Sabtu, 24 Juli 2010

Rindu

Waktu yang kutitipkan pada sebuah arloji tua pemberianmu dulu, kini memanggil-manggil dengan suara keras. Katanya sudah pagi. Tetapi kali ini aku tidak melihat lagi dirimu di sebelah tidurku seperti tempo lalu. Aku kehilangan kamu, dirimu, sosokmu. Aku merindukanmu, Ibu.

Kenangan sebelum kau pergi dari hidupku, yang kuingat hanya saat kau memandikan aku, menyisir rambutku, membelainya kemudian. Aku ingat bagaimana kau dengan lembut membaringkan aku dalam pangkuanmu, baru kemudian kau menidurkan aku dalam kasur kayu. Terakhir, kau menutup petinya. Aku rindu padamu, Ibu. Selamat tinggal.

Jumat, 09 Juli 2010

Ben?

Gadis muda di depan meja kayu kecil. Diletakkannya mangkuk berisi kembang tujuh rupa. Lilin dinyalakan, dua batang. Dibakarnya kemenyan. Aroma mendesak ke seisi ruangan. Rokok kretek? Tidak. Ben tidak merokok. "Makan malam ini sungguh romantis, Ben?" tanya gadis muda pada kekasihnya, Ben.

"Agak gothic menurutku." jawab Ben singkat dan padat.

"Ben?"

"Ya?"

"Kau tahu, aku suka pria romantis. Aku cinta romansa, Ben."

"Lalu?"

"Emm, bila aku naik kapal pesiar bersamamu. Lalu kapal itu tenggelam. Apa kau akan menolongku?"

"Tidak."

"Ben!"

"Sudah kujawab. Tidak."

"Kenapa?"

"Aku ingin kau cepat-cepat mati, lalu menyusulku ke sini."

"Ben.."

Gadis muda mematikan lilin. Mangkuk berisi bunga dan sesajen berupa bakaran kemenyan dibereskan. Ritual selesai.

Rabu, 07 Juli 2010

JK, Pencuri Nyawa

Buang jauh-jauh nama Emir. Di sini aku bercerita tentang seorang yang lain. Sebut saja namanya JK. Hei, bukannya aku tidak bisa menuliskan nama lengkapnya, tapi aku takut! Bagaimana kalau dia hadir dalam ketidakhadirannya sebagai salah satu dari kalian yang membaca catatanku ini? Silahkan kalian bilang aku pengecut. Asal kalian tahu, JK adalah seorang brengos elegan yang namanya sangat santer di kalangan kriminalis manapun. Terutama kriminalis yang bergerak di bidang pencabutan nyawa, pembunuhan!

***

Tiga detik lagi kalau aku terlambat memanjat pagar kawat di ujung gang sempit malam itu, aku sudah barang pasti menjadi boneka pelampiasan naluri membunuh JK. Dia salah paham. Aku sama sekali tidak tahu kalau psikotropika yang malam itu kubawa sudah diketahui polisi. Sungguh, aku tidak tahu menahu, JK! Danny telah menjebakku! Menjebak kita!

Danny, adik kandung JK, mewarisi dengan baik teknik membunuh aliran super sadis milik kakaknya. Danny yang menurutku sengaja menjebak kami malam itu, ingin menjebloskan kakaknya ke penjara lalu menghabisinya di dalam. Ya, lewat orang suruhannya yang mendekam di sana tentunya. Danny ingin menggeser posisi kakaknya sebagai penyandang gelar Raja Tiga Empat Puluh dalam kalangan dunia kriminalis. Raja pembunuhan berencana.

Bagi Danny, asal JK sudah mendekam di dalam Rumah Tahanan, adalah mudah bagi dirinya untuk menghabisi nyawa kakaknya itu. Di sana, JK tidak akan dijaga seketat di luar penjara oleh anak buahnya. Kau tahu JK, malam itu dengan siapapun kau bertransaksi, Danny memang sudah menyadapmu! Sasarannya bukan aku, tapi kau, JK.

Aku tidak bisa terus-terusan hidup seperti tikus tanah yang selalu bersembunyi di siang hari. Kuputar otak. Aku ingat Yahya, spesialis perampokan. Kuhubungi dia. Kuperintahkan dia menghancurkan JK dan Danny. Gagal. Yahya kalah total. JK terlalu kuat. Kekalahanku semakin membuat situasinya bertambah runyam. Nafsu JK untuk memburuku meningkat. Dia menggila!

Dan aku? Masih hidup sebagai tikus tanah yang bersembunyi dari siang. Apa yang bisa kulakukan selain membaca surat kabar setiap pagi, berharap halaman depannya berjudul : 'JK Ditangkap'?


Jakarta, 2008

Senin, 05 Juli 2010

Sikat Gigi

Dingin. Selimut ditarik. Baru hangat sebentar, terpaksa disingkirkan lagi dari badan. Sudah pagi, nyaris telat, sebentar lagi. Bangkit berdiri. Mata masih menyipit, tangan meraba-raba saklar lampu, mencari-cari.

Ah, ketemu..

