Rabu, 23 Maret 2011

Fadillah

"Memang kita sedang apa, Ayah?" aku yang waktu itu masih duduk di bangku kelas tiga SD bertanya kepada ayahku yang sedang sibuk berbicara dengan seorang petugas berseragam.
"Mengurus paspor-mu, kamu harus dioperasi."
"Apa itu operasi? Untuk apa?"
Ayah tidak menjawab.

***

Hari ini aku merasa pusing. Bukan. Bukan karena pelajaran matematika kelas tiga SD yang sedang dijelaskan oleh ibu guru. Aku tidak bisa memfokuskan mataku pada papan tulis. Pandanganku kabur, sampai akhirnya aku ambruk. Ibu guru wali kelasku, Ibu Christine membawaku ke UKS Sekolah.

Beberapa jam kemudian aku siuman. Aku ditanyai macam-macam. Aku tidak menjawab. Aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku, tetapi aku tidak tahu apa itu. Ah, ketemu! Aku baru menyadari, pandanganku tidak penuh! Hanya sebelah! Oh, Tuhan, kenapa ini? Ada apa dengan mataku?

Aku mencoba menutup mata kiriku, membiarkan diriku melihat hanya dengan sebelah mata kanan saja. Tidak ada masalah. Kini kuberanikan diriku menutup mata kananku. Tidak! Apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat! Mata kiriku buta!

Ibu penjaga UKS kebingungan melihat tingkah panikku. Dia memegangiku, kemudian memelukku, seolah dia tahu apa yang sedang terjadi di sini.

Ibu Christine langsung menghubungi orang tuaku, aku dipulangkan. Ia menceritakan kejadiannya kepada ibuku. Mata kiriku ternyata bukan buta, tetapi tidak berfungsi lagi. Bahkan untuk mengenali wajah ibuku yang berdiri tepat di hadapanku saja tidak bisa. Hanya kelihatan warna putih dan hitam membentuk pola tidak karuan.

***

Beberapa bulan kemudian ayah membawaku ke Singapura untuk berkonsultasi dengan seorang dokter yang dikenalnya. Dokter tersebut tidak menyarankan aku untuk dioperasi, sebab usiaku masih belum cukup, terlebih saat itu aku bersikeras menolak menjalani operasi karena ketakutan yang luar biasa. Membayangkan matamu dicungkil keluar, kemudian diganti dengan mata orang lain? Tidak! Yah, itulah yang bisa dibayangkan seorang anak SD kelas tiga sepertiku saat itu. Mana aku mengerti tentang retina dan kornea, apalagi titik jatuh bayangan, mendengarnya saja belum pernah.

Tahun demi tahun berganti, usaha ayah memburuk. Aku tidak pernah akan dioperasi. Tak masalah, toh memang aku tidak mau.

Aku selalu menyembunyikan kenyataan ini dari semua teman-temanku, aku tidak mau dibilang buta atau lebih buruknya aku tidak mau sampai dikasihani. Karena itulah aku tidak pernah melepaskan kacamataku selain ketika aku beranjak tidur.

Tetapi hari ini aku dipertemukan dengan seorang anak di Perkampungan Nelayan bernama Siti Nur Fadillah. Mata kiri dan kanannya masing-masing sudah minus sepuluh koma lima dan minus tujuh sejak lahir. Dia tidak pernah memberitahuku. Aku bisa mengerti, dia pasti minder dan tidak ingin dianggap cacat.

Aku mengetahui hal itu ketika aku memperhatikan pola tingkah anak-anak didik di kelas itu saat mereka sedang mencatat apa yang kutuliskan di papan tulis. Aku melihat Fadillah, demikian dia akrab disapa teman-temannya, berdiam diri. Aku bertanya,"Ada apa?"

"Tidak kelihatan."

Aku terkejut, tulisanku itu sudah sangat besar, sudah sengaja dibesarkan supaya bisa dilihat oleh anak yang duduk di barisan belakang. Saat itulah kutanyakan apakah ada masalah pada matanya yang ia sembunyikan? Dia mengangguk.

Beberapa hari kemudian, aku membawanya check mata ke klinik terdekat, dokter mata memberikan catatan kepadaku tentang minus dari kedua mata Fadillah.

Tuhan,
jika aku hanya bisa melihat dunia sebelah saja,
izinkan aku memiliki kemampuan untuk melihat anak ini tersenyum penuh...



Penyerahan kacamata untuk Siti Nur Fadillah (Kelas II SLTP) oleh HOME
Keterangan mata Siti Nur Fadilah : mata kanan -7, mata kiri -10.5


Tuhan tidak memampukanku untuk melihat dunia secara penuh, tetapi Dia telah memampukanku melihat Fadillah tersenyum penuh.

Agustus, 2010
"Terima kasih atas dukungan sobat-sobat HOME sehingga anak-anak ini bisa mendapatkan kacamata dan melihat secara penuh."

