Selasa, 19 April 2011

Tentang Sebuah Perubahan

Aku akan menceritakan tentang sebuah teorema lama dari Bapak Darwin yang mana pernah ada sepotong waktu, dahulu, di mana semua jerapah memiliki leher yang pendek. Kemudian, seiring berjalannya waktu, perubahan pun terjadi. Alam memutuskan kehendaknya bahwa semua pohon harus tumbuh ke atas, semakin tinggi dan meninggi.

Jerapah yang ingin bertahan hidup, yang ingin bisa mendapatkan makanannya harus mau dan mampu membiasakan diri dengan kondisi pepohonan yang meninggi. Beberapa dari mereka tentu saja berkata,"Lebih baik keadaan yang dulu."

Beberapa jerapah berleher pendek harus mau menarik segenap ototnya untuk bergerak ke atas, memanjangkan lehernya. Mereka adalah jerapah yang ingin melihat maksud, tujuan, dan akhir dari perubahan itu.

Pada akhirnya seleksi alam berbicara, bahwa jerapah berevolusi menjadi berleher panjang. Sementara itu, jerapah berleher pendek musnah dan mati satu per satu. Bukan karena perubahan maupun situasi alam yang kejam, tetapi karena jerapah tersebut tidak memperjuangkan hidupnya sendiri.

Segala perubahan diadakan untuk memperbaiki keadaan meski sekarang kelihatannya tidak demikian, meski kini belum terlihat, dan meski kini hanya terlihat seperti benang kusut yang bergerak serabutan dan berjuang memperebutkan. Tetapi akhir dari semua perubahan ini akan menjadi jelas. Pada akhirnya semua yang mau menyelesaikannya akan melihat tujuan dan maksud perubahan itu, kemudian dengan merasakan jantung berdetak dan raga bergerak, mengarah ke depan dengan penuh harapan, mereka akan berkata,"Jadi, inilah tujuan dari perubahan itu selama ini? Sempurna."

Ingatlah, bukan soal kemampuanmu melewati masa-masa menyakitkan untuk menyelesaikan perubahan itu, tetapi soal bagaimana kamu mampu membawa semua teman-temanmu menyelesaikan perubahan itu, sampai akhirnya semua menjadi jerapah berleher panjang.

Senin, 18 April 2011

Trivial : Untukmu, Tahyudin

Silahkan klik link berikut sebelum membaca trivial yang kutulis di bawah ini, Back Office : February 2011.

Aku katakan kepada kalian yang berkali-kali menginginkan kejatuhanku. Aku ingin bercerita sedikit bagaimana Tuhan membentuk dan mendaur ulang hidupku. Dia mengizinkan kakiku terancam sebuah pistol berisi peluru timah panas, Dia mengizinkan kepalaku harus bocor dan mengucurkan darah akibat pemukulan stik golf oleh seorang pria berseragam, Dia juga mengizinkanku mengenal beberapa orang yang kehilangan makna hidup mereka tetapi bersemangat untuk kembali menemukan jalan hidup mereka. Tuhan memberikan segala cobaan-cobaan yang bersifat sementara itu hanya agar aku mampu membentuk karakter secara permanen.

Dan atas apa yang kalian lakukan kepadaku, percayalah, aku sekalipun tidak mengharapkan kalian terjatuh. Aku mengasihi kalian sebagaimana Tuhan mengasihiku. Tetapi aku ingin kalian mengerti, tidak perlu terburu-buru mengusirku. Aku akan pergi sendiri dan kembali kepada mereka yang menaruh cita-cita dan harapan besar tentang sebuah impian bukan-bukan yang mereka dan aku ciptakan.

Tenanglah, Kawan. Aku hanya ingin menyelesaikan tujuanku, kisahku. Kelak ketika aku menamatkan semua kisah ini, aku akan berhenti memainkan tokohku sekarang. Aku akan pergi dengan sendirinya. Kembali kepada sekumpulan kawan dengan ketulusan dan sebuah kepercayaan tanpa batas mereka untukku. Jika kelak saat itu tiba, maka aku akan memiliki sebuah kisah yang dapat kubagi dengan anak-anakku di sana, yang juga merupakan sebuah kebenaran akan pernyataanku tempo lalu kepada kalian, bahwa tujuan hidupku bukan pada kesuksesan, tetapi pada pencapaian sebuah nilai kemanusiaan yang nyaris hilang dari muka bumi.

Lalu apabila sudah tiba waktunya, aku akan mengatakan kepada seorang rekanku, yang kusebutkan namanya dalam trivialku terdahulu, Tata,"Aku bangga melihatmu. Nilai-nilai itu sudah kamu lakukan, bukan kamu umbarkan. Capailah nilai-nilaimu, meski kelak tanpa lagi aku."

Mengapa aku bangga kepadanya? Kalian yang tidak mengenalnya tidak akan pernah tahu. Tata hanya seorang Office Boy, tetapi jiwanya melebihi jabatan yang melekat pada dirinya. Berkali-kali dia menunjukkan nilai ketulusan dan keikhlasan dalam bekerja. Mereka tidak tahu mengenai dirinya, tetapi aku tahu persis bagaimana ia memaksakan diri untuk bekerja meski menahan sakit yang sedang menyerangnya. Bagaimana ia tidak ingin tempatnya bekerja kerepotan karena kekurangan tenaga. Dan aku bangga atas itu, sebab segala hal yang dilakukannya adalah tanpa keluhan maupun tuntutan.

Bukan seberapa tinggi jabatanmu, tetapi seberapa tinggi nilai yang kamu junjung untuk mencitrakan jabatan itu sendiri.

"Studying, working, and loving is like playing the piano. When you play it just based on the manual book, it will sound like as it should. But when you play it with your feeling, it will sound endearing."

Belajar, bekerja, dan mencintai adalah seperti bermain piano. Saat kau memainkannya berdasarkan buku pandu, maka akan terdengar sebagaimana mestinya. Tapi saat kau memainkannya dengan perasaan, akan terdengar menawan.

Jakarta, 18 April 2011

Rabu, 13 April 2011

Pelangi untuk Regista, Il Capitano


Pernahkah kalian menemukan kejadian seperti ini saat menonton tayangan pertandingan sepak bola? Seorang kapten menghampiri pelatihnya dan berkata,"Masukkan dia!" Pernahkah? Apakah kalian mengerti siapa yang dimaksud dengan 'dia'?

Dia adalah pemain yang nyaris tidak pernah masuk ke dalam daftar pemain utama. Dia pemain spesialis cadangan yang baru akan dimasukkan ke dalam skuad inti jika sang pelatih merasa kehabisan akal dan strategi dalam menghadapi kesebelasan lawan. Saat itulah pemain cadangan itu akan dimasukkan untuk memvisualisasikan imajinasinya, dan dari imajinasinya itulah diharapkan terjadi perubahan, dari kekalahan menjadi kemenangan. Dialah Fantasista.

Orang-orang Italia percaya bahwa Fantasista adalah mereka yang mampu memberikan perasaan berdebar kepada para penontonnya ketika menyaksikan pertandingan yang dilakoninya. Para penggila sepak bola itu rela merogoh kocek mereka untuk membeli tiket demi menyaksikan Fantasista mereka beraksi. Satu hal dalam hati mereka, yaitu sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak mereka setiap menyaksikan Fantasista itu beraksi,"Permainan macam apa yang akan kau perlihatkan hari ini, Fantasista?"

Namun, banyak orang yang tidak mengerti. Fantasista tidak lebih dari sekadar pelangi yang bisa kehilangan keindahannya. Fantasista yang telah kehilangan keajaibannya tidak lebih dari sekadar pemain kelas cadangan biasa. Tidak berguna. Fantasista ibarat binatang liar yang harus ditundukkan seorang pawang dengan memberinya kepercayaan untuk melahirkan keajaiban lewat gerakan serabutannya, seorang pengendali dan pengatur yang mampu memasukkan keajaiban sebagai unsur cadangan ke dalam perhitungan matangnya. Dan pawang dengan bakat tanpa batas seperti itu dinamakan Regista, Il Capitano.

Seorang Fantasista sulit sekali mendapatkan kepercayaan dari orang lain sebab pemikirannya yang bukan-bukan dan cenderung tidak wajar. Karena itulah dia akan memberikan dan mempertaruhkan segala keajaiban imajinasinya hanya untuk seorang Regista.

Dalam dunia modern, sosok Regista dianggap vital dalam membawa timnya menuju tangga kemenangan, sebab ia memiliki visi yang tajam dan pertimbangan berdasarkan perhitungan yang matang. Baginya, keberuntungan hanyalah akibat dari kesalahan perhitungan yang masih bisa ditoleransi.

Antara Fantasista dan Regista ada satu perbedaan yang mendasar dan membuatnya terlihat paradoks atau bertentangan, yaitu seorang Regista selalu mampu menapaki lahan yang semakin tinggi oleh karena ia mampu memberikan penjabaran yang baik kepada orang lain sebelum mengambil keputusan dan bertindak. Sedangkan Fantasista, seperti pelangi yang bisa kehilangan keindahannya sewaktu-waktu, demikian pula seorang Fantasista bisa saja kehilangan keajaibannya ketika ia mendapati kenyataan bahwa Regista yang telah memberinya tempat harus segera berangkat menuju lahan yang lebih tinggi.

Masyarakat Italia menyebut Fantasista sebagai l'arcobaleno atau 'Sang Pelangi' dengan nilai keindahan yang bisa pudar sewaktu-waktu, dan mereka menyebut Regista sebagai Il Capitano atau 'Sang Kapten'.

Jadi, sosok mana yang merasuk di dalam diri kalian ketika melakoni kehidupan kalian dalam dunia pekerjaan atau dunia apapun yang milik kalian? Aku hanya ingin menjadi seorang Fantasista untuk satu orang Regista, sama seperti Hattori Hanzo, ninja Iga yang terkenal sepanjang zaman hingga diabadikan kisah-kisah komik maupun filmnya, tentang seorang ninja yang setia mempertaruhkan nyawanya demi kejayaan Tokugawa Ieyasu.


Jakarta, 13 April 2011

Selasa, 12 April 2011

What Did You Know?

Seorang mengatakan bahwa hidup tidak pernah memberinya pilihan, yang lain berkata bahwa hidupnya selalu ditabrak kemalangan. Sementara sebagian lagi mengeluh kesahkan perihal sekolahnya sampai ada yang membahas rumah tangganya. Semuanya bercerita seolah mereka makhluk paling sial di dunia. Tanpa keberuntungan sedikit pun. Seolah Fortuna sudah sejak lama membenci mereka.

Lalu apa yang kalian rasakan jika kalian nyaris gila karena hidup menuntut kalian untuk melahirkan tujuan sementara kalian kehilangan media untuk menggapainya. Seperti kisah Beethoven yang mendadak tuli sebelum ia melahirkan Fur Elise. Jika kalian menjadi dia, apakah Fur Elise akan lahir? Atau hanya akan menjadi malaikat maut yang terjebak di dalam kotak musik?

Apa yang terjadi kepada kalian jika kalian menjadi seorang Leonardo da Vinci yang mendapati bahwa ruang penyimpanan lukisannya dilalap api kebakaran? Apakah La Gioconda Monalisa akan lahir? Apakah The Last Supper akan dipamerkan di ruang-ruang kesenian negara?

Apa yang kalian tahu tentang aku? Selain dari percakapan-percakapan imajiner kita? Seperti seorang anak laki-laki yang mengisi hidupnya dengan debaran? Atau sebaliknya, seorang anak yang menghabiskan hidupnya tanpa impian?

Kukatakan satu hal padamu, Kawan. Sungguhpun aku ingin sekali untuk bisa melihat dunia secara penuh seperti yang bisa kalian semua lakukan, melihat matahari dengan penglihatan sempurna dari mata kiri dan kanan. Tetapi Tuhan telah sejak lama membutakan mata kiriku. Sungguh aku sempat menaruh kecewa kepadaNya. Namun, aku mengerti bahwa semua diizinkanNya terjadi demikian adalah sudah seturut rencana dan kehendakNya saja di bumi seperti di dalam Surga. Dia mematikan mata kiriku karena Ia telah lama memperhatikan sosok iblis di dalamnya dan Ia tidak menghendaki hal itu terjadi di dalam diriku.

Jakarta, 12 April 2011

Minggu, 03 April 2011

Surat-surat Penyapu Jalan

Ini hari ketujuhku sebagai penyapu jalan. Aku menemukan banyak keping kehidupan yang dibuang di jalan-jalan ini. Ada kegundahan, kekhawatiran, kesedihan, keputus asaan, dan yang ironis adalah ketakutan manusia menyatakan cinta. Ya, seperti surat lecek yang kutemukan di trotoar barusan ini. Penulisnya pasti sangat dangkal. Dia terlalu takut menyatakan perasaannya. Dia takut kehilangan sehingga ia memilih tidak memulai. Seperti drama dalam sinetron saja.

Aku mencintai bukan untuk melukai. Aku mencintai karena aku mengagumi dan ingin selalu memahami. Tetapi semuanya akan hilang ketika aku mencoba menyampaikannya. Ini suratku yang kedua yang barangkali kutulis lantas kubuang begitu saja tepat ketika kububuhkan tanda titik pada kalimat terakhirnya.

Aku tidak mengerti bahasa orang atas. Sebagai penyapu jalan, aku hanya mengerti bahwa cinta bukanlah cinta sebelum ia dipersembahkan. Cukup sampaikan, lalu cukup lihat bagaimana nantinya. Apakah akan mendapat jawaban yang menyenangkan atau menyakitkan, itu urusan belakangan.

Aku tidak mengerti bahasa orang sekolahan yang memasukkan cinta ke dalam rumus pemasukan dikurang pengeluaran dikurang biaya cinta lebih kecil dari mapan sama dengan bunuh diri. Masa bodoh dengan itu. Aku dan istriku hidup dari memulung sampah, menyapu sampah, tetapi cinta kami seperti sampah yang sukses didaur ulang, terasa sangat mahal nilainya. Masa bodoh dengan rumus matematika kehidupan dan percintaan.

Terakhir kali aku mendengar sebuah lagu lewat radio usang yang kupungut dari tong sampah rumah orang kaya di blok seberang, kalau tidak salah penyiarnya sempat mengucapkan 'Janet Jackson', kuanggap itu nama penyanyinya. Dia melantunkan sebuah lirik yang indah, begitu menurut penyiarnya yang kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, sebab aku tidak mengerti bahasa lain selain itu :

"Doesn't really matter what the eye is seeing, 'cause i'm in love with the inner being." -Janet Jackson
"Tidak peduli apa yang dilihat mata, karena aku jatuh cinta pada yang di dalam hati."


Jakarta, 3 April 2011