanpa bunyi. Tati mendadak menjerit-jerit tidak karuan. Tangannya meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari ikatan tambang yang mengikat erat kedua tangannya di ujung ranjang. Ayahnya masuk kamar disusul ibunya.

"Dia kambuh lagi, Bu!"

"Cepat bius lagi. Tambahkan dosisnya!"

"Kemarikan suntikannya!"

Aku masih mengejang ke kiri ke kanan, sambil melihat mereka menyiapkan jarum suntik berisi cairan yang katanya penenang saraf, peredam skizofrenia. Setahuku, mereka juga tidak tahu obat apa itu sebenarnya. Toh, mereka hanya mengikuti petunjuk Hartono, dokter muda yang menanganiku tempo hari. Tapi ya sudahlah, aku sudah terbiasa dengan semuanya. Mulai dari Hartono sampai jarum suntik. Aku sudah hafal betul ritual yang dilakukan ayah ibu setiap akan menyuntikku. Olesan alkohol, kain kapas, dan cus.. jarum suntik. Aku tertidur. Mereka tidak tahu itu obat apa. Mereka cuma tahu itu penenang saraf.

***

Pagi-paginya aku terbangun, kulihat ayah dan ibu sibuk mengepakkan barang-barangku. Aneh, tidak seperti biasanya, hari ini seperti terburu-buru sekali. Bahkan sepertinya mereka tidak sadar kalau yang mereka bawa cuma pakaian tidurku saja. Aku mau dibawa kemana? Pakaian andalanku kenapa tidak dibawa? Hei, jawab aku.

"Pak, aku masukkan semua ini ke mobil, kamu gendong dia ke mobil ya?" kata ibu.

"Ya sudah. Sana cepat waktu kita tidak banyak. Hartono sudah menunggu."

***

Di mobil, ibu duduk di depan di sebelah ayah yang menyetir. Berkali-kali kulihat ibu menengok ke belakang, melihat keadaanku yang kurasa baik-baik saja.

"Pak! Matanya.. matanya..!" teriak ibu.

"Kenapa matanya?"

"Matanya menangis!"

"Mana? Tidak ada air matanya!"

Ayah segera mengerem, menghentikan laju mobil yang kami tumpangi. Ibu pindah ke kursi belakang, lalu menggerak-gerakkan tubuhku sambil ia menggigit bibirnya sendiri. Kulihat matanya mulai berlinang air mata ketakutan yang berenang bebas keluar dari retina matanya. Sementara ayah, kulihat ayah sedang sibuk menelepon, sepertinya ambulans. Dari wajahnya kutangkap aura kebencian, dendam, kecewa, dan penyesalan. Entah karena apa. Aku waktu itu sudah terlalu sulit untuk bisa berpikir berat. Kupalingkan pandanganku pada ibu. Ibu menjerit-jeritkan sebuah nama dengan embel-embel umpatan,"Hartono! Sialan kau!"

Jumat, 04 Juni 2010

Tali

Lasmi, belakangan ini kuperhatikan suaramu kian parau, bahkan kudengar para tetangga menggosipkan kamu yang suka mengigau, kenapa? Belakangan ini kamu semakin melemah, ada apa? Adakah kamu kurang makan, mengapa? Apakah Parman tidak memperlakukanmu dengan baik? Lasmi, jangan sesekali juga kamu bermain-main dengan kesehatanmu. Aku tidak suka. Catat itu.

Lasmi, beberapa hari belakangan ini, kulihat kamu gelisah setiap aku mendekatimu, ada apa? Jangan takut Lasmi, malam itu aku khilaf.

Ah, Lasmi, maafkan aku. Malam minggu yang lalu aku terlalu keras membentak kamu yah? Terlalu kuat aku menggamparmu yah? Ya memang demikian, aku membentakmu sangat keras, menggamparmu begitu hebat. Tapi aku melakukannya untuk kebaikanmu, karena aku mencintai kamu. Aku tidak mau kehilangan kamu, tetapi mengapa kau lakukan semua ini padaku, Lasmi? Aku tidak mau kamu dekat-dekat dengan Parman, tetangga kita sebelah yang terkenal genit pada semua perempuan kampung di sini, baik yang gadis maupun yang sudah bersuami bahkan sampai yang janda seperti kamu sekarang ini, Lasmi. Aku cemburu, Lasmi.

Lasmi, malam itu aku benar-benar khilaf. Aku tidak menyalahkan tindakanmu tempo malam. Terlalu hebat cintaku padamu sehingga aku tidak mungkin menyimpan dendam yang kesumat padamu, ataupun Parman. Kuikhlaskan sudah hubungan gelap kalian, Lasmi. Aku maklum kamu. Aku cinta kamu bahkan sampai detik ini.

Maksudku belakangan ini menghampirimu bukan untuk menuntut balas padamu yang sudah meracuni teh yang kau siapkan untukku tempo pagi. Bukan itu. Aku cuma minta dibukakan tali yang mengikat bungkus mayatku ini, Lasmi. Aku belum bisa tenang, belum bisa berangkat menghadap Yang Kuasa, Lasmi. Aku mohon, bukakan tali ini untukku, jangan malah merinding sendiri lalu mengusirku berkali-kali dengan tubuh telanjangmu di ranjang kamar kita yang ternoda oleh sebuah nama bernama Parman.

Kecoak Kereta

'Telur asin! Telur asin! Pop Mie! Pop Mie! Air putih! Air putih! Teh manis! Teh manis! Kopi! Kopi! Mijon! Mijon! Seprit! Seprit! Fanta! Fanta! Rokok! Rokok!' cuma itu-itu saja yang terdengar selama empat belas jam perjalanan kereta api Kertajaya dari Jakarta tujuan Surabaya.

Penumpang di barisan bangku sisi kiri seolah berlomba tidur dengan penumpang di barisan bangku sisi kanan. Tidur? Ya, ini kesempatanku bergerak. Kecoak kereta seperti kami memang baru bebas bergerak kalau para penumpang manusianya sudah pulas tertidur. Kalau tidak? PLAK, tubuh kami hancur berantakan dihantam koran lah, majalah lah, atau yang menjadi kematian paling terhormat ya mati digebuk pakai sandal jepit atau sepatu mereka. Sadis dan kejam memang, tetapi begitulah manusia. Itulah sifat asli dari kata manusiawi. Padahal kami, kaum kecoak, sudah lebih dulu ada sebelum nenek moyang manusia ada di muka bumi.


stasiun Kaliwungu, 24 Mei 2010