Sabtu, 19 Maret 2011

Saga

Monika, kamu ingat? Ketika aku dan kamu masing-masing masih enam, kau dan orang tuamu yang baru saja pindah ke kampung kami, datang bertamu ke rumahku. Sementara orang tua kita asyik bercengkerama tentang tetek bengek sayuran sampai kenaikan harga bensin, aku dan kamu asyik bermain gundu. Saling adu sentil bola-bola kaca dengan hiasan manik-manik di dalamnya. Cantik, seperti dirimu.

Sampai tiba waktunya kita masing-masing bermetamorfosis menjadi remaja, orang tuaku menampik kehadiranmu dalam hidupku. Mereka membencimu, Monika. Entah, aku tidak mengerti, apakah aku salah jika mencintaimu, Monika? Sudah terlambat. Ayah membelikanku tiket dan mengurus kepindahanku ke negara Paman Sam sana.

Kini sudah puluhan tahun berlalu sejak kenangan bermain kelereng bersamamu, Monika. Sampai saga lama ini kembali terlintas di hadapanku. AKu lupa menceritakannya kepadamu, aku telah menikah dengan seorang warga Amerika di sini sejak aku lulus dari bangku kuliahku, Monika. Bahkan aku telah dikaruniai seorang anak perempuan, kuberi dia nama seperti namamu, Monika. Pada musim dingin kali ini Monika tepat enam.

Akhir pekan itu aku dan suamiku sedang menemani Monika kecil menonton televisi di ruang keluarga. Tiba-tiba suara bel di depan terdengar. Kubukakan pintu. Seorang pria Asia bertanya,"Bolehkah kami bertamu sambil memberikan hadiah kecil ini sebagai perkenalan kita? Aku mengajak istri dan anakku pindah ke sini dari Indonesia."

Suamiku datang dan mempersilahkan mereka masuk. Aku terkejut, kamu datang bersama lelaki itu, Monika. Kamu juga datang bersama putrimu, yang belakangan kuketahui kau beri dia nama seperti namaku.

Sementara kita, para orang tua berbincang-bincang tentang tetek bengek masakan di Amerika, sambil aku dan kamu berpura-pura tidak saling kenal, aku tahu persis kamu melihat pemandangan yang sama dengan yang kulihat saat itu. Putrimu dan putriku, mengulangi saga kita yang telah terkubur lama, asyik bermain gundu. Saling adu sentil bola-bola kaca dengan hiasan manik-manik di dalamnya. Cantik, seperti dirimu.

Minggu, 06 Maret 2011

Back Office : February 2011

Aku akan menuliskan sebuah trivial tentang sepotong waktu, jauh sebelum beberapa orang yang bekerja di tempat aku bekerja mulai mengeluarkan perkataan,"Ada kamu, ada dia. Ada dia, ada kamu."

Saat itu di sudut kantin karyawan, kami, aku dan pria bernama panggilan Tata, sedang menunggu makan siang yang kami pesan tersaji. Aku memulai pembicaraan,"Apakah kamu percaya ada beberapa orang di luar sana yang bekerja bukan berorientasi upah, melainkan berfokus pada sebuah nilai?"

"Maksudnya?" Dia menjawab tanpa berpikir.
"Di dunia ini, ada orang-orang yang tidak memusingkan gaji atau upah yang diberikan, tetapi lebih memikirkan nilai yang ia capai dari sebuah pekerjaan itu."
"..." Dia diam.
"Pernah mendengar kisah seseorang yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi sesama manusia?"
"Pernah."
"Apakah orang-orang seperti mereka memikirkan gaji?"
"Tidak."
"Lalu apa yang mereka hendak capai?"
"Bukan kesuksesan, tetapi nilai."
"Cerdas!" Aku tersenyum.

"Tanamkan pemikiran seperti itu, sehingga aku akan senantiasa percaya kelak suatu hari nanti kamu akan menjadi orang yang mempunyai nilai besar untuk hidupmu." Aku meneruskan perkataanku.
"..." Dia menunggu perkataanku selanjutnya.
"Ngomong-ngomong, kemarin untuk apa kamu masuk bekerja? Bukankah sudah hakmu untuk libur?" Tanyaku lagi.
"Bukankah kemarin kamu mengatakan bahwa toko kita akan kedatangan banyak barang masuk?" Dia menjawab.
"Lalu?" Aku masih belum mengerti maksud dari jawabannya.
"Aku bekerja untuk sebuah nilai. Jika aku masuk untuk membantu, apakah itu menjadi sebuah nilai bagimu untukku?"

Kami tertawa bersama.

Sejak hari itu, aku katakan kepadamu melalui catatan trivialku ini, aku selalu tersenyum ketika kamu mengoceh sana sini, mengulang-ulang filosofi asal-asalan yang lahir dari pembicaraan kita tempo siang itu. Dan aku terkadang harus menyumbat telingaku ketika kamu terus-menerus mengatakan kepadaku :

Bekerjalah untuk sebuah nilai, bukan untuk sebuah upah.

Februari, 2011