Rabu, 25 Agustus 2010

Waiting

Tiba-tiba petugas sekuriti itu datang lantas memintanya untuk segera mematikan rokoknya. Asap rokok itu beriringan berhembus keluar dari mulutnya. Asap-asap itu menari-nari terkadang membentuk lingkaran, kemudian melintas bebas entah ke mana. Mereka tidak tahu bahwa barusan mereka ditegur oleh seorang petugas sekuriti perusahaan furniture tempat mereka berada sekarang. Dia meminta maaf pada petugas itu. Dia mematikan rokoknya.

“Sedang apa Bapak di sini?” tanya petugas sekuriti itu kepadanya.

Dia menjelaskan bahwa ia sedang menunggu seseorang yang tengah diwawancara oleh bagian HRD di perusahaan furniture itu. Dia berdiri, meminta pamit pada petugas itu, kemudian melangkah masuk ke dalam, melihat-lihat isi showroom yang dipenuhi aneka ragam penghuni tata ruang. Bangku, meja, sofa, lampu, sampai kasur yang ada di dalam ruangan itu ditata sedemikian rupa. Sungguhpun segala macam furniture di ruangan itu merupakan perpaduan serasi antara penataan, warna, dan tentunya desain, tetapi mereka tidak kelihatan seperti sekelompok perkakas angkuh walau mereka memang nampak sangat amat elegan dan menawan.

Kekagumannya pecah. Ditabrak oleh suara seseorang yang dari tadi sedang ditunggunya. “Om, sudah. Pulang sekarang?” Kata pemuda yang baru saja diwawancara oleh pihak HRD itu.

Mereka melangkah keluar, menuju mobil dengan logo Honda di bagian bumper depannya. Mesin dinyalakan.

“Bagaimana hasilnya? Diterimakah?”
“Yes.”
“Lalu?"
“Emporium.”
Mobil melaju keluar parkiran.

Cipinang, Agustus 2010

Rabu, 18 Agustus 2010

13 Horses

Dimulai dari kisah 13 kuda pacu andalan yang memiliki tekad juara. Mereka ditakdirkan untuk berlari dan menang. Kini mereka hendak diberangkatkan menuju tempat perlombaan dengan kapal laut. Musibah terjadi, kapal laut yang membawa mereka dan para penumpang tenggelam.

13 kuda berenang dan terapung-apung di laut. Kapal yang mereka tumpangi sudah lenyap dan sekarang mereka sendirian dengan air di mana-mana di sekitar mereka.

Para penumpang diselamatkan dari kapal tenggelam itu, tepat sebelum kapal terbakar. Dan sementara mereka aman, teman setia mereka, para kuda yang butuh bantuan, sabar menunggu giliran mereka untuk ditolong.

13 kuda masih terus berlari menerobos laut. Tekad mereka membuat mereka kuat untuk berlari. Mereka bahkan tidak tahu bahwa semua itu tak ada gunanya. Kebanggaan dan keteguhan hati mereka yang tetap kali ini tidak akan membantu. Tekad mereka yang dulu begitu tinggi, tiba-tiba kini mengecil.

Sudah terlalu jauh untuk kembali. Tapi siapa yang peduli, toh mereka akan mati. Semuanya ditakdirkan malam ini.

Mereka terus-menerus berlari menerobos laut. Laut yang mereka pikir hanya sekadar sungai. Mereka sudah terbiasa dengan semua cobaan ini, mereka menganggap seolah-olah mereka sedang berada di arena pacuan. Di telinga mereka, suara gemuruh laut terdengar seperti sorakan dan tepuk tangan penonton. Tetapi di mana garis finish-nya?

Malam semakin gelap. Tubuh mereka ingin beristirahat. Rasanya sesak untuk bernafas, tetapi mereka masih terus melakukan yang terbaik. Mereka ingin hidup, tidak peduli berapa lama lagi.

Kuda-kuda itu masih berjuang di laut. Mereka tidak melihat ke belakang karena itu tak ada gunanya. Hanya ada kematian di belakang mereka.

Mereka berteriak minta tolong, tetapi pertolongan tidak akan pernah datang. Mereka tidak tahu ada di mana dan harus berlari ke mana. Mereka mencoba berlari lagi ketika panik mulai menyebar. Mereka berlari ke pantai tetapi hanya dalam pikiran mereka saja.

Mereka berteriak di dalam hati bahwa mereka lahir untuk menang, maka mereka melawan sampai akhir.

Matahari sudah terbit. Burung berterbangan di mana-mana. Mereka terbang tinggi, berselancar di udara. Sangat menyenangkan untuk hidup ketika hidup adalah suatu berkat. Satu kuda terakhir yang masih berenang tampaknya akan menjadi yang terakhir.

Kuda ketigabelas menjadi yang terbaik. Pemiliknya akan bangga, tetapi kini ia ingin beristirahat. Dia merindukan rumahnya, sang gadis memberinya makanan. "Anak baik," katanya, kemudian mereka bermain bersama.

13 kuda terus berlari di laut. Segera mereka akan hilang selamanya. Mereka terus berlari seolah-olah demi satu hal yang akan selalu tetap ada, yaitu harapan yang tak pernah mati. Tidak pernah mati, tak pernah mati. Mereka berlari membawa harapan yang tidak pernah mati.

13 horses swimming in the sea
Waiting for someone to find them
Their ship is gone and now they are alone
With water everywhere around them

The men were saved from the sinking ship
Right before it started to burn
And while they're safe their loyal friends need help
Patiently waiting for their turn

13 horses swimming in the sea
They don't even know it's pointless
The pride remains but this time it won't help
They used to be so tall and suddenly they're small

There's a couple way too far behind
Soon they will be out of sight
But then who cares, they're dying anyway
All of them are doomed this night

11 horses swimming in the sea
The sea they thought was just a river
They're used to this, it's probably just a race
That helps to ease their minds, but where's the finish line?

The night grows dark, the body wants to rest
It hurts to breathe and still they do their best
They want to live no matter for how long
Their thoughts have disappeared 'cause now they're pretty scared

7 horses struggling in the sea
Waiting for someone to find them
They don't look back 'cause what's the point of that
There is only death behind them

They cry for help but help will never come
They don't know where to swim or what they're swimming from
They try to swim some more when panic starts to spread
They're swimming into shore but only in their heads

The 3 last horses dying in a sea
Shouting of their cries for no one
They're born to win, they're screaming in their hearts
The strength of thousand men, they're fighting 'till the end

The sun is up, birds are everywhere
They're flying high, surfing in the air
It's nice to live when life is such a bless
One horse that swims it seems to be the last

The 13th horse has always been the best
His owner will be proud but now he wants to rest
He's longing for his home, the girl will give him food
Good boy she'll say, together they will play

13 horses swimming in the sea
Soon they will be gone forever
And while they swim one thing still remains
And that's the hope that never dies
It never dies, it never dies


Alexander Rybak - 13 Horses

Saya sangat menyukai lagu ini. Ketigabelas kuda itu berusaha menggapai kemerdekaan hidup mereka dari maut yang mencoba merampasnya dari mereka.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Dua Jiwa

Tanah yang menyimpan jasadnya bergetar. Kerumunan belatung dan semut rang-rang meraja di atas permukaannya. Tak berapa lama, juga tidak sebentar, lalat-lalat mulai berdansa, siap menyusup ke dalam setiap celah lubang tanah yang menyimpan bangkai manusia bernama Dayat itu. Bagiku, tidak mungkin kugali tanah itu lalu kubersihkan lagi. Melanggar aturan pemakaman. Aku hanya bisa menaburkan bunga di atasnya, memanjatkan doa untuk dia, untuk Dayat.

***

“Kamu tahu?” tanya Dayat padaku.

“Tahu apa?”

“Tentangku..”

“Tentu saja. Sampai sedalam-dalamnya. Sudah lama kutangkap kamu yang terjebak dalam imajimu itu sendirian.”

“Maksudmu?” Dayat mulai bernada gusar.

Sebenarnya aku malas menjelaskan deskripsiku mengenai dia. Aku takut dia tersesat dalam pilihannya sendiri. Antara menjadi malaikat atau menjadi setan.

“Kau memang tokoh panutan masyarakat kebanyakan.” lanjutku.

“Lalu?”

“Kau penulis yang inspiratif.”

“Tidak juga.”

“Sayangnya..”

“Sayang apa?”

“Kau terjebak oleh dirimu sendiri. Kau tidak menjadi dirimu sendiri. Kau hidup dengan dua jiwa dalam satu nyawa. Kau sama saja dengan penulis kebanyakan yang tidak bersatu dengan tulisannya.”

“Sial!” emosinya meninggi.

“Tahan, Dayat. Ingat, satu nyawa tidak cukup luas untuk menampung dua jiwa sekaligus bukan?”

“Hentikan! Brengsek kau!”

“Apa aku salah?”

“Tidak, maafkan aku. Kau benar.” Dayat berlari. Ia bukan sekedar berlari. Ia melarikan diri. Kudengar malam itu ia membiarkan dirinya dibasahi air pancuran kamar mandi di kontrakannya. Semalaman. Ia terlalu depresi menjalani kenyataan. Mulutnya berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara.

***

Orang-orang hanya melihat Dayat dari tulisannya. Dari kabar hebat yang menghantam dirinya, mengagungkannya, memujanya laksana dewa-dewa dalam legenda. Tetapi apa ada yang tahu apa yang ada di dalam matanya? Di dalam hatinya? Dan apa yang selalu terngiang dalam otaknya setiap otaknya berdenyut? Tidak ada. Mereka semua hanya menggambarkan Dayat seorang pecinta romansa. Dayat sendiri muak menuliskan ungkapan-ungkapan cinta seperti ‘cintaku seluas lautan tak bertepi’, ‘cintaku seperti langit tak berbingkai’. Bah, seperti ungkapan anak-anak kecil yang bercita-cita menjadi penulis. Tahu apa mereka tentang Dayat? Dia menulis apa yang tidak mau ditulisnya. Motivasi dan kata-kata yang dituliskannya bukan semata-mata lahir dari ilhamnya, melainkan kalian semua yang memerintahkan ilhamnya untuk melahirkan kata-kata yang ditulisnya. Dia benci kalian. Dia benci romansa. Malaikat di pagi hari dan setan di malam hari. Itulah Dayat.

***

“Wi, aku akan menjadi diriku.” ujar Dayat.

“Sungguh?”

“Ya. Temui aku malam nanti seusai aku menyelesaikan kotbah petuahku untuk mereka yang mencintai aku yang sempurna.”

Aku kagum melihat Dayat. Ia berjuang merebut kemerdekaan jati dirinya sendiri, sendirian. Malam itu sekitar delapan kali dentang jam, aku meluncur bersama angin malam yang berhembus menuju tempat yang dimaksud Dayat. Wajahnya berubah. Sama sekali bukan manusia suci. Dayat kehilangan kendali. Dia frustasi dengan semua beban yang ditanggungnya sebagai tokoh panutan. Wajahnya pasrah. Kemudian berbusa. Tangannya terkulai. Lemas. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dayat bunuh diri dengan sebotol racun serangga. Sial, aku terlambat. Kini di hadapanku hanya ada seonggok tanah kuburan yang menenggelamkannya sebagai makhluk hina yang melakukan tindakan yang dibenci Sang Pencipta, bunuh diri. Tahukah kalian, malam itu ketika Dayat berkomat-kamit sambil membiarkan dirinya dibanjiri air pancuran, ia sedang mengeluhkan dirinya. Dia malas menjadi manusia sempurna.

Lalat-lalat sudah berhenti berdansa, mulai terbang satu per satu meninggalkan aku dan makam Dayat. Hanya ada aku dan tanah bertancapkan papan nisan dengan tulisan: ‘Di sini beristirahat dengan tenang, Dayat’. Dia meninggalkan pesan terakhir. Katanya dia kembali menjadi dirinya. Entah sudah berapa lama dia mati. Selama ini apa yang ditulisnya adalah hasil pemikiran otaknya yang diperintah oleh ambisi dan keinginan mereka yang ingin membaca tulisannya. Dia menulis bukan dari hatinya. Sungguhpun selama ini, hatinya ibarat kertas yang belum pernah dijamah tinta. Kosong. Dan ia mendapati bahwa kekosonganlah yang menjadi kemerdekaannya. Tidak ada teritori. Tidak ada beban. Tidak ada otoritas dan tekanan. Dia kembali ke sebuah kekosongan di atas awang-awang.

Senin, 09 Agustus 2010

Hard Rock Cafe 2007

Tanpa kalian, kehidupan ini tidak akan menemukan keseimbangan. Tanpa kamu, romansa tidak pernah dilahirkan. Kalian ingat? Malam itu Kirman membawa kita ke sini. Mengusir mereka yang sudah saling menjatuhkan, mereka yang kehilangan makna persatuan. Persatuan mereka seolah rapuh dimakan rayap-rayap malam.

"Turunkan!" perintah Kirman kepada salah dua anak buahnya.

Kita duduk tepat di depan penabuh drum, pemetik gitar, dan pengolah vokal beraksi, bersatu padu dalam sebuah konser musik hidup. Aku sempat bertanya-tanya, bilamana aku kehilangan salah satu dari kalian, apa artinya hidupku? Sampah. Menyusul mereka yang diusir oleh Kirman tempo lalu.

Kini kukatakan kepada kalian sahabat-sahabatku, sekali lagi tanpa kalian dan tanpa aku, kita tidak seimbang. Dan untukmu kekasihku, tanpa kamu, romansa di tempat ini tidak hadir.

"Kami di sana." seorang muda berkacamata berkata kepada Kirman. Dia ini temannya yang akan merayakan ulang tahun kekasihnya di sini.

Kemudian pemuda berkacamata itu memesan segelas bening berisi alkohol dan beberapa jus jeruk, empat tepatnya. Lalu diserahkan kepada teman-temannya yang juga ada di sana. Mereka minum bersama. Lalu meletakkan gelas-gelas itu di atas tubuh kayuku dan teman-temanku. Di sisi kekasihku, lilin di atas meja.

Seandainya persatuan di antara kami pudar, barangkali aku cuma menjadi seonggok kayu yang dibuang lalu digantikan mereka yang tahan rayap.

tentang sebuah meja kayu, Hard Rock Cafe 2007

Minggu, 08 Agustus 2010

Psycho Mantis

Her, kapan kamu pulang? Masih ingat anak kita, Elisa? Dia berulah lagi. Kali ini bukan dengan Rui, si lesbi itu. Kau ingat bulan lalu waktu kita mengusir Rui dari rumah kita, Her? Ya, waktu mereka berciuman di kamar Elisa. Bukankah kau juga yang sangat keras melarang hubungan gila mereka, Her?

Kini kenapa kau malah pergi? Apa kau terlalu tua sebagai laki-laki untuk melawan asap rokok, tar, nikotin, dan embel-embel narkotika? Bodohmu sendiri! Sudah kukatakan berkali-kali, batukmu itu memburuk, Her. Kau selalu saja membantah. Kau bilang ini lah, itu lah. Kini kau lihat sendiri. Kau mati, kan?

Ah, maafkan aku. Aku terlalu emosi tadi, Her. Her, aku takut. Kini Elisa menjalin hubungan dengan Rui lagi, dengan Rui yang berbeda. Aku sendirian. Tidak ada kau sebagai rekanku menyalahkan dia. Her, Rui yang kali ini membuatku gila. Dari mulutnya selalu keluar kata-kata,’I love you.. I love you..’

Her, kulit Rui Cuma seonggok plastik. Bukan daging. Dia boneka! B-O-N-E-K-A. Matanya biru dengan mulut selalu tersenyum seolah menertawakan diriku yang menggila. Elisa selalu memeluknya. Gila! Dia mengatakan Rui itu manusia. Dia yang gila atau aku yang gila, Her? Apa aku sudah tidak bisa membedakan mana manusia dan mana boneka? Baik, akan kubuktikan padamu bahwa aku yang benar. Rui yang ini cuma boneka.

I love you.. I love you..

Her! Lihat! Dia tidak berdarah. Aku menusuknya, Her. Aku menancapkan mata pisau dapur ke lengan, leher, sampai ke bibirnya yang selalu mengeluarkan kata-kata yang membuatku hampir gila.

I love you.. I love you..

Sialan, dia berisik sekali.

I love you.. I love you..

Kurobek mulutnya, Her.

I love you.. I love you..

Kulepas baterainya. Ah, berhenti. Tenang.



Elisa pulang sekolah. Dia melihat Rui berantakan. Tubuhnya terpisah-pisah. Elisa melihat diriku memegang pisau. Her, dia bilang akan lapor polisi. Aku takut. Rui itu benar-benar boneka, kan, Her? Katakan!

Kutarik Elisa. Kutikam. Ia menangkis. Pisau menancap di lengannya. Elisa juga tidak berdarah, Her. Gila! Mana yang benar, Her? Yang mana manusia? Yang mana boneka? Elisa menjerit. Ah, itu dia. Tak lama kemudian dari tangan Elisa, darah merah berenang turun. Akhirnya. Her, anak kita benar-benar manusia. Bukan boneka.

Dia bilang akan melaporkanku. Kutikam lagi. Kali ini mati.

We are monsters
Just remember how to use a love as a weapon
To kill the other
To hurt them
Laugh when they are bleeding


Her, polisi entah dari mana, mereka datang. Tetapi aku ditolak. Dialihkan kepada seorang dokter. Dokter bilang aku harus meminum obat, tidak boleh keluar kamar. Kadang ditambah beberapa suntikan. Obat dan suntikan tidak lantas bisa membuatku tidur. Belaian dokter tampan itu yang membuatku tenang dan bisa tertidur. Aku mencintai dokter itu, Her. Dialah yang selama ini kucari-cari. Kali ini dia manusia. Her, Rui sudah menjadi dokter tomboy yang tampan.

Jumat, 06 Agustus 2010

I Will Come To You

Bangku sekolah dasar sudah lama kita tinggalkan, Antonius. Kita lulus sejak tiga belas tahun yang lalu. Sampai akhirnya kau memilih melanjutkan ke sekolah yang berbeda denganku. Tahukah kau waktu itu, sepulang sekolah hari pertamaku di bangku SLTP, aku berlari ke rumahmu. Berharap aku masih sempat mengantarmu pindah rumah.

Aku mengejar waktu, atau aku dikejar waktu? Aku gagal. Tidak sempat. Kulihat rumahmu sepi. Tidak seperti belasan tahun lalu saat kita masih sering makan siang bersama di meja kayu kecil, di rumahmu. Makan siang dengan teri dan sayur alakadarnya, tetapi semuanya kita lahap sambil bercengkerama. Padahal kalau saja ada ibumu, pasti kita dimarahi, bukan? Orang tuamu, orang tuaku, selalu menekankan 'tidak boleh makan sambil bicara'.

Belakangan, kudengar kabar tentangmu, katanya sejak kau tahu perihal aku mengejar kepindahanmu waktu itu, di mana aku tetap terlambat, kau jadi uring-uringan, Antonius? Benar begitu? Kenapa? Ada apa, Sahabatku?

When you have no light to guide you
And no one to walk beside you
I will come to you
Oh I will come to you


Waktu itu yang bisa kita lakukan hanya berhubungan via surat. Kabar-kabari antara kita cuma bisa dilakukan lewat perantaraan tukang pos. Lamban. Tidak canggih. Aku akan selalu ada untukmu, Antonius. Jangan khawatir. Aku tidak meninggalkanmu. Seberapapun jauh jaraknya.

When the night is dark and stormy
You won't have to reach out for me
I will come to you
Oh I will come to you


Jangan uring-uringan terus, Antonius. Kasihan ibumu. Kulihat kau seperti menggila. Mari, katakan padaku lewat surat ini. Ada apa denganmu? Kau frustasi? Depresi? Kau membutuhkanku, Sahabat? Aku ada untukmu. Ingat kita sahabat, bukan? Jarak bukan masalah. Bahkan hujan sekalipun, kau tidak perlu keluar mencariku, aku akan datang kepadamu.

Sometimes when all your dreams may have seen better days
And you don't know how or why, but you've lost your way
Have no fear when your tears are fallin'
I will hear your spirit callin'
And I swear I'll be there come what may


Kini kita masing-masing dua puluh lima, perjalanan masih jauh. Masih banyak tahun-tahun yang harus kita kejar, kita isi, supaya menjadi berarti. Jangan kau isi dengan kefrustasianmu yang menggila, Antonius. Kau seperti pasien pesakitan.

'Cause even if we can't be together
We'll be friends now and forever
And I swear that I'll be there come what may


Kau lihat ibumu? Ia setia menemani istirahatmu sepanjang malam. Ia khawatir padamu. Makanya ia memanggil macam-macam dokter, mulai dari dokter anak sampai dokter kejiwaan. Ia khawatir kau sakit, Antonius. Ia juga khawatir kau sudah gila cuma karena merasa kehilangan seorang sahabat, kehilangan aku.

We all need somebody we can turn to
Someone who'll always understand
So if you feel that your soul is dyin'
And you need the strength to keep tryin'
I'll reach out and take your hand


Tenanglah Antonius. Siang itu, sepulang sekolah aku yang salah. Aku berlari mengejar waktu. Berharap masih sempat mengantar kepindahanmu. Aku terlambat. Lalu aku pulang dengan kecewa. Berlari sambil menangis. Berlari, Antonius. Sampai lariku dihentikan sebuah truk sampah berwarna oranye. Aku terhempas. Sekarat. Mati. Lalu ibuku mengabarkannya kepadamu dan ibumu.

Oh I will come to you
Oh I will come to you

I will come to you,
Oh I will come to you


Tetapi tenanglah Antonius, aku selalu ada untukmu. Jangan kejang-kejang lagi. Kini sudah ada aku untukmu. Aku ada di hatimu. Aku ada di dalam tubuhmu. Aku merasuk ke dalammu. Aku bersemayam di dalammu.