"Mengurus paspor-mu, kamu harus dioperasi."
"Apa itu operasi? Untuk apa?"
Ayah tidak menjawab.
***
Hari ini aku merasa pusing. Bukan. Bukan karena pelajaran matematika kelas tiga SD yang sedang dijelaskan oleh ibu guru. Aku tidak bisa memfokuskan mataku pada papan tulis. Pandanganku kabur, sampai akhirnya aku ambruk. Ibu guru wali kelasku, Ibu Christine membawaku ke UKS Sekolah.
Beberapa jam kemudian aku siuman. Aku ditanyai macam-macam. Aku tidak menjawab. Aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku, tetapi aku tidak tahu apa itu. Ah, ketemu! Aku baru menyadari, pandanganku tidak penuh! Hanya sebelah! Oh, Tuhan, kenapa ini? Ada apa dengan mataku?
Aku mencoba menutup mata kiriku, membiarkan diriku melihat hanya dengan sebelah mata kanan saja. Tidak ada masalah. Kini kuberanikan diriku menutup mata kananku. Tidak! Apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat! Mata kiriku buta!
Ibu penjaga UKS kebingungan melihat tingkah panikku. Dia memegangiku, kemudian memelukku, seolah dia tahu apa yang sedang terjadi di sini.
Ibu Christine langsung menghubungi orang tuaku, aku dipulangkan. Ia menceritakan kejadiannya kepada ibuku. Mata kiriku ternyata bukan buta, tetapi tidak berfungsi lagi. Bahkan untuk mengenali wajah ibuku yang berdiri tepat di hadapanku saja tidak bisa. Hanya kelihatan warna putih dan hitam membentuk pola tidak karuan.
***
Beberapa bulan kemudian ayah membawaku ke Singapura untuk berkonsultasi dengan seorang dokter yang dikenalnya. Dokter tersebut tidak menyarankan aku untuk dioperasi, sebab usiaku masih belum cukup, terlebih saat itu aku bersikeras menolak menjalani operasi karena ketakutan yang luar biasa. Membayangkan matamu dicungkil keluar, kemudian diganti dengan mata orang lain? Tidak! Yah, itulah yang bisa dibayangkan seorang anak SD kelas tiga sepertiku saat itu. Mana aku mengerti tentang retina dan kornea, apalagi titik jatuh bayangan, mendengarnya saja belum pernah.
Tahun demi tahun berganti, usaha ayah memburuk. Aku tidak pernah akan dioperasi. Tak masalah, toh memang aku tidak mau.
Aku selalu menyembunyikan kenyataan ini dari semua teman-temanku, aku tidak mau dibilang buta atau lebih buruknya aku tidak mau sampai dikasihani. Karena itulah aku tidak pernah melepaskan kacamataku selain ketika aku beranjak tidur.
Tetapi hari ini aku dipertemukan dengan seorang anak di Perkampungan Nelayan bernama Siti Nur Fadillah. Mata kiri dan kanannya masing-masing sudah minus sepuluh koma lima dan minus tujuh sejak lahir. Dia tidak pernah memberitahuku. Aku bisa mengerti, dia pasti minder dan tidak ingin dianggap cacat.
Aku mengetahui hal itu ketika aku memperhatikan pola tingkah anak-anak didik di kelas itu saat mereka sedang mencatat apa yang kutuliskan di papan tulis. Aku melihat Fadillah, demikian dia akrab disapa teman-temannya, berdiam diri. Aku bertanya,"Ada apa?"
"Tidak kelihatan."
Aku terkejut, tulisanku itu sudah sangat besar, sudah sengaja dibesarkan supaya bisa dilihat oleh anak yang duduk di barisan belakang. Saat itulah kutanyakan apakah ada masalah pada matanya yang ia sembunyikan? Dia mengangguk.
Beberapa hari kemudian, aku membawanya check mata ke klinik terdekat, dokter mata memberikan catatan kepadaku tentang minus dari kedua mata Fadillah.
Tuhan,
jika aku hanya bisa melihat dunia sebelah saja,
izinkan aku memiliki kemampuan untuk melihat anak ini tersenyum penuh...
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMjp9lgltCG25kvKknSv3v-cGp629UOFRMQ6zj4d2dBE8xFuVG9qnnYb6joN8BfFWRC3HT2LFyoreqjaTYOJycDHCuVt1pHnXYk7g-qGitZVjz5Z_4gzRMzww-4y5EFV4FPoe_VEN1xm6C/s320/40489_145392438819951_100000475869117_377297_7757875_n.jpg)
Penyerahan kacamata untuk Siti Nur Fadillah (Kelas II SLTP) oleh HOME
Keterangan mata Siti Nur Fadilah : mata kanan -7, mata kiri -10.5
Tuhan tidak memampukanku untuk melihat dunia secara penuh, tetapi Dia telah memampukanku melihat Fadillah tersenyum penuh.
Agustus, 2010
"Terima kasih atas dukungan sobat-sobat HOME sehingga anak-anak ini bisa mendapatkan kacamata dan melihat secara penuh."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar