Minggu, 20 November 2011

I'm Done!

Zaman menjadikan beberapa manusia termasuk aku menjadi seperti mesin pabrik, turn on dan turn off pada waktu yang tentu dan yang ditetapkan. Seperti pagi ini, bunyi 'kring' yang keluar dari alarm yang kuaktifkan semalam seolah membentur-benturkan kepalaku, sepertinya jika ia memiliki tangan, ia sudah mencengkeramkan kedua tangannya pada kerah baju tidurku lalu menarik-nariknya mencoba menyadarkanku agar lekas sadar dari alam bawah sadar. Dari mimpi.

***

Setelah diberondong air pancuran di kamar mandi yang sengaja kusetel dingin, guna menyadarkanku bahwa aku sedang dalam situasi 'menuju jam terlambat', aku mengenakan pakaian sekenanya. Memacu diri kembali ke aktifitas sehari-hari di tempat kerja. Tahukah kalian bagian dari pekerjaanku yang paling mengerikan dan yang sangat kuhindari sebisa mungkin? Merangkai bunga. Kuulangi, me-rang-kai bu-nga. Aku tidak seperti Radu yang menguasai Ikebana dengan sempurna. Mendalami ilmu merangkai bunga adalah bagian dari hidupnya. Tetapi aku? Super kuhindari. Me-nge-ri-kan.

Hari ini nyaris sempurna jika tidak ada malapetaka yang menimpaku. Dia masuk. Ibu-ibu yang kelihatannya sedang mengandung itu masuk ke dalam store tempatku mencari nafkah. Matanya memperhatikan setiap tatanan bunga yang memang sengaja dirangkai sedemikian rupa untuk menarik minat si pembeli. God dammit, aku sendirian. Teman-temanku sedang menginput laporan hasil penjualan kami seharian ini. Sebentar lagi memang jam pulang, dan kali ini sepertinya firasat burukku tidak salah. Mata si ibu mulai berkeliling, mencari vas yang sekiranya seolah-olah bisa memuaskan pencariannya selama berjuta tahun lamanya. Dan aku, meski ragu, tetap maju. "Ada yang bisa saya bantu?" keringat dingin mulai tumpah.

"Vas dengan tinggi kurang lebih lima puluh sentimeter dan bunga dengan tinggi sekitar enam puluh sentimeter. Adakah?"
Perfect! ujarku dalam hati, ternyata kekhawatiranku benar. Mimpi buruk datang.
"Harus tepat?" Tanyaku.
"Tidak juga. Asal mendekati. Saya sendiri pusing mencarinya."

Aku mengambilkannya vas setinggi kurang lebih hampir mencapai lima puluh sentimeter dan beberapa tangkai Amaryllis, lalu menunjukkannya kepada si ibu.
"Rangkaikan." katanya pendek namun mematikan.

Diawali dengan ritual tak kasat mata, ingat, kubilang tak kasat mata, sehingga ritualku tentu tak disadari si ibu, kemudian kutiru gerakan teman-teman seprofesiku yang masih kuingat. Tidak mirip memang, berkesan mengasal, yang penting tidak ketahuan asal, begitu prinsipku. Kini menunggu keputusan juri, penilaian mutlak panitia bernama si ibu yang tidak bisa diganggu gugat hasil keputusannya.

"Saya beli ini. Semuanya." Seperti merasa menjadi salah satu anggota kesebelasan sepak bola yang baru saja memenangkan kejuaraan dunia empat tahunan, aku mengangkat vas itu menuju meja kasir seperti membawa Piala Dunia pulang ke negaraku.

Perjuangan yang super melelahkan bagiku ini, diakhiri dengan perpaduan harmonis antara bunyi cenit kasir dan bunyi struk keluar dari mesin struk kasir. I'm done!

Me-nge-ri-kan.