Aku mencintai bukan untuk melukai. Aku mencintai karena aku mengagumi dan ingin selalu memahami. Tetapi semuanya akan hilang ketika aku mencoba menyampaikannya. Ini suratku yang kedua yang barangkali kutulis lantas kubuang begitu saja tepat ketika kububuhkan tanda titik pada kalimat terakhirnya.
Aku tidak mengerti bahasa orang atas. Sebagai penyapu jalan, aku hanya mengerti bahwa cinta bukanlah cinta sebelum ia dipersembahkan. Cukup sampaikan, lalu cukup lihat bagaimana nantinya. Apakah akan mendapat jawaban yang menyenangkan atau menyakitkan, itu urusan belakangan.
Aku tidak mengerti bahasa orang sekolahan yang memasukkan cinta ke dalam rumus pemasukan dikurang pengeluaran dikurang biaya cinta lebih kecil dari mapan sama dengan bunuh diri. Masa bodoh dengan itu. Aku dan istriku hidup dari memulung sampah, menyapu sampah, tetapi cinta kami seperti sampah yang sukses didaur ulang, terasa sangat mahal nilainya. Masa bodoh dengan rumus matematika kehidupan dan percintaan.
Terakhir kali aku mendengar sebuah lagu lewat radio usang yang kupungut dari tong sampah rumah orang kaya di blok seberang, kalau tidak salah penyiarnya sempat mengucapkan 'Janet Jackson', kuanggap itu nama penyanyinya. Dia melantunkan sebuah lirik yang indah, begitu menurut penyiarnya yang kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, sebab aku tidak mengerti bahasa lain selain itu :
"Doesn't really matter what the eye is seeing, 'cause i'm in love with the inner being." -Janet Jackson
"Tidak peduli apa yang dilihat mata, karena aku jatuh cinta pada yang di dalam hati."
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5Twmf8yr-uno2s9hZ91W6Jlwke0x0myFiyKUu4I3AW-NHARh6W0bS9YIZWS0sUoJGrwUKOx0m_i6yj9IucJHO70WQ-aWRvEbtcwy6s10Q_eb-jocL3XrEwK9VJ3GNbcPpWG9tmaHeS3kB/s320/streetsweeper.jpg)
Jakarta, 3 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar