Minggu, 09 Mei 2010

Ini Tentang Yani yang 'Mau' Sekolah

Sekali lagi kutegaskan bahwa aku akan berkisah dengan menggunakan kata pembuka 'dan'. Maka kisah ini pun kumulai dengan kalimat : 'Dan ini tentang Yani yang mau sekolah'.

Se-ko-lah, titik tanpa koma. Sekedar sekolah, dengan seragam putih merah yang dulu ia tinggalkan karena ibunya harus menyandang predikat janda beranak tiga, tanpa keterampilan, ditambah cambukan ekonomi yang menyerang dengan super cepat dan tak kenal ampun. Tapi Yani cuma mau sekolah. Ya, 'mau' sekolah, karena kata 'ingin' terlalu tinggi tafsirannya buat Yani yang putus sekolah.

Yani, cuma seorang anak perempuan kecil yang tinggal di rumah susun amat sangat sederhana ditambah pengap di bilangan Cilincing, Jakarta Utara. Aku mendapati dirinya yang menangis di sudut ruang kelas bimbingan belajar sederhana hasil bentukan para voulenteer yang berniat merealisasikan salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, 'mencerdaskan kehidupan bangsa'.

"Kenapa kamu?" tanyaku
"Aku mau sekolah.."
"Berapa usiamu?"
"Sembilan.."
"Sudah pernah sekolah?"
"Sudah putus di kelas satu karena ayah pergi dari rumah.."

Aku lupa apa-apa saja isi pembicaraanku dengan Yani waktu itu, dan kalaupun ingat, aku malas menceritakan kepada kalian pembicaraan lumayan panjangku bersama Yani pada pagi hari itu. Yani? Yah, kalau pagi itu aku tidak mengadakan pembicaraan saling berbaku tatap mata, mungkin aku tidak pernah mengetahui namanya. Sudah barang pasti sulit sekali menghafal satu per satu nama anak yang ada di ruangan itu, jumlahnya terlampau banyak ditambah mereka orang-orang yang baru aku temui.

Yani, ya, Yani, hari ini aku menemani dirinya untuk kepengurusannya menuju impiannya bersekolah. Halangan, hadangan, rintangan, atau apa sajalah yang menghambat niatnya, kuakui cukup banyak. Mulai dari ibunya yang tidak punya KTP dan Kartu Keluarga, juga Yani yang tidak punya Akta Kelahiran. Sepertinya takdir sudah menggariskan Yani tidak boleh sekolah.

"Kak, tapi aku mau sekolah.."

Kata 'mau' yang diucapkan Yani mempunyai dua alasan. Alasan internal dan alasan eksternal. Itu aku ketahui setelah aku sedikit bertanya ria pada dirinya. Pertama, yang internal, yang dari dalam dirinya, ia bermimpi menjadi seorang dokter handal yang mengubah pandangan masyarakat mengenai nilai moral rumah sakit di Indonesia yang super merosot. Alasan kedua, yang eksternal, yang dari luar kehendaknya, yaitu dari ibunya. Ibunya bilang,"Kamu tuh ndak usah muluk-muluk bermimpi jadi dokter, jauh banget toh? Asal bisa baca tulis juga cukup. Sing penting dengan bisa baca tulis, kamu jadi ndak gampang dibodohi laki-laki." Jadi, Yani ingin membuktikan pada ibunya bahwa perempuan pun bisa sederajat dengan kaum lelaki. Sama seperti impian Raden Ajeng Kartini pada zaman di mana wanita merupakan kaum yang dipingit.

Alasan gila yang sungguh tidak bisa diterima. Cukup baca tulis dibilang bisa bertarung melawan dunia? Bukan salah sang ibu, bukan salah Yani. Tapi keadaan ekonomi sudah seperti menjelma menjadi sosok serigala lapar yang dengan cepat menghadang, mencabik, menerkam mereka tanpa kenal ampun.

Dan karena kemiskinan itu sudah diwariskan dari generasi ke generasi oleh pemikiran yang ditanamkan kakek nenek mereka bahkan kakek nenek dari kakek nenek mereka, sama seperti kakek nenek mereka dan kakek nenek dari kakek nenek mereka mewarisi pemikiran,"Orang kecil jangan suka bermimpi. Mimpi cuma buat orang sekolahan, orang kaya."

Aku tuntun Yani dan ibunya mulai dari kepengurusan KTP sang ibu, Kartu Keluarga, dan Akta Kelahiran Yani. Sungguh bukan hal mudah. Para aparat bukan mendukung keinginan Yani untuk bersekolah malah menambah ribet dengan mempersulit kepengurusannya. "Minta surat ini... Minta surat itu..." kata seorang aparat kampung yang aku rasa tidak pernah berpanas-panas ria di jalanan. Terlihat dari perut buncitnya dan tingkahnya yang gelagapan waktu kami baru tiba di rumahnya. Ia kelihatan panik karena kedapatan masih tidur, padahal hari sudah siang. Gila! Bagaimana mungkin seorang pedagang asongan bisa bangun lebih pagi dan bekerja lebih sibuk dari seorang yang katanya pemuka kampung, yang katanya pemimpin kampung, yang katanya punya jabatan di kampung. Bukankah seharusnya semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin sibuk dan berat tanggung jawabnya?

Tapi Yani tidak mengeluhkan itu, sekali lagi Yani cuma 'mau' sekolah. Jadi masa bodohlah dengan pejabat kampung yang buncit itu.

Dan hari ini aku, Yani, dan si ibu, masih menunggu penyelesaian pengurusan dokumen-dokumen diri tadi, sebelum aku mengajukan permohonan pada leader yang menaungi bentukan badan sosial tempat aku berkiprah, untuk kemudian ia mengucurkan dana tunai demi untuk Yani bersekolah.

Yani, bermimpilah seenak-enaknya dan sebebas-bebasnya! Karena mimpi bukan benda yang dapat dibeli dengan uang si kaya, tetapi dibayar dengan jerih dan perih yang dilawan dengan gigih meski pedih dan sedih. Ketahuilah mimpi menghadirkan titik horison utopia yang indah. Ingatlah betapa aku selalu memperhatikanmu selayak bunga matahari, dan tak akan kubiarkan kau sekali-sekali terbang tanpa sayapmu terkepak penuh.


-Cilincing, 29 April 2010


1 komentar:

Meitta Lim mengatakan...

LOVEEEE this one...