Lampu menyala, mata tetap menyipit. Semakin sipit malah. Belum siap kena cahaya, sepertinya. Lanjut melangkah menuju kamar mandi. Kali ini tangan menggaruk-garuk kepala dengan rambut yang mengacak liar. Jadi semakin acak dan semakin liar. Putar kran, air mengucur keluar, ditampung di gelas. Suara air dikumur dalam mulut menggema di kamar mandi. Air kumuran dimuntahkan kembali. Tangan kanan mengambil sikat gigi, dioleskan pasta gigi. Kali ini suara gigi beradu dengan sikat. Selesai, akhirnya. Diam sejenak, di depan cermin.

Otak diputar mencoba mengingat-ingat di mana semalam terakhir kusimpan ponsel, sambil tangan merogoh-rogoh ke kantong celana.

Ketemu, no message..

Kali ini berbeda dengan kemarin. Tidak ada pesan di pagi hari. Hampa. Sangat rindu saat-saat di mana pesan-pesanmu menyambut pagiku dengan ucapan : 'selamat pagi, sudah bangun?'

Plok! kedua tangan ditepukkan ke pipi, yang kiri juga yang kanan. Sadar, sadar. Cerita lama, tidak boleh dijadikan drama. Ingat, sudah pagi, nyaris telat, sebentar lagi.

Sabtu, 03 Juli 2010

Everything is Mine

Aku tidak pernah mau peduli apa yang mereka katakan padamu, Ana. Mereka mau bilang kau adalah wanita murahan paling murah sekalipun, aku tidak peduli. Aku tetap cinta kamu. Pernah suatu kali, aku mendengar beberapa lelaki yang kau putuskan dari status sebagai pacarmu, tengah berkumpul, berbisik-bisik satu sama lain. Ternyata mereka sedang membicarakanmu sambil menatapku yang tengah melintas di depan mereka. Mereka hanya iri padaku. Iri pada kecantikanmu, Ana.

Kau masih ingat om-om setengah baya yang kau campakkan karena usahanya di ambang kebangkrutan, Ana? Kalau tidak salah ingat, namanya Om Hardi. Tadi sore aku melihatnya, sambil memegangi perutnya yang buncit itu, dia mencibir aku, Ana. Ia menjelek-jelekkan namamu. Ia tidak terima kau meninggalkannya begitu saja hanya karena usahanya bangkrut. Tapi aku tidak mau ambil pusing mendengarkannya, Ana. Aku terlalu mencintai dirimu.

Aku dan Ana berjalan di sebuah pusat perbelanjaan yang ramai oleh anak-anak muda. Lalu aku memilih untuk menghabiskan hari ini bersama Ana dengan minum kopi di salah satu cafe yang ada di situ. Dari jendela yang tembus ke parkiran depan, anak muda tampan yang kelihatannya sangat kaya sedang memposisikan BMW-nya, dipandu seorang tukang parkir. Perhatikan, Ana. Berondong di depan kita itu bukan berondong sembarangan. Lekas pikat dia, Ana! Uang tabungan kita sudah hampir habis.

Setelah polesan bedak ditambah lipstik secukupnya sudah kupastikan membuat wajahku kelihatan cantik sempurna, segera aku melangkah keluar dari cafe, menuju ke parkiran mobil. Kuhampiri anak muda tadi.

”Sendirian? Kenalin, Ana.” ujarku sambil menjulurkan tangan, mengumbar senyuman terseksi yang kumiliki.

Jumat, 02 Juli 2010

Kamar Mandi

Cerita ini kumulai dengan terdengarnya suara air dari kamar mandi, lalu hilang bersamaan kran ditutup. Kemudian disusul suara gigi dan sikat yang beradu. Aku menggosok gigi sambil memikirkan reportasi berita yang kuliput hari ini. Berita kematian seorang reporter yang terjun dari atap gedung tinggi di bilangan Jakarta Pusat. Alasannya cuma satu, istrinya selingkuh.

Kuharap berita yang kutulis ini akan menggugah hati pimpinan redaksi dan para pimpinan-pimpinan lainnya untuk mempertimbangkan keeksisanku di antara mereka. Keberadaanku diakui. Aku ada dan tidak mengecewakan.

Sayang sekali. Dari segi rupa, si reporter tidak buruk. Termasuk kelas tampan dan mapan. Nama lain predikat yang melekat pada dirinya adalah seorang eksekutif muda. Dua distro dan dua resto sudah dilakoninya dengan gemilang. Otaknya cemerlang untuk urusan strategi bisnis. Si reporter juga lancar mencari ide-ide brilian untuk mempercepat pencapaian break event point bisnis yang dirintisnya. Cuma selang tidak sampai satu tahun sejak membuka distro pertamanya, dia berhasil melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka restonya yang pertama. Lalu distro kedua, baru resto kedua. Karirnya sebagai reporter cuma karena lantaran jiwa petualangnya yang selalu melulu minta dituntaskan. Sekarang semuanya dianggap apa? Malah bunuh diri.

Aku tidak habis pikir bagaimana sang istri bisa selingkuh. Semua kebutuhannya dipenuhi, dari materi sampai urusan ranjang. 'Mau apa lagi dia?' tanpa sadar aku malah mengumpat sendiri.

Aku melihat ke muka kaca. Aku tidak lagi mendapati wajahku di dalam kaca. Hanya ada pantulan istriku yang baru masuk ke dalam kamar mandi ini, sambil mengusap-usap wajahnya, menyeka air matanya. Berkali-kali ia menyebut namaku dan menyesali perselingkuhannya. Suara air mengucur dari kran kamar mandi. Suara itu menghilang bersamaan dengan kran ditutup.