Selasa, 08 Juni 2010

Mal Praktik

Tiba-tiba saja malam menabraknya. Tadinya rumah itu sudah senyap. Sudah sunyi tanpa bunyi. Tati mendadak menjerit-jerit tidak karuan. Tangannya meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari ikatan tambang yang mengikat erat kedua tangannya di ujung ranjang. Ayahnya masuk kamar disusul ibunya.

"Dia kambuh lagi, Bu!"

"Cepat bius lagi. Tambahkan dosisnya!"

"Kemarikan suntikannya!"

Aku masih mengejang ke kiri ke kanan, sambil melihat mereka menyiapkan jarum suntik berisi cairan yang katanya penenang saraf, peredam skizofrenia. Setahuku, mereka juga tidak tahu obat apa itu sebenarnya. Toh, mereka hanya mengikuti petunjuk Hartono, dokter muda yang menanganiku tempo hari. Tapi ya sudahlah, aku sudah terbiasa dengan semuanya. Mulai dari Hartono sampai jarum suntik. Aku sudah hafal betul ritual yang dilakukan ayah ibu setiap akan menyuntikku. Olesan alkohol, kain kapas, dan cus.. jarum suntik. Aku tertidur. Mereka tidak tahu itu obat apa. Mereka cuma tahu itu penenang saraf.

***

Pagi-paginya aku terbangun, kulihat ayah dan ibu sibuk mengepakkan barang-barangku. Aneh, tidak seperti biasanya, hari ini seperti terburu-buru sekali. Bahkan sepertinya mereka tidak sadar kalau yang mereka bawa cuma pakaian tidurku saja. Aku mau dibawa kemana? Pakaian andalanku kenapa tidak dibawa? Hei, jawab aku.

"Pak, aku masukkan semua ini ke mobil, kamu gendong dia ke mobil ya?" kata ibu.

"Ya sudah. Sana cepat waktu kita tidak banyak. Hartono sudah menunggu."

***

Di mobil, ibu duduk di depan di sebelah ayah yang menyetir. Berkali-kali kulihat ibu menengok ke belakang, melihat keadaanku yang kurasa baik-baik saja.

"Pak! Matanya.. matanya..!" teriak ibu.

"Kenapa matanya?"

"Matanya menangis!"

"Mana? Tidak ada air matanya!"

Ayah segera mengerem, menghentikan laju mobil yang kami tumpangi. Ibu pindah ke kursi belakang, lalu menggerak-gerakkan tubuhku sambil ia menggigit bibirnya sendiri. Kulihat matanya mulai berlinang air mata ketakutan yang berenang bebas keluar dari retina matanya. Sementara ayah, kulihat ayah sedang sibuk menelepon, sepertinya ambulans. Dari wajahnya kutangkap aura kebencian, dendam, kecewa, dan penyesalan. Entah karena apa. Aku waktu itu sudah terlalu sulit untuk bisa berpikir berat. Kupalingkan pandanganku pada ibu. Ibu menjerit-jeritkan sebuah nama dengan embel-embel umpatan,"Hartono! Sialan kau!"

Tidak ada komentar: