Selasa, 18 Januari 2011

Back Office : October 2010

Adalah sebuah ruang penyimpanan barang dan tempat melakukan rutinitas administrasi berbasis online, aku menyebutnya back office. Hari itu tinggal kami berdua. Hanya ada aku dan dia, pria seumuran denganku yang lebih senang dipanggil dengan julukan ketimbang dipanggil dengan namanya sendiri, Kalong.

Aku duduk di depan sebuah notebook sambil memproses transaksi yang baru saja kulakukan dengan seorang pelanggan di tempatku bekerja, sementara dia memperhatikanku sambil duduk di atas tumpukan kardus yang akan dibuang nanti sore. Sepintas aku melihatnya sedang memperbaiki posisi duduknya di atas tumpukan kardus itu. Seperti gelisah.

"Ada apa?" tanyaku.
"Ah, tidak ada." ia berkilah aku tahu.
"Sepertinya bukannya tidak ada apa-apa. Ceritakan."
"Panjang sekali."
"Aku punya banyak waktu."
...
Dia diam.

Aku berdiri, menghampirinya, kemudian meraih tangannya. Kuajak dia makan siang bersama, setelah izin kepada rekan-rekanku yang lain tentunya.

Memang benar kata orang dulu, di sebuah meja makan, seseorang lebih mudah buka mulut.

"Ayo, ceritakan."
"Bagaimana mengatakannya ya? Aku sendiri bingung menyebut perasaan semacam ini apa?"
"Maksudmu?"
"Kamu tahu aku suka musik."
"Tentu. Kamu sudah pernah memainkannya dan itu bagus. Permainan kelas atas."
"Berlebihan."
"Tidak. Memang demikian."
"Sudahlah. Intinya, aku sering membayangkan andai saja aku bisa hidup dengan bermusik. Sangat ingin. Perasaan seperti itu apa namanya?"
"Passion?"
"Baiklah, itu namanya."
"Lalu?"
"Bagaimana menurutmu? Kamu pernah merasakan perasaan semacam itu?"
"Passion? Tentu. Hanya saja milikku lebih absurd dan gila."
"Coba kau ceritakan dulu milikmu itu."
"Ah, ceritanya panjang."
"Aku punya banyak waktu."
Kami tertawa.

Entah berapa lama sejak percakapan kami siang itu, ia memutuskan untuk berangkat ke Bali untuk mewujudkan impiannya bermain musik. Kudengar ia sudah mendapat tawaran dari sebuah kafe di Bali untuk memulai awal karir musiknya. Bukan seberapa besar penghasilanmu kelak, Kawan. Tetapi seberapa kuat jantungmu berdetak saat kamu menyadari nikmatnya hidup berdasarkan kerinduan hatimu itu. Passion beats money.

-Jakarta, Oktober 2010

Tidak ada komentar: