Ai, begitu biasa Naftali dipanggil singkat, padat, dan cepat. Perempuan muda yang lebih dari sekedar super bersemangat, bisa dibilang ultra bersemangat. Berdasarkan hasil survei para teman-temannya, di manapun ia berada, dirinya dijamin memaksa mata setiap lelaki yang melihatnya untuk mustahil melempar pandang ke arah lain. Bukan karena kecantikannya yang sudah jadi barang umum penyita perhatian lelaki terhadap perempuan, tetapi karena keceriaan dan semangatnya yang mampu dijajarkan dengan sinar kosmis yang bisa menembus lapisan atmosfer, litosfer, stratosfer, dan
osfer-osfer lainnya sampai berlapis-lapis.
Zo, bukan nama panggilan, karena memang demikian namanya tertera jelas di Kartu Tanda Penduduk-nya. Zo, Z-o, Z dan O, nama seorang pria muda yang setia menemani ke manapun Ai ingin melampiaskan hasrat semangatnya. Korban pelampiasan Ai, begitu hasil survei tertinggi teman-teman mereka membuktikan, apabila pertanyaan
'Apa julukan yang tepat untuk Zo?' diikut-sertakan sebagai salah satu pertanyaan dari kuis keluarga di televisi. Seperti namanya yang singkat, Zo lebih suka berdiam daripada berlari, lebih suka menonton daripada beraksi.
Keparadoksan sifat di antara keduanya menalikan tali persahabatan yang erat, sama seperti dua kutub magnet berlawanan yang saling dipertemukan, me-nem-pel.
Buddha Bar, Buddha dan Bar, demi ke tempat inilah, Ai selalu memaksa Zo menemani dirinya berkutat menebar pesona sejuta aksi, menghentak-hentakkan kaki, menggoyang-goyangkan pinggul, di tengah-tengah lantai disko sambil diiringi lagu dari band-band siaran langsung yang disebut
live music.
Sementara Zo, daripada harus memaksakan diri meminum ber-
shot-shot sloki penuh
tequila dan
margaretta, lalu memasuki alam mabuk, membiarkan ketidak sadaran mengambil alih kemudi di dalam otaknya, lalu ikut menari-nari bersama Ai, Zo lebih memilih berdiam diri di meja yang terletak di sudut ruangan paling sudut, ditemani segelas bening yang berwarna kuning setelah diisi penuh jus jeruk oleh barista-barista cantik super handal, yang jago melempar-lemparkan botol-botol dari bahan fiber anti pecah.
Dua manusia yang hidup di alam duniawi, yang saling tidak pernah mau mengalah satu sama lain dalam berdebat tentang hal sepele, yang bahkan kadang sebenarnya sama sekali nggak ada hubungannya dengan hal yang diperdebatkan. Semisal, waktu pertama kali mereka berdua nonton bareng di sebuah bioskop paling ternama nan terkenal dari ujung barat sampai ujung timur Jakarta, dari ujung utara sampai ujung selatan Jakarta, Cinema 21.
Ai bilang,"Hemm, kalo menurut gue nih, angka 21 itu berarti kalo kita beli tiket pake kartu kredit BCA, beli dua cuma bayar satu." Diprovokasi rasa tidak mau kalah ditambah naluri berdebat yang menggebu-gebu, Zo angkat bicara,"Salah, kalo menurut gue, angka 21 itu berarti kalau beli tiket pake kartu kredit BCA, beli satu dapatnya dua tiket." Nah loh? Dua-duanya berdebat sengit saling sengat. Padahal mereka membicarakan hal yang sama, sama sekali nggak paradoks, sama dan persis. Bahkan kalau mau dihadirkan tokoh penengah, bisa ditambahkan :
Begini, angka 21 itu nggak ada hubungannya sama aksi promo dari kartu kredit manapun. Tapi istilah membeli dengan kartu kredit BCA, itu maksudnya buy one get one, beli satu dapat satu. Nah? Tambah pusing, kan? Tiga argumentasi yang sama, tapi diperdebatkan. Itulah Ai, itulah Zo.
***
Malam itu, Zo yang biasanya nggak suka nongkrong,
hang out, atau apalagi lah istilah dari
mejeng yang lagi ngetop di kalangan anak muda jaman sekarang, tumben-tumbenan Zo ngajak Ai ketemuan di Bar, ya, Buddha Bar, lambang keparadoksan antara keagungan sang Dewa Dewi Buddha dan keriuhan nuansa malam ibukota yang sama sekali nggak suram. Zo, tampil menyambut Ai, yang baru mau masuk lewat pintu depan. Zo, mengenakan pakaian kasual seadanya, dengan kaos biru tanpa merk, diinseminasi dengan celana jins dan sepatu kets item selaras dengan celananya. Rambutnya ditata
mohawk. Sementara Ai, dirinya malam itu tampil seratus kali lebih anggun daripada putri dari negeri dongeng manapun.
Zo, meraih tangan Ai. Suasana yang biasanya riuh dan penuh, sesak sampai terdesak, oleh hentakan dan jingkrak-jingkrakan Ai, seperti tidak ada lagi. Lenyap dan senyap. Zo berkata,"Sebentar saja, aku ingin berterus terang. Satu detik perdebatan denganmu, aku merasakan satu detik kehangatan yang menyelimuti hatiku. Jadi, sudah berapa lama kita saling kenal? Setahun? Kalikan sampai menjadi satuan detik. Kau tahu berapa jumlahnya? Anggap jumlah itu memenuhi seisi ruang di tubuhku. Penuh."
Tiba-tiba Ai menarik lengannya lalu berkata lirih,"Cukup, jangan dilanjutkan. Maaf, kamu sahabatku. Aku tidak ingin berubah. Kamu selamanya sahabatku."
***
Hari ini sudah dua minggu aku tidak bertemu lagi dengan Ai. Menyapanya lewat telepon atau sekedar mengirimkan
sms iseng berisi kata-kata konyol pun tidak. Aku tinggal pikiran. Jiwaku melayang ke awang-awang, ke sebuah kekosongan mutlak. Dari langit biru aku selalu saja bisa mengagumi Ai, dirinya yang selalu melulu mampu mempresentasikan sebuah berita menjadi sajian menarik bagi buat pendengar dan penontonnya.
Namun, tidak hari ini, aku tidak terkesima melihatnya membawakan berita hari ini. Aku justru melihat beban berat yang dia pikul kali ini, air mata, igau merisak tangis yang cuma bisa didengar oleh aku yang tinggal pikiran.
Ai, setelah dua minggu itu, tidak pernah lagi menanyakan keadaanku. Ai, setelah dua minggu itu, tidak pernah tahu rahasia hatiku, yang ingin kuungkapkan seandainya waktu itu dia menerimaku. Ai, aku bukannya tidak suka
tequila, bukan benci
margaretta. Ai, jantungku sudah rusak, waktuku mendesak, aku cuma ingin kamu. Ai, hari itu, sebelum bertemu denganmu, aku bertemu dengan dokter spesialisku. Dia menjabarkan panjang lebar diagnosanya mengenai penyakitku, sama seperti guru SD mengajarkan caranya melakukan pembagian angka berdigit lebih dari empat dibagi angka berdigit tiga, 'harus terperinci supaya mengerti' katanya. Ai, hari itu dokter bilang aku tinggal seminggu. Dan kini kau bawakan berita duka cita kematianku.