Sabtu, 25 September 2010

Psycho's IQ

Psikiater sudah mempersiapkan sebuah pertanyaan untuk pasangan muda-mudi itu. Rania dan Rofi, sepasang kekasih yang memperdebatkan siapa yang psikopat di antara mereka. Rania ngotot bahwa kekasihnya itu mengidap gangguan kejiwaan.

"Dia ini gila, Dok!" protes Rania kepada psikiater di hadapan mereka.

"Tidak! Dia yang abnormal, Dok!" Rofi tidak mau kalah.

"Baik, baik. Tenanglah kalian." Pinta sang psikiater.

"Aku sudah mempersiapkan sebuah pertanyaan untuk kalian. Dari situlah aku akan mengetahui kejiwaan kalian."

"Ayo mulai, Dok." ujar Rania.

"Begini.. Ada sepasang kakak beradik. Sang kakak sangat menyayangi adiknya. Suatu hari ibu mereka meninggal dan dimakamkan. Pada hari pemakaman itu, mereka bertemu dengan seorang pemuda tampan. Mereka jatuh cinta pada pemuda itu. Sayangnya mereka tidak tahu siapa pemuda tampan itu. Mereka tidak mengenalnya. Selang beberapa bulan kemudian, sang adik meninggal. Ia dibunuh oleh kakaknya. Nah, bila kalian berada di posisi sang kakak, kira-kira apa alasan kalian membunuh sang adik?"

"Aku? Kalau aku menjadi si kakak, paling-paling alasannya hanya karena berebutan cinta pemuda tampan itu, Dok." Rofi memberikan jawabannya.

"Lalu bagaimana denganmu, Rania?" Tanya sang psikiater.

"Kalau aku menjadi si kakak, aku membunuh adikku itu karena ingin bertemu lagi dengan pemuda tampan itu. Itu alasanku. Aku rela melakukan apapun agar bertemu dengan pemuda itu lagi."


Menteng, 2010
Pertanyaan yang diajukan kepadaku oleh seorang kawanku, Ervana.

Romansa

Dari bibirnya keluar rentetan nada yang disusun dari perpaduan kata-kata penuh romantisme. Dia memang ahlinya meramu kata menjadi romansa. Dari hobi sekedar membuat coret-coretan di buku catatan sekolahnya dulu, kini ia mampu menjadi pujangga yang masuk jajaran musisi tanah air. Vokalis band ternama. Syairnya kali ini keluar langsung dari mulutnya, murni, tanpa proses editing teknologi studio. Suaranya hanya diiringi gitar biasa.

"Tak sadarkah dirimu,
kesetiaanku kau balas dusta.."


Liriknya sederhana, tetapi ia mampu membawakannya sedemikian rupa sehingga Rania, perempuan yang kini di hadapannya semakin mengaguminya. Ia menganggap Rofi adalah lelaki idamannya. Ya, dia sangat mengidamkan kekasih yang romantis.

"Lirikmu sederhana, tapi indah." Rania berkomentar setelah Rofi menyelesaikan bagian akhir lagunya.
"Oh ya?"
"Ya. Pengalaman pribadi?"
"Tidak juga."
"Lalu?"
"Pengalaman istriku tepatnya."
"Maksudmu?"
"Aku memperlakukan istriku demikian agar aku mendapatkan inspirasi untuk membuat lagu melankolis."

Rabu, 15 September 2010

Semut

Sepasang kakak beradik sedang bermain di halaman rumahnya. Si adik sedang asyik mengumpulkan semut-semut hitam ke dalam sebuah toples. Hari semakin sore, toples semakin berisi semut-semut.

“Kak, mari kita bunuh semut-semut ini. Pasti mengasyikkan!” ajak si adik kepada kakaknya yang lebih tua setahun.

“Tidak, itu kejam.” jawab si kakak.

“Yah....”

“Hei, aku tahu sesuatu yang menarik! Kemarikan toples-mu itu!”

Segera si kakak memerintahkan adiknya untuk membantunya mencabuti setiap sungut yang terdapat pada setiap semut-semut itu satu per satu.

“Lalu apanya yang menarik, Kak?”

“Lihat saja.”

Si kakak memasukkan semua semut yang sudah dicabuti sungutnya ke dalam sebuah ember. Seketika semut-semut itu saling mendekat kemudian saling gigit,
sampai mati…


-devide et impera

Selasa, 14 September 2010

Tentang Agama

Suatu hari yang entah, aku diperingatkan bahwa agama entah apapun, seibaratnya sebuah lampu lalu lintas di sebuah persimpangan jalan yang rawan dan rentan.

Suatu hari tanpa aku sadari, tanpa adanya lampu lalu lintas, sudah barang tentu tabrakan lenting sempurna terjadi setiap hari atau bahkan setiap setengah hari, kalau perlu setiap setengah jam!

Demikian pula baik yang Nasrani, baik yang Sufi, baik yang Vishnu, baik yang Buddhist, adalah seumpama sebuah lampu lalu lintas dalam kehidupan realita, semisal pegangan dalam persimpangan hidup.

Sampai ketika kau temukan persimpangan yang rentan, yang rawan, tanpa panduan, maka sudah barang tentu kau akan alami 'tabrakan lenting super sempurna' bagi buat hidupmu.

Minggu, 12 September 2010

Tentang Hati Seorang Pembunuh

"Kamu membunuh?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Bisa apa aku dalam posisiku waktu itu?"

Dia bercerita tentang sebuah pelayarannya sebagai kapten kapal di perairan India. Waktu itu, ia berdebat dengan seorang awak kapal. Entah permasalahannya apa, dia hanya mengatakannya sebagai masalah sepele. Tetapi seperti yang semua orang tahu, begitu lama di lautan dan jarang berjumpa dengan keluarga, membuat hati para pelaut mudah terbakar. Oleh karena itu para pelaut sering dicap sebagai orang yang kasar. Awak kapal itu mengatakan bahwa dia bisa menjadi kapten yang lebih baik daripada dirinya. Awak kapal itu mengancamnya dengan sebilah pisau. Dia terpojok.

Awak kapal itu menghunuskan pisau itu ke arah perutnya. Dia berhasil mengelak dan membalikkan mata pisau. Darah bercucuran. Awak kapal itu tertusuk sendiri oleh pisau yang dipegangnya.

Tidak lama setelah kebingungan panjang, tibalah waktu kapal itu menepi. Pihak kepolisian India mengusut kasusnya dan menghubungi pihak kepolisian Indonesia. Ia dijemput oleh Mabes POLRI. Dua bulan mendekam di tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, ia dioper ke Rumah Tahanan.

Dia masuk sebagai tahanan baru. Aku kepala kamarnya. Kami berbicara satu sama lain. Ia membicarakan ketidakadilan bagi kaum yang terpojok. Ia mengeluhkan betapa dirinya bagai telur di ujung tanduk. Apabila dia membiarkan tubuhnya pasrah menerima pisau itu, maka dia yang mati. Kali ini keadaannya sebaliknya, awak kapal yang meninggal itu berasal dari keluarga kaya raya. Keluarganya menuntut dan mengerahkan belasan pengacara. Dia hanya bisa pasrah menanti hasil persidangan mendatang.

"Lalu kamu membunuh supaya tidak dibunuh?"
"Ya."

Jakarta, 